HIM #41

975 84 0
                                    

HAPPY READING 💎

Keesokan harinya, Arin bangun tidur dengan mata yang sembab. Semalaman, ia merapikan barang-barangnya sambil menangis. Perpisahan semakin dekat. Matanya yang sipit semakin menyipit, mencerminkan kelelahan dan kepedihannya.

Arin melirik ke arah koper besar yang berada di samping kasurnya. Hampir semua barang-barangnya sudah terkemas di dalamnya. Meskipun hatinya hancur, senyum tipis terbit di wajahnya saat ia mengingat bahwa di dalam koper itu berisi barang-barang berharga yang didapatkannya dari para member Seventeen. Ia berjanji dalam hati untuk menjaga barang-barang itu sebaik mungkin, sebagai kenangan yang berharga dari masa-masa indah bersama mereka.

Setelah menarik nafas dalam-dalam, Arin memutuskan untuk pergi ke kamar mandi dan mencuci wajahnya. Ia berharap dapat menyegarkan dirinya meskipun ia tahu bahwa mata yang sembab akan sulit untuk ditutupi. Setelah ritual cuci muka selesai, ia memutuskan untuk tidak langsung keluar dari kamarnya. Ia ingin memberi waktu pada matanya untuk pulih dan tidak ingin membuat Song Mi dan Mi Soo khawatir melihat keadaannya. Lebih dari itu, ia tidak ingin menjawab pertanyaan mereka tentang alasan di balik air mata yang tak terbendung.

Tidak sampai sepuluh menit, Arin keluar dari kamar mandi dan duduk di depan cermin. Ia menatap pantulan wajahnya yang sedikit lebih baik. Hanya sedikit. Ia terkekeh sendiri melihat kondisi wajahnya yang memprihatinkan itu, tetapi dalam hatinya masih ada rasa haru dan sedih yang sulit diungkapkan.

Akhirnya, dengan langkah gontai, Arin kembali ke atas kasurnya. Ia meraih ponselnya yang ternyata sedang berdering. Panggilan masuk dari Jeonghan. Sebuah video call?

Arin ragu sejenak, tetapi hatinya tidak enak jika mengabaikan panggilan video dari Jeonghan. Apalagi, ini pertama kalinya Jeonghan menghubunginya lewat telepon. Dengan sedikit keberanian, Arin memutuskan untuk menjawab panggilan tersebut. Namun, ia sengaja meletakkan ponselnya agak jauh dari wajahnya, berharap Jeonghan tidak akan menyadari bahwa matanya masih sembab.

"Selamat pagi, Arinieee..." sapa Jeonghan dengan suara yang terdengar lembut. Arin melihat Jeonghan dalam posisi tiduran di atas kasur, masih terlihat mengantuk.

Melihat pemandangan itu, Arin tidak bisa menahan senyumnya. Ia merasa hangat di hati karena Jeonghan menghubunginya dengan begitu santai dan ramah. Meskipun wajahnya masih sedikit sembab, senyumnya muncul dengan tulus.

"Selamat pagi, Jeonghan oppa!" balas Arin dengan suara ceria. "Kamu terlihat masih mengantuk, oppa. Apa kamu baru bangun tidur?"

Jeonghan mengangguk mengantuk, tetapi senyumnya tetap terpancar di wajahnya. "Iya, aku baru bangun tidur. Tapi aku langsung ingin menghubungimu."

"Kenapa?"

"Arin, aku benar-benar ingin mengucapkan terima kasih kepadamu!" ujar Jeonghan dengan suara yang penuh dengan rasa terima kasih. "Kamu benar-benar menyelamatkan privasiku kemarin. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu tidak ada di sana."

"Tidak perlu mengucapkan terima kasih, Jeonghan oppa," jawab Arin dengan suara lembut. "Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan sebagai staff. Aku senang bisa membantumu."

"Staff? Kau bukan staff Arin! Kau adalah adikku," omel Jeonghan sambil membenarkan posisi tidurnya.

Arin tersenyum haru. Ternyata selama ini Jeonghan menganggapnya sebagai adik. "Baiklah baiklah."

"Maafkan aku, Arin," ucap Jeonghan dengan suara yang penuh penyesalan.

"Maaf kenapa Oppa?"

"Aku tahu aku terlalu emosi kemarin dan buru-buru pulang. Aku ingin mengucapkan terima kasih sejak awal, tapi keadaan membuatku terbawa emosi. Maafkan aku baru mengucapkannya sekarang."

HE IS MY...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang