- Gadis Dingin -

1K 57 1
                                    

Matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Deburan ombak menghempas tepian pantai bersama sinar orange matahari memantul dipermukaan laut. Ada seorang gadis duduk melamun diatas pasir. Rambut indah panjangnya yang tergerai terbang tertiup angin. Raut sendu terukir di paras cantiknya.

"Eomma" suaranya terdengar amat lirih.

Setelah cukup lama berdiam diri, ia menyudahi kegiatannya. Hari semakin gelap. Sudah waktunya untuk pulang.

"Kenapa baru pulang?"

Suara bariton dari seorang lelaki paruh baya mengejutkannya. Lelaki yang masih terlihat tampan di usia senja.

"Aku tadi ada urusan sebentar" jawab sang anak apa adanya.

"Kamu ya, kebiasaan banget keluyuran. Kalau udah waktunya pulang ya pulang bukan mampir sana sini" suara lain menyela mengomelinya. Wanita paruh baya yang merupakan istri dari ayahnya.

Tidak mau berdebat. Gadis itu mengayun langkah menaiki anak tangga menuju kamar. Beradu mulut dengan ibu tidak akan pernah ada habisnya.

"Heh, aku belum selesai ngomong!"

"Sudahlah Yeoubo" tegur sang suami menenangkan emosi istrinya.

"Anak kamu itu gak ada sopan santunnya sama sekali. Mentang-mentang aku bukan ibu kandungnya dia gak bisa seenaknya kurang ajar sama aku"

"Nanti aku bicara sama Jennie. Sekarang biarkan dia istirahat dulu"

Di dalam kamar nuansa gelap milik Jennie. Gadis yang memiliki pipi bulat bak kue bakpao itu tengah membersihkan diri di kamar mandi. Pancuran air diatas kepala membasahi sekujur tubuh. Lagi, ia melamun. Membiarkan pikiran berkelana jauh tak tentu arah.

Tiba waktunya makan malam, pintu kamar di ketuk oleh maid. Membawa pesan bahwa yang lain sedang menunggu di meja makan.

"Lama banget. Gue udah lapar" ketus gadis yang lebih muda darinya.

Jennie enggan menanggapi. Tanpa banyak bicara, ia mengambil piring dan sesendok nasi. Meletakkan sepotong ayam goreng di pinggir piring sebagai lauk.

"Kamu nggak mau mandu?" Tanya sang ayah hanya ia balas lirikan sekilas.

"Kalo orang nanya dijawab!"

"Nggak" balas Jennie singkat.

"Wae, bukannya ini makanan favoritmu" sambung ayah keheranan.

"Aku selesai" Jennie tidak menghabiskan makanannya. Selera makannya jadi hilang.

Jennie berdiri. Membawa piring kotor ke wastafel lalu pergi ke kamar. Lama-lama berada satu meja bersama mereka membuatnya sesak.

'Jennie unnie kok makin dingin sih'

Pintu kamar Jennie kunci. Duduk di meja belajar dan membuka buku bersampul biru berisi catatan tulisan tangan. Buku biru yang menemaninya puluhan tahun sebagai teman cerita.

Mengambil pena disamping buku, kemudian mulai menulis. Menuangkan apa yang ada di dalam hati dalam bentuk barisan kata.

Beranjak dari meja belajar, Jennie membuka pintu kaca yang terhubung dengan balkon kamar. Ada sebuah meja bundar kecil dan satu kursi. Angin malam yang menyapu dingin kulit halusnya tak ia hiraukan. 

Tok Tok

Tatapan Jennie datar. Gadis berponi, si pelaku yang mengetuk pintu kamarnya termangu di ambang pintu.

"Ada apa?" Akhirnya Jennie bertanya karena Lisa cuma diam.

"Ini" segelas susu coklat hangat disodorkan ke hadapannya. Terlihat asapnya masih mengepul diatas.

"Aku tidak suka"

"Minum saja. Aku jamin malam ini Unnie akan tidur nyenyak setelah meminumnya" gadis itu sedikit memaksa.

Mau tak mau, suka tak suka Jennie terpaksa mengambilnya namun tidak untuk diminum. Jennie hanya menyimpannya diatas meja. Menutup pintu kaca dan mematikan lampu utama kemudian naik ke atas kasur.

                             *****

Siulan burung diatas pohon menjadi alarm pagi ini. Jennie bangun. Meraih handuk digantungan baju kemudian mandi. Turun ke bawah dengan pakaian rapi. Orang-orang sedang menikmati sarapan dimeja makan.

"Cepat sarapan ntar kamu telat"

"Aku buru-buru" balasan Jennie melunturkan wajah berseri sang ayah. Setiap pagi Jennie selalu melewatkan sarapan.

Jennie mengeluarkan motor bututnya di garasi. Motor dari hasil jerih payahnya selama satu tahun bekerja di perusahaan swasta. Pernah dibelikan ayah mobil sport mewah, namun ia tolak.

"Ayo Jane, kita berangkat" ucap Jennie kepada motor yang dia beri nama Jane.

Puluhan kilo meter mengikis jarak. Jennie akhirnya sampai di perusahaan. Merapikan rambut sebentar di spion motor kemudian masuk. Naik lift ke lantai 10 dimana ruangannya berada.

"Selamat pagi sajangnim" sapa Jennie bersama senyuman merekah. Hanya sebatas formalitas.

Lelaki muda di kursi kebesaran itu membalas senyuman Jennie sejenak. Putra tunggal dari Lee Company yakni Lee Taeyong.

"Pagi Jen"

Selesai menyapa, Jennie duduk di mejanya yang terletak di pojok ruangan. Membuka laptop dan mulai bekerja.

"Apa ada kendala selama di lapangan Jen?"

"Sejauh ini belum ada pak" lelaki itu mengangguk paham. Aura dingin Jennie menguar kuat. Dia tidak mau bertanya banyak jika sekiranya tidak penting dan berkaitan tentang perusahaan. Jennie bukan tipe gadis yang suka basa-basi.

Tok Tok

"Masuk" seru sang CEO menyuruh siapapun yang mengetuk pintunya masuk.

"Taeyong-ah"

"Eomma" kaget Taeyong langsung mengangkat wajahnya.

"Apa yang Eomma lakukan disini"

"Eomma bawain sarapan buat kamu. Tadi pagi kamu nggak sempat sarapan karena buru-buru"

"Aku bisa sarapan di kantin kantor Eomma. Gak perlu repot-repot datang ke sini bawain makanan" ujar Taeyeong merasa tidak enak pada Jennie.

"Kamu kalo udah kerja sering lupa waktu. Lihat badan kamu tuh udah kurus"

Taeyong malu. apalagi saat melihat senyuman tipis Jennie yang seolah-olah mengejeknya.

"Aku udah besar Eomma. Bukan bocah TK. Malu sama sekretaris ku" cicit Taeyong berbisik ditelinga sang ibu. Ibu Taeyong melirik Jennie kemudian melengos.

"Biarkan saja. Yang penting kamu makan dulu. Bagaimana bisa fokus bekerja saat perutmu kosong" omel Eomma Taeyong mengabaikan keberadaan Jennie.

Dari gerak-geriknya Jennie sudah tau kalau Eomma Taeyong tidak suka padanya. Jennie pun tidak peduli. Dia juga tidak bisa memaksa orang untuk menyukainya.

Beberapa menit kemudian, Jennie meninggalkan ruangan untuk memfotokopi laporan proyek sebelum diserahkan kepada Taeyong untuk ditandatangani.








Tbc

Eternal Wound ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang