Setelah memeluk Jessica kemarin, hati Jennie mulai tenang. Rindu-rindu menggebu seolah hilang terbayarkan oleh pelukan wanita kembaran Sooyeon. Jennie merasakan hatinya lega. Tak lupa hari ini menyempatkan waktu untuk mengunjungi makam Sooyeon.
"Eomma. Eomma tau kemarin aku ketemu sama orang yang mirip banget sama Eomma. Dia temannya Mommy. Aku merasa kalian adalah kembaran yang lama terpisah" cerita Jennie panjang lebar. Tangannya mengusap batu nisan bernama Jung Sooyeon disana.
"Aku tidak paham apa yang terjadi padaku. Rasanya aku sudah bisa berdamai dengan luka-luka itu. Sedikit demi sedikit aku sudah melupakan kepergian Eomma. Maaf Eomma, aku membebanimu selama ini disana dengan keluh kesahku. Sekarang Eomma bisa istirahat dengan tenang" senyum Jennie merekah.
Senyuman yang selama ini hilang kini muncul kembali. Senyuman yang hanya ia perlihatkan di depan Eomma akankah bisa ia tunjukkan pada dunia seperti sedia kala. Rasanya Jennie membutuhkan waktu untuk pulih sepenuhnya.
"Eomma, aku baik-baik saja. Eomma tidak perlu khawatir. Aku pulang dulu" pungkas Jennie.
Meninggalkan kecupan ringan pada batu nisan sebagai kalimat perpisahan.
Jika dulu selalu memancarkan aura dingin nan misterius, sekarang Jennie sudah bisa sedikit tersenyum ketika bertemu orang-orang. Perubahan drastisnya tersebut membuat pegawai kantor takut. Itu tidak seperti Nam Jennie yang mereka kenal.
Jam makan siang ini Jennie memilih mengisi perut di cafe depan kantor. Tempat favoritnya meminum kopi sembari melihat pemandangan Seoul dari atas. Terkadang dia juga menulis disana menghabiskan waktu senggang.
"Hai" seseorang menyapanya dan duduk di kursi depan.
Gadis itu tersenyum teduh. Bentuk bibirnya yang seperti love membuat senyum si gadis semakin menawan.
"U-unnie?"
"Apa yang kau pikirkan?" Jennie membuang pandang dari Jisoo.
Pelariannya jatuh pada secangkir kopi americano yang dia pesan. Mengusap bibir gelas kaca tersebut pelan.
"Cuma duduk" jawab Jennie setelah menemukan jawaban yang pas.
"Awal bertemu, aku sedikit benci padamu" Jennie spontan menatap Jisoo hingga keduanya saling bertatapan untuk beberapa detik.
Jisoo menyeduh kopinya sebentar sebelum lanjut bicara. Mengukir senyum yang membuat Jennie mengernyit heran.
"Bisa-bisanya anak wanita yang telah menyakiti hati ibuku tinggal di rumah mewah dengan tenang sementara ibuku sering ditelantarkan oleh Daddy. Aku tidak mengerti bagaimana kau tidak tau malunya membusung dada dihadapan kami" Jennie berusaha memasang wajah datar walau ucapan Jisoo menyinggung perasaannya.
"Seharusnya kami mengusirmu. Kau dan ibumu yang tidak tau diri itu sudah menghancurkan hati seorang wanita dan sebuah pernikahan"
Gigi Jennie bergemelutuk. Desiran darah mengalir ke jantung membuatnya berdetak cepat. Apa maksud Jisoo mengungkit masa lalu ibunya. Jennie tidak suka Sooyeon terus dibawa-bawa dan dipersalahkan.
"Tetapi Lisa, adikku satu itu memiliki hati yang luas. Dia memintaku untuk buka mata sebelum menilaimu terlalu jauh. Ku rasa dia benar. Dua Minggu ini ku perhatikan, dia bisa mengambil hatimu bahkan Chaeyoung yang keras kepala pun bisa luluh padamu" tatapan Jisoo berubah teduh.
Tidak pernah ia duga, sekembalinya ke Korea mendapatkan satu adik lagi. Adik yang kelihatan keras diluar namun rapuh didalam.
"Aku tidak terlalu pandai bersimpati pada orang. Namun apa yang telah menimpa kau dan ibumu cukup menyentuh hati kecilku. Aku paham bagaimana rasanya jauh dari ibu, apalagi dipisahkan oleh kematian. Jika aku diposisimu aku tidak mungkin kuat melewatinya"
Rasa hangat membakar dalam dada Jennie. Sensasi panas terasa menganggu disekitar area mata. Jennie memalingkan wajah. Takut air matanya bisa jatuh kapan saja.
"Ini sudah berapa tahun berlalu. Kau tidak boleh seperti ini terus-terusan. Berdamailah dengan luka-lukamu. Buka mata dan lihatlah masih ada orang yang menyayangimu. Kau bisa menganggap ibuku sebagai ibumu. Kita bersaudara walau tidak lahir di rahim yang sama. Apalagi yang kau takutkan. apalagi yang kau pikirkan. Buang jauh-jauh memori menyakitkan itu. Aku yakin diatas sana ibumu menangis melihat putrinya selemah ini. Dia pasti benci melihat kau terus-terusan menyalahkan diri. Bukan karena kau dia pergi, bukan karena kau ibu dan adikmu meninggal. Ini sudah takdir Jennie-ya" nasehat Jisoo panjang lebar. Dari sudut wajahnya, Jisoo bisa lihat air mata Jennie berjatuhan.
Hembusan angin dingin mengisi kekosongan suasana. Jisoo membiarkan Jennie meluapkan emosinya. Baru kali ini di depan matanya sendiri gadis yang setiap hari berwajah dingin ini menangis.
"Sudah? Apa rasanya sudah lega?" Tanya Jisoo. Jennie menjawabnya dengan anggukan pelan.
Setelah makan siang bersama, mereka sama-sama balik ke kantor. Meski Jennie masih penasaran bagaimana Jisoo ada disini dan mengatakan itu semua.
"Kamu darimana nak. Daddy dari tadi mencarimu buat makan siang bareng"
"Baru aja habis makan siang Dad" jawab Jisoo cengengesan.
"Kok nggak ngajak Daddy sih. Kan jadi sendiri Daddy makannya"
"Yaelah manja banget Dad. Biasanya makan sendiri juga" kata Jisoo memutar mata.
"Ck, yasudah. Daddy makan dulu di kantin" Jisoo mengangguk dan pergi masuk ke ruangannya mengerjakan pekerjaan yang tertunda.
Tbc
Jensoo udah mulai deket nih
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Wound ✓
FanfictionLuka, air mata, dan penyesalan yang Jennie alami puluhan tahun lalu menjadikan Jennie sosok dingin dan tak berperasaan. Berpikir dengan menjauhi semua orang lukanya akan sembuh ternyata salah. Jennie butuh seseorang untuk menyembuhkannya. - BLACKPIN...