"Aku udah lama nggak baca buku Jennie Unnie" monolog Lisa teringat buku harian Jennie.
Terakhir baca baru sampai di tengah halaman sebab terganggu oleh manusia tupai yang merengek gara-gara makanannya dihabiskan padahal cuma sisa satu tapi ngambeknya berhari-hari.
"Aku masih penasaran kenapa Unnie terlihat sangat menghindari Daddy Sampai sekarang aku belum menemukan jawabannya di buku diary ini"
Hampir seluruh halaman dibuku diary Jennie bercerita tentang ibunya. Tentang rindu-rindu dan luka yang tak pernah pulih. Lisa merasa Jennie sangat berlebihan. Sibuk menenggelamkan diri dalam luka padahal masih banyak orang yang peduli padanya.
Hidup terus berjalan. Yang pergi biarkan pergi. Tidak seharusnya kita mengusik ketenangan jiwa yang sudah tenang di sisi Tuhan.
Pulanglah Eomma
Eomma. Aku iri sama anak-anak yang di jemput saat pulang sekolah oleh ibunya. Pulang yuk Mma. Udah cukup main di rumah tuhan. Aku tidak punya teman menangis.
Luka yang Membelenggu
Bagaimana caranya melepas luka yang membelenggu ini Eomma. Luka-luka yang tidak ada obat penawarnya serta rindu-rindu yang selalu punya cerita. Tahun demi tahun terlampaui namun bekas lukanya tetap membasah.
Berbagai cara aku lakukan untuk melupakanmu. Aku bahkan mulai membuka hati pada ibu tiriku. akan tetapi kelihatannya dia tidak menyukaiku. Wajar, siapa yang mau menyayangi anak yang bukan dari rahimnya.
Setiap melihat dia tersenyum aku langsung terbayang dengan senyummu. Eomma, bolehkah aku menumpangkan sebagian beban berat ini di pundaknya. Apakah tidak terlalu keterlaluan meminjam pundaknya untuk anak dari wanita yang telah merebut suaminya.
Mata Lisa menyipit ketika menemukan namanya menjadi judul awal cerita di halaman selanjutnya.
Maaf Lisa
Saat itu hujan turun amat deras. Aku terjebak di pinggir jalan bersama motor tuaku yang mogok. Aku membawanya menepi ke halte bus untuk berteduh sembari menunggu hujan berhenti. sementara malam semakin larut dan jalanan mulai sepi.
Tubuhku basah kuyup dan kedinginan. Setengah jam menunggu hujan mereda, sebuah mobil sport berwarna abu-abu berhenti di depan halte. Perasaanku tidak enak. Namun setelah orang di dalam mobil itu keluar aku semakin terkejut.
Dia Lisa, adik bungsuku.
"Unnie, ayo pulang bersamaku"
Aku tidak langsung menjawab. Aku menarik motor tua ku meninggalkannya walau hujan masih deras dan seharusnya aku berterimakasih tetapi aku memarahinya. Ku lihat dia menangis dan aku terus melajukan motorku tanpa melihat kaca spion.
Lisa, kau mungkin menganggapku sombong dan tidak tau diri. Aku hanya tidak ingin kamu sakit. Selain itu setiap kali melihatmu aku selalu teringat dengan calon adikku. Jika dia masih hidup mungkin dia akan tumbuh secantik dirimu.
Aku berterimakasih karena kau sudah menyayangiku seperti kakakmu yang lain. tapi maaf, bagiku kau masih orang asing.
Air mata Lisa terjatuh begitu selesai membacanya. Jadi itu alasannya. Kenapa Jennie menjaga jarak darinya.
"Aku gak bakal nyerah buat Unnie luluh sama aku" tekad Lisa menyeka kasar air matanya.
Lisa menutup buku diary tersebut. Keluar dari kamar mencari sang ibu untuk membicarakan hal penting.
"Mom" bisik Lisa memanggil Taeyeon yang sedang menyiapkan makan malam.
"Apa Lisa?"
"Masih sibuk nggak Mom"
"Bentar lagi siap nih. Kenapa bisik-bisik segala. Kemarilah" suruh Taeyeon.
"Aku mau ngomong hal penting empat mata sama Mommy"
"Nanti saja selesai makan kita bicarakan ya" Lisa mengangguk mengiyakan.
Tingkah Lisa yang sedikit aneh hari ini membuat anggota lain penasaran. Hal penting apa yang ingin dia bicarakan sama Taeyeon hingga orang lain tidak boleh tau.
Lisa membawa sang ibu ke kamarnya. Tidak lupa mengunci pintu sementara Taeyeon sudah duduk menunggunya dibibir kasur.
"Ada apa Lisa?"
"Aku bakal kasih Mommy pertanyaan dan Mommy cuma perlu jawab iya atau nggak, oke" Taeyeon hanya mengangguk.
"Apa Mommy membenci Jennie Unnie?"
"Kenapa bertanya tentang itu" baru pertanyaan pertama, Taeyeon melayangkan protes.
"Jawab saja iya apa enggak?"
"Ne" jawab Taeyeon.
"Kenapa? Apa karena ibunya merebut Daddy dari Mommy" tanya Lisa selanjutnya.
Taeyeon bergeming. Otaknya sedang mencari kata-kata yang pas untuk menjawab.
"Ne"
"Apa ada sedikit saja Mommy mengasihaninya?"
"Kok kamu tiba-tiba jadi bahas dia sih. Apa yang kamu mau dari Mommy"
"Kan sudah ku bilang, Mommy cuma perlu jawab iya atau tidak" balas Lisa menekan kalimatnya.
"Nggak"
Lisa membuang napas berat. Pertanyaannya cukup sampai disini. Ternyata apa yang Jennie tulis di buku itu memang benar. Pantas saja ia menjadi semakin dingin.
"Mom, Mommy pernah nggak nempatin diri di posisinya ibu Jennie Unnie?"
Pertanyaan Lisa membuat air muka Taeyeon berubah. Apa yang dialami Sooyeon sungguh memprihatinkan.
"Bayangin gimana kalau Mommy diposisinya. Meninggalkan anak yang masih kecil sendirian di dunia. Hatinya pasti hancur, sama hancurnya dengan Jennie Unnie. Lalu peran Mommy sebagai ibu apa? Apa karena dia bukan anak kandung Mommy, Mommy melupakannya? Jennie Unnie juga butuh kasih sayang ibu Mom" ucap Lisa panjang lebar.
"Aku disini bukan untuk menggurui Mommy. Aku kasihan Mom. Unnie belum bisa melepas kepergian ibunya. Kelihatannya aja diluar dia kuat, nyatanya tiap malam ada bantal yang rela basah menampung air matanya. Dadaku sesak setiap membaca tulisan tangannya" lirih Lisa diakhiri buliran air mata.
"Aku mau Mommy jadi obat lukanya. Berikan ia kasih sayang ibu yang telah lama sirna dari hidupnya. Mommy seorang ibu, Mommy pasti paham maksudku. Aku mau dia melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang ibunya. Dia berhak bahagia Mom dan kita perlu membantunya"
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Wound ✓
FanfictionLuka, air mata, dan penyesalan yang Jennie alami puluhan tahun lalu menjadikan Jennie sosok dingin dan tak berperasaan. Berpikir dengan menjauhi semua orang lukanya akan sembuh ternyata salah. Jennie butuh seseorang untuk menyembuhkannya. - BLACKPIN...