Sesampainya di mansion Lee, Jiyoung terkejut menemukan Jisoo dan Taeyong juga ada disini. Mengesampingkan tatapan heran putrinya, Jiyoung terus berjalan lurus menuju Taeyong. Dia harus mendengar alasannya sendiri dari mulut Taeyong sebelum mencerca ibunya.
"Kenapa kau memecat putriku. Kesalahan apa yang telah dia perbuat padamu" tanya Jiyoung berapi-api. Melupakan bahwa pemuda tegap didepannya ini adalah menantunya.
Disebelah Taeyong, Jisoo menundukkan kepala. Dia tidak mampu mencegah Taeyong memecat Jennie hingga sang ayah turun tangan kesini.
"M-maaf Dad. Jennie tidak melakukan kesalahan, aku,-"
"Aku yang menyuruhnya" ibu Taeyong menyela membela putranya.
"Apa dendammu pada putriku. Selama ini dia telah berjasa membawa perusahaan keluargamu menjadi maju" tanya Jiyoung berusaha mengendalikan emosinya supaya tidak melukai wanita tua ini.
"Kerjanya memang bagus tapi aku tidak suka dengan sifatnya. Dia berpotensi merebut suami kakaknya seperti ibunya"
"JANGAN BAWA-BAWA ALMARHUM ISTRIKU!" hardik Jiyoung.
Suaranya menggema ke seluruh ruangan membuat suasana semakin runyam.
"Memang kau siapa berhak menilai baik buruknya seseorang. APA KAU SUDAH SESEMPURNA ITU?!"
Kali ini kemarahan Jiyoung tidak dapat lagi ditahan. Sudah cukup lama dia membiarkan putrinya menanggung luka sendirian.
"Dia bekerja keras membantu perusahaanmu berkembang sampai dia kurang istirahat. Dan ini balasanmu padanya. apa kau tidak punya malu"
Perkataan Jiyoung menohok Taeyong. Jennie memang berperan andil dalam kesuksesan perusahaannya.
Sadar tidak boleh diteruskan seperti ini, Jiyoung mengambil udara sebanyak yang mampu dia hirup. Berusaha keras meredam emosi sebelum masalah semakin rumit dan berimbas pada orang yang tidak bersalah.
Jiyoung balik badan. Menatap Taeyong yang menunduk takut.
"Selagi aku masih hidup, tak akan ku biarkan siapapun berani melukainya. Dan terimakasih sudah memecat putriku. Sudah lama aku menginginkannya memimpin di perusahaanku. Sekarang dia tidak lagi menjadi budakmu tapi seorang pemimpin yang disegani masyarakat" sarkas Jiyoung.
"Dad, bagaimana keadaan Jennie" tanya Jisoo takut-takut. Mengkhawatirkan kondisi sang adik.
"Dia drop" Jisoo terhuyung ke belakang sambil menutup mulut saking kagetnya.
"Kau sudah melukai satu putriku. Jika kau juga melukai Jisoo, aku akan membawanya pulang" ancam Jiyoung.
"Aku janji tidak akan mengecewakanmu Dad"
"Kau baru saja mengecewakanku" pungkas Jiyoung berlalu pergi meninggalkan mansion ini.
Sementara di mansion, Jennie sempat kesulitan bernapas hingga terpaksa dipasangkan oksigen dan infus. Gadis tangguh itu kini tumbang setelah melewati ribuan badai.
"Mom, badannya sangat panas" lirih Lisa yang setia menemani sang kakak disamping kasur.
"Mommy sudah mengompresnya. Doakan saja semoga besok panasnya turun hum"
"Bagaimana kondisinya?" Jiyoung bertanya sesampainya di rumah.
"Suhu tubuhnya semakin naik"
Lekas Jiyoung naik ke atas kasur. Siapapun pasti tidak akan tau kalau saat ini dia sedang terguncang.
"Cepatlah bangun. Nini harus sembuh. Appa yakin putri Appa kuat seperti Eomma" bisik Jiyoung menggenggam tangan kiri Jennie yang sangat panas.
Chaelisa yang mendengarnya menangis tak terkecuali Taeyeon.
"Jen" suara lain bergabung dalam isak tangis tersebut. Orang itu adalah Jisoo dan Taeyong.
Jisoo mengambil tempat duduk di samping Lisa. Matanya memperhatikan Jennie yang masih betah menutup mata bersama masker oksigen diwajahnya.
Jiyoung tidak menggubris kehadiran anak dan menantunya. Jemari besarnya sibuk mengelus pipi tirus pucat Jennie.
"Appa mianhae. Selama dimasa-masa sulitmu Appa tidak ada disisimu"
Satu tetes air mata Jiyoung jatuh di pipi Jennie. Jiyoung memejamkan mata kemudian mengecup hangat kening sang anak lumayan lama. Penyesalan yang telah lama dikubur kini menyeruak lagi ke permukaan. Dada Jiyoung amat sesak sekarang seperti sedang dihimpit benda berat.
"Luka-lukanya masih basah ya nak?" bibir Jiyoung bergetar menahan isakan yang hendak keluar.
"Orang-orang sesuka hati menancapkan pisau ditempat luka yang lama. Padahal mereka tidak tau bagaimana kerasnya putriku mencoba bangkit dari jatuhnya" Jiyoung mengoceh sendiri. Biarkan mereka melihat sisi rapuhnya karena dia juga manusia.
"Appa mianhae hiks"
"Appa" Jennie bersuara pelan.
Matanya perlahan terbuka. Ia sudah siuman dan sengaja pura-pura tidur untuk mendengar ucapan orang disekitarnya.
"Bukan salah Appa kalau lukaku masih basah" senyum Jennie terselip ribuan panah-panah luka yang menyerbu dadanya. membuatnya semakin sesak.
"Salahku tidak datang mencarimu saat terluka"
Jennie merentangkan tangan dan disambut baik oleh sang ayah dengan pelukan. Puluhan tahun berlalu dan ini pertama kalinya ia merasakan tubuh putrinya sangat kurus dalam rengkuhan.
"Aku sayang Appa" kalimat yang sangat lama ingin Jiyoung dengar, akhirnya terucap hari ini.
Jiyoung terus mengecup pipi dan kening Jennie sebagai ucapan syukur.
"Cepat sembuh. Appa keluar dulu" Jennie mengangguk.
Jiyoung menyeka kasar jejak air matanya kemudian keluar dari kamar Jennie.
"Jennie-ya maafkan aku"
"Tidak perlu Unnie. Aku mengerti posisimu. Aku menyesal sudah memberitahu Appa. Dia pasti mengamuk Taeyong tadi kan"
Jisoo melirik suaminya lalu terkekeh. Sampai sekarang Taeyong masih trauma berhadapan langsung dengan Jiyoung jika seandainya Jisoo tidak memaksa kesini.
"Tidak cuma Taeyong tapi juga Eomma. Aku mengerti perasaan Daddy. Dia tidak akan pernah membiarkan putrinya disakiti oleh lelaki manapun" Jennie mengangguk lemah.
"Mianhae Taeyong-ah"
"Aku pantas menerimanya" senyum Taeyong lirih.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Wound ✓
FanfictionLuka, air mata, dan penyesalan yang Jennie alami puluhan tahun lalu menjadikan Jennie sosok dingin dan tak berperasaan. Berpikir dengan menjauhi semua orang lukanya akan sembuh ternyata salah. Jennie butuh seseorang untuk menyembuhkannya. - BLACKPIN...