- Mengulas Memori Pilu -

696 59 0
                                    

Sebuah insiden merubah diri Jennie yang dulunya ceria kini menjadi pendiam. Kejadian 17 tahun lalu membawanya jatuh ke jurang luka tak berkesudahan. Waktu itu saat keluarga kecilnya sedang makan malam, seseorang mengetuk pintu rumah.

Seorang wanita bersama dua anak perempuan. Wanita tersebut mengaku kalau dirinya adalah istri dari sang ayah, Nam Jiyoung. Ia datang meminta haknya. Sebab semenjak menikah dengan ibu Jennie, Jiyoung jarang menemui mereka.

"Kamu apa-apaan Taeng. Sudah ku bilang aku akan menyelesaikan masalah ini di rumah" ujar Jiyoung berbisik-bisik.

"Kamu keterlaluan Oppa. Kamu menelantarkan kita. Anak-anakmu terus menanyakan kapan ayahnya pulang"

Jiyoung menjambak rambutnya frustasi. Ini terjadi diluar dugaannya. Alhasil ia membawa mereka masuk ke dalam. Bicarakan dengan kepala dingin.

"Yeoubo mereka siapa?" Tanya ibu Jennie tertuju pada Taeyeon dan anak-anaknya.

Jiyoung tampak gugup. Dahinya berkeringat dingin.

"Dia Taeyeon, istri pertamaku" ungkap Jiyoung.

"Sebelum menikah denganmu aku sudah menikah dengan Taeyeon" jelas Jiyoung membuat ibu Jennie tak mampu berkata-kata.

Air mata turun meleleh bak aliran sungai kecil di pipi. Menerjemahkan rasa sakit yang hati terima. Mengapa semua ini harus terjadi padanya.

Setelah berdiskusi dan memikirkan matang-matang, Jiyoung memutuskan kalau Taeyeon dan anak-anak tinggal satu atap bersama mereka.

"Sooyeon-ah, aku harap kamu bisa mengerti eoh. Aku berjanji akan bersikap adil pada kalian berdua" ujar Jiyoung ketika melihat raut terluka di wajah cantik Sooyeon.

Hari demi hari berlalu. sama halnya dengan sang ibu, Jennie juga tidak nyaman berbaur bersama mereka.

"Eomma" rengek Jennie dengan nada mendayu yang manja pada Sooyeon yang sedang tiduran di kursi santai depan kolam renang.

"Apa nak?"

"Peluk"

Ibu muda itu tersenyum. Mengangkat tubuh kecil Jennie lalu menidurkannya diatas dada. Persis sewaktu Jennie masih bayi.

"Eomma lagi banyak pikiran?" tanya Jennie di leher jenjang Sooyeon. Menikmati setiap inchi harum tubuh sang ibu yang menjadi candu.

"Enggak"

"Tapi Nini lihat Eomma sering melamun" bantah Jennie.

Jelas ia selalu memperhatikan gerak-gerik ibunya. Semenjak Taeyeon datang, Sooyeon selalu berwajah murung.

"Perasaan kamu aja mungkin" elak Sooyeon tidak mungkin jujur. Jennie pasti akan membenci mereka.

Detik berikutnya, tidak ada percakapan diantara mereka. Sooyeon sibuk dengan pikirannya sedangkan Jennie tenggelam dalam kenyamanannya.

Sejak Chaeyoung dan Lisa datang, Jiyoung tidak pernah lagi mengajak Jennie bermain. Seolah dia terlupakan dan tak terlihat.

"Eomma hiks" lari mengadu pada ibunya.

"Kenapa sayang. Kok nangis"

"Appa tidak sayang Nini lagi. mereka merebut Appa dari Nini huwaa" mata Sooyeon mengamati Jiyoung di taman belakang sedang bercanda ria dengan anak-anak Taeyeon. Hatinya berdenyut ngilu. Dia juga terabaikan.

"Main sama Eomma saja yuk" bujuk Sooyeon dan untungnya Jennie mau. Membawa Jennie main ke kamarnya.

Jennie mengucek mata. Membuang mainannya sembarangan lalu naik memanjat kasur.

"Eomma Nini ngantuk"

"Sini tidur disamping Eomma" balita empat tahun itu merebahkan tubuh gempalnya di pangkuan sang ibu.

"Disini sayang"

"Maunya disini" kukuh Jennie tidak ingin berpindah.

"Berat Eommanya nak" mendengar protesan Sooyeon, Jennie mendudukkan dirinya.

"Eomma ndak sayang Nini lagi seperti Appa"

"Bukan seperti itu nak. Perut Eomma besar dan tambah berat kalau Nini tidur disini" Sooyeon memberi pengertian. Pasalnya saat ini ia sedang hamil tua.

Sebab sudah terlanjur kecewa, anak itu mengambil bantal dan tidur di lantai. Ayah dan ibunya sama saja. Sama-sama tidak menyayanginya lagi. Dengan posisi membelakangi Sooyeon, air mata Jennie dapat turun bebas tanpa takut ketahuan.

Merasakan tubuhnya melayang dan berpindah ke kasur. Jennie pura-pura tidur dan cepat-cepat menghapus air mata. Namun tetap saja ia terlambat. Sooyeon terlanjur melihatnya.

"Jangan menangis nanti Eomma ikut sedih" lirihnya.

Jennie memutar tubuh menjadi menghadap Sooyeon. Menyembunyikan muka basahnya di dada sang ibu.

Hingga sebuah insiden yang tidak pernah Jennie duga terjadi. Saat menyebrang jalan, ada mobil melaju kencang ke arah mereka. Sooyeon mendorong Jennie ke pinggir jalan. Akibatnya mobil tersebut menghantam dirinya hingga terpental ke ujung jalan.

Jennie yang masih shock langsung sadar dan lari menghampiri sang ibu yang bergelimang darah.

"Eomma hiks hiks"

"Nak, j-jaga diri-mu b-baik-baik eoh" ujar Sooyeon terbata-bata. Darah menggenang disekitar. Tangan kanannya mencengkram perut besarnya.

"M-maaf, Eomma t-tidak b-bisa m-menemanimu s-sampai dewasa" Jennie menggeleng kuat. Buliran kristal berlomba-lomba mengaliri pipi gembulnya.

"A-adeknya, Eomma bb-bawa dulu ya" lidah Jennie kelu untuk berucap. Tidak bisa melakukan apapun selain menangis.

"S-saranghae uri Nini" pungkas Sooyeon seiring tertutupnya mata indah tersebut.

Jennie meraung sekeras-kerasnya. Mengguncang tubuh sang ibu yang tak bernyawa kemudian menjatuhkan kepala di dada Sooyeon yang tak lagi berdetak. Mendekap erat untuk kali terakhirnya. Mencium aroma tubuh ini meski telah bercampur amis darah.

Disanalah awal mulanya sosok Jennie dingin terbentuk. Tidak ada lagi senyuman menghiasi wajah rupawan itu. Tidak ada lagi pipi gembul tempat favorit Sooyeon mencubit dan menciumnya.

Hari itu. Di siang itu, dua nyawa orang tersayangnya di renggut bersamaan. Titik awal mengembara luka Jennie dimulai dan menjadi mimpi buruk sepanjang malamnya.

"Masih lama adek Nini lahirnya Mom"

"Dua bulan lagi nak. Kenapa, Nini tidak sabar bertemu dedek bayi?"

"Em. Nini mau mengajaknya main masak-masak bareng"

Memori pilu itu kembali berputar di kepala. Jennie menggeleng kuat. Berharap ingatannya tentang hari menyedihkan itu lenyap bersama luka di hatinya.

"Bogoshipda Eomma. Bogoshipoyo" teriak Jennie pada air sungai yang tenang.

Cahaya rembulan menyorot dirinya yang tampak menyedihkan. Bayang-bayang dirinya di permukaan air itu bahkan tidak bisa berbohong. Begitu memprihatinkan.

Menangis dan terisak seorang diri dibalik kegelapan malam. Tidak memperdulikan angin dingin malam menusuk kulit. Sesak di dada tak kunjung hilang. Cerita lama tak kunjung usai.

"Eomma aku sendirian. Eomma aku kesepian"












Tbc

Eternal Wound ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang