"Bagaimana meeting kemarin Pih. Apa berjalan lancar" tanya Jisoo membuka obrolan setelah terjadi hening singkat.
"Produk kita belum bisa di rilis karena ada kesalahan"
"Salah? Perasaan waktu itu udah ku cek banget dan semuanya udah oke kok" sangkal Jisoo.
"Target pasar kita belum jelas Jisoo. Mereka benar-benar membuatku malu" dengus Jiyoung merasa kesal mengingat kejadian di ruang rapat siang itu.
Di waktu bersamaan, Jennie turun dengan piyama coklat dan rambut di cepol ke atas mengambil minum di dapur.
"Jennie-ya" merasa namanya dipanggil, Jennie menoleh.
"Kemari sebentar, Appa mau bicara" walau sebenarnya enggan. Jennie tetap menyeret kakinya ke tempat sang ayah dan yang lain duduk.
"Ada apa?" suara datar Jennie menusuk gendang telinga mereka. Aura sekitar mendadak berubah menjadi tegang dibuatnya.
"Appa melihat potensi besar pada dirimu. Daripada bekerja di perusahaan orang lebih baik memimpin di perusahaan Appa" tawaran Jiyoung sama sekali tidak membuatnya tergiur. Terbukti dari raut wajahnya yang biasa saja.
"Aku sudah nyaman disana"
"Tunggu nak. Appa belum selesai bicara" tangannya ditahan Jiyoung.
Tangan yang masih sama seperti dulu. Kecil dan halus. Mengingat itu Jiyoung rasanya ingin menangis.
"Apa lagi"
"Duduk dulu disini" suruh Jiyoung menarik tangan Jennie duduk disebelahnya.
"Kamu ada masalah?"
"Siapapun pasti punya masalah" Jiyoung menghela napas. Sulit sekali bicara dengan kulkas sepuluh pintu ini.
"Appa boleh bertanya?" Tanya Jiyoung tak mendapat respon apapun dari Jennie yang membuatnya langsung melesak ke pertanyaan.
"Kenapa kau selalu menghindari Appa. Apa ada sesuatu yang mengganggumu atau,-"
"Aku hanya tidak ingin bicara apapun" tidak membiarkan sang ayah menyelesaikan kalimatnya, Jennie memotong cepat. Basa basi yang amat dia benci.
"Aku ayahmu Jennie. Jangan bersikap seolah-olah aku orang asing di rumah ini. Kau pikir dengan caramu menghindari kita begini ibumu diatas sana bangga"
"Jangan bawa-bawa Eomma!" Jennie menekan setiap kata dalam kalimatnya.
Matanya menajam seolah membunuh mata siapapun yang beradu pandang dengannya.
"Jennie-ya"
"Jika kau terganggu abaikan aku!" ucap Jennie melenggang pergi.
Jiyoung merutuki mulutnya yang asal ceplos. Jennie sangat sensitif jika menyinggung soal ibunya.
"Haish! Kenapa aku harus mengatakan itu"
"Dad" panggil Jisoo gak enakan.
"Hmm"
"Sebenarnya apa yang terjadi sama ibunya" tanya Jisoo hati-hati.
Berat bagi Jiyoung bercerita. Kejadian belasan tahun itu benar-benar hari yang amat berat untuknya.
"Sooyeon meninggal karena kecelakaan dan pada saat itu dia sedang hamil" ujar Jiyoung lirih.
Jisoo mengangguk paham dan memilih diam meski masih banyak pertanyaan berkeliaran di benaknya untuk dituntaskan.
"Jennie dulu anak yang manis. Dia sangat manja dan cengeng. Setiap hari dia menyambut Daddy pulang dengan segelas teh hangat dan macaron yang dia buat bersama Sooyeon" kata Jiyoung mulai bercerita tentang masa kecil Jennie.
"Sampai dia bilang pengen punya adik biar samaan kayak teman-temannya yang lain. Pas tau Sooyeon hamil, Jennie seneng banget tapi kadang-kadang masih suka cemburu kalau Sooyeon lagi ngajak adeknya ngobrol. Pokoknya Eomma cuma punya Nini seorang" senyum Jiyoung mengembang mengingat Jennie kecil.
Dimana saat itu Jennie masih sangat polos dan lucu.Wajah Jiyoung tertekuk ke bawah. Luka-luka yang telah lama tersimpan terbuka lagi. Luka yang tak akan pernah ada obatnya. Sehabis mendengarkan cerita Jinyoung tadi, Lisa berniat mengunjungi kamar Jennie. Mengetuk pintu dan menunggu sesaat sampai pintu tersebut dibukakan.
"Unnie lagi ngapain" tanya Lisa basa-basi. Jari-jemarinya memilin ujung piyama karena takut.
"Minum" jawab Jennie datar.
Meninggalkan Lisa, lalu pergi ke balkon kamar menikmati sampanye diatas meja.
"Ini apa Unnie, kok aku baru lihat minuman kayak gini" tanya Lisa penasaran mengamati botol sampanye yang Jennie pegang.
"Sampanye" nama minuman itu terdengar familiar ditelinga, yaitu salah satu minuman keras yang diminati oleh seluruh warga Korea.
Lisa sering mendapati teman-teman sekelasnya meminum minuman haram itu di belakang sekolah yang berakhir dengan dihukum. Gadis berponi itu memutar otak. Mencari cara supaya Jennie berhenti menyesap minuman itu.
Tanpa rasa takut sedikitpun, Lisa merebut sampanye itu dari tangan Jennie lalu melemparnya ke bawah.
"Minumannya tidak enak. Tunggu disini akan ku bawakan minuman lain" kata Lisa, Jennie balas tatapan bingung.
Lima menit berlalu, Lisa datang membawa dua buah susu kotak coklat.
"Ini lebih enak. Ambillah" Jennie tak mampu berkata-kata melihat kelakuan si bontot. Bisa-bisanya dia dikasih minuman bayi.
"Ambil" desak Lisa sebab Jennie tak kunjung mengambilnya.
"Aku bukan anak kecil"
"Lansia aja masih minum susu" jawab Lisa menyebalkan.
"Nonton yuk Unn. Ada drama baru nggak?"
Dahi Jennie berkerut tipis. Tidak ada angin, tidak ada hujan anak ini tiba-tiba sok akrab dengannya. Ditambah berlagak bossy seolah ia si pemilik kamar.
Jari jari panjangnya sibuk mengotak-atik remote tv Jennie. Mencari-cari drama yang akan mereka nonton di Netflix sementara Jennie hanya bisa terdiam membisu.
"Ini aja deh" mengambil bantal dan membenarkan posisi duduk. Mata bulat Lisa fokus ke layar lebar tv.
Jennie hanya bisa pasrah membiarkan bocah itu melakukan apapun di kamarnya. Ia memilih bersandar di headboard kasur sambil bermain ponsel.
Akan tetapi, saat ditengah-tengah film. Lisa tiba-tiba memekik membuat Jennie terperanjat kaget. Tanpa sadar ia langsung memeluk Jennie. menyembunyikan wajahnya di perut rata sang kakak.
"Apa hantunya sudah pergi Unn" tanya Lisa masih membenamkan wajahnya di perut Jennie.
Jennie melirik tv. Menurutnya hantu-hantu di film itu sama sekali tidak menyeramkan.
"Sudah"
Pelan-pelan balik badan menghadap depan. Sudah tau penakut tapi masih nekat buat nonton. Lisa takut tapi penasaran.
"Eh" bingungnya ketika saluran tv diganti oleh Jennie.
Baby shark dududu baby shark dududu baby shark ~
Rahang Lisa terjatuh. "Kok diganti sih Unnie" protes Lisa.
"Ini lebih cocok buat kamu" balas Jennie datar dengan wajah yang dingin.
Bibir tebal Lisa mengerucut. Jennie seolah mengejeknya.
Sebab malam semakin larut, mata Lisa mengantuk. Entah kemana hilangnya rasa takut itu. Ia dengan nyamannya tidur memeluk pinggang Jennie. Sang empu cuma bisa membiarkan Lisa memeluknya. Tidak tega juga mengusir bocah itu.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Wound ✓
FanfictionLuka, air mata, dan penyesalan yang Jennie alami puluhan tahun lalu menjadikan Jennie sosok dingin dan tak berperasaan. Berpikir dengan menjauhi semua orang lukanya akan sembuh ternyata salah. Jennie butuh seseorang untuk menyembuhkannya. - BLACKPIN...