Hatinya Hatiku

307 33 11
                                    

Faris keluar dari ruangan, mencari tempat sejuk yang menurutnya bisa dia gunakan untuk menenangkan diri sendiri. Bukankah sedari dulu Faris selalu menolak Aqila, lalu kenapa perempuan itu selalu menganggu hidupnya dan juga Faris sama sekali tidak pernah memberi harapan apapun pada Aqila. Justru Faris akan selalu menjauh dari perempuan itu walaupun teman temannya selalu menjodohkan dirinya dengan Aqila.

Apa salah Faris menentukan cintanya sendiri? Kenapa teman temannya itu selalu ingin ikut campur? Terutama Amira, bagaimana perasaan perempuan itu jika berada di posisi Aneesha? Sungguh Faris tak percaya jika dirinya memiliki teman yang jahat.

Dari awal pernikahan mereka terdengar, teman temannya menentangnya. Jika jodoh di tangan teman, lalu apa fungsi Allah memberikan hati untuk kita semua? Faris tak habis pikir, terlebih dengan Ali. Laki-laki itu seolah membenarkan kelakuan istrinya, rasanya Faris ingin memukul Ali di hadapan para santri. Tak peduli namanya akan jelek, yang terpenting Ali tahu jika itu adalah kesalahan.

"Astagafirullah, lindungi hati istri hambamu ini ya Allah."

Faris mengusap kasar wajahnya, dia menundukkan. Tak terasa air matanya luruh begitu saja, mengingat istrinya juga menyaksikan perdebatan itu. Apakah istrinya itu sakit hati dengan ucapan Amira? Wanita mana yang tidak sakit hati jika di kasari oleh wanita yang bahkan kenal baik dengan suaminya?

"Maafkan aku ya zawjati," lirih Faris.

Dia mengalihkan pandangannya ketika melihat ponselnya berdering. Itu istrinya, tetapi dirinya tak berniat untuk mengangkatnya. Sungguh, dia merasa malu dengan istrinya.

"Aku rindu, tapi aku malu sayang." Faris meletakkan ponselnya, membiarkan ponsel itu berbunyi berkali kali.

Faris menghirup udara dengan rakus, dan di hembuskannya secara kasar. Dia memejamkan matanya, menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya, sembari mengobati sakit akibat perkataan Amira yang begitu mengintimidasi istrinya. Walaupun istrinya tak takut dengan Amira, tapi sama saja.

"Ris?" Seseorang menepuk pundak Faris.

Faris tersentak, dia menoleh dan mendapati Ali yang sedang berdiri sembari menatap dirinya dengan tatapan yang bersalah. Faris mendengus, dia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ali yang melihat itu pun menghembuskan napasnya pelan.

"Ana minta maaf Ris," ucap Ali dengan lirih.

Faris tertawa, dia menoleh kembali ke arah Ali dan mengernyit.

"Hanya dengan permintaan maafmu, apakah kamu bisa menyembuhkan luka di hati istriku saat ini, Li?" tanya Faris dengan serius.

Ali yang di tatap begitu pun mengalihkan pandangannya. Benar kata Faris, hanya dengan permintaan maaf saja tak bisa menyembuhkan hati seseorang. Terlebih lagi istrinya juga masih keras kepala dan terus menyalahkan Aneesha.

"Maaf." Ali sudah tak tahu harus berkata apa lagi.

Faris menghela napas, "Bisa kamu pergi dulu gak? Aku ingin sendiri," usir Faris secara terang terangan.

Ali mendengarnya, "Kalau ada apa apa cerita Ris." Ali melangkah pergi, tetapi langkahnya tertahan ketika mendengar ucapan Faris.

"Apa yang perlu di ceritain, Li? Apa kamu ingin mengerti tentang hatiku saat ini? Kamu tau tidak Li? Hatinya itu juga hatiku. Jika ada orang yang melukai hatinya, maka orang itu juga melukai hatiku dan gampangnya seseorang yang mengenalku lama dengan begitu teganya menyakiti hidupku."

Ali termenung, dia merasa bersalah karena membiarkan istrinya terus menghardik istri kecilnya Faris.

"Aku mencintainya dengan segenap hati dan hidupku, seharusnya kamu tahu itu Ali." Faris mendongak, menatap mata temannya. Sudut matanya sudah kembali menumpuk air yang siap jatuh ke bawah.

"Istri kecilku itu ... Adalah cintaku, hatiku, hidupku dan juga surgaku," ucap Faris di iringi dengan senyuman lembut.

Ali mengangguk. "Aku mengerti, tenangkan dulu pikiranmu. Biar aku yang berbicara dengan istriku." Ali pergi begitu saja, meninggalkan Faris sendirian di sana.

---

"Hubbie?" panggil Aneesha, saat ini mereka berdua sedang melakukan video call sedari selesai sholat dzuhur.

Melihat Faris yang terdiam, Aneesha kembali ingin menegur Faris. Dia merasa kebingungan dengan kelakuan Faris yang terus saja diam. Aneesha mengernyit heran.

"HUBBIEE!" teriak Aneesha kencang, membuat Faris yang sedang menggunakan headset bluetooth pun terlonjak kaget.

"Astaghfirullah Humaira, kaget aku." Faris mengelus dadanya dengan lembut.

"He he, kamu sih gak dengerin aku Paris!" Mata Faris membola ketika mendengar istrinya memanggilnya hanya menggunakan nama.

"Kok Paris?"

"Nama kamu Paris, kan?" Bukannya menjawab Aneesha justru ikutan bertanya.

"Hmm, tapi panggil yang bener sayang!"

"Tidak mau wlee!"

Faris geleng-geleng kepala melihat kelakuan Aneesha yang terlihat menggemaskan di matanya. Faris menikmati wajah Aneesha yang terpancar keceriaan.

"Humai?" panggil Faris, Aneesha menoleh.

"Aku minta maaf, temanku sangat tidak sopan denganmu. Maafkan aku, yang tidak bisa melindungi hatimu. Lain kali aku akan berusaha lagi," sesal Faris dengan wajah murung.

Aneesha tersenyum simpul, "Aku tidak apa apa."

Faris mendongak. "Apa? Bukankah itu menyakitkan hati?" tanya Faris dengan heran.

Aneesha menggeleng, "Jangan khawatir, aku sudah terbiasa dengan ini. Aku bahkan dulu tak memiliki teman, jangan khawatirkan aku," balas Aneesha dengan lembut dan di iringi oleh senyuman manis yang terbit di kedua sudut bibirnya.

"Justru karena itu aku ingin melindungimu, agar kamu tidak terbiasa dengan rasa sakit yang kamu terima."

"Tidak apa apa. Apa kamu sudah makan?" Aneesha berusaha untuk mengalihkan pembicaraannya.

Faris berdecak, istrinya selalu seperti ini. Dia hanya ingin istrinya itu terbuka kepadanya, tetapi Aneesha justru suka sekali memendam rasa sakitnya. Seperti waktu itu ketika patah hati karena perkataannya yang salah di artikan oleh istrinya dulu, sehingga istri kecilnya itu memilih untuk pergi keluar kota supaya bisa melupakan dirinya.

"Aku ini suamimu, tempat kamu pulang dan tempat seluruh keluh kesahmu ketika kamu merasa lelah. Jangan takut untuk mencurahkan segalanya padaku, percayalah aku akan selalu di sampingmu untuk menjagamu!"

Aneesha yang mendengarkan pun meneteskan air matanya, dia merasa senang. Aneesha bahagia. Apakah ini nikmat yang Tuhan berikan kepadanya setelah beberapa kali merasakan patah hati? Dan akhirnya dirinya mendapatkan orang yang namanya selalu dia sebut dalam sujudnya?

"Sungguh nikmat Tuhan yang mana yang mau Engkau dustakan Nes?" batin Aneesha.

"Jangan nangis sayang, aku tak bisa mengusapnya!"

"Tidak! Aku tidak menangis Paris!" Aneesha mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Ck, kamu selalu saja berbohong kepadaku, padahal kamu saja tidak pernah bisa berbohong kepada orang!" Faris merasa kesal dengan istri kecilnya.

"He he, maaf ya? Aku hanya bahagia, ternyata doaku gak sia sia ya?" ucap Aneesha, dia mendongak seakan menerawang langit-langit kamarnya.

"Tidak, doa kita bertemu di atas sana. Jadi tidak ada yang sia sia!"

"Hmm baiklah, aku percaya." Aneesha tersenyum kecil, membuat Faris juga ikut tersenyum.

"Aku mencintaimu, Humaira."

"Aku juga!"

---

Halo, maaf aku update agak lama dikit. Semoga gak mengecewakan ya
😭

Mungkin besok aku update lagi kok!

Bye bye semua

Jangan lupa vote dan komen ya! Biar makin semangat nulis hehe

Living With Mas SantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang