mimpi?

106 12 13
                                    

"Kamu kemana?" tanya Halwa saat melihat Kahfi yang sudah rapi.

"Lihat laki-laki itu sayang." Kahfi memeluk tubuh istrinya dengan lembut.

"Mau ikut boleh?" tanya Halwa hati-hati.

Kahfi menaikkan alisnya dan menatap bingung ke arah istrinya. Laki-laki itu menghela napasnya pelan, dan karena itu Halwa mengetahui jawaban yang akan di lontarkan oleh Kahfi.

Halwa mengerucutkan bibirnya kesal, tetapi Kahfi justru tertawa kecil. Pria itu merasa gemas dengan istrinya.

"Kan benar sayang, kalau kamu ikut siapa yang akan jaga Anes?" tanya Kahfi, dia menahan tawanya ketika melihat raut wajah sang istri yang terlihat kebingungan.

"Iya juga ya? Kalau aku ikut, siapa yang jaga putriku?" gumam Halwa pelan, dia menatap Kahfi dan Aneesha secara bergantian.

"Udah, kamu di sini aja ya? Temani putri kita, biar aku yang selesaikan semuanya. Kamu yang tenang ya?" ucap Kahfi dengan lembut.

"Janji? Kamu bakalan selesaiin semuanya hari ini kan?"

"In syaa Allah ya sayang? Doain semoga korbannya cepet siuman." Kahfi mengecup puncak kepala Halwa, kemudian berpamitan kepada istrinya itu.

"Aamiin, semoga ya mas!"

---

"Ustadz!"

Kahfi mendengar bila ada seseorang yang memanggilnya, pria paruh baya itu memutar kepalanya mengikuti sumber suara.

"Ya? Apa ada perubahan dari korban?" tanya Kahfi ke salah santri yang ikut serta menjaga korban.

"Alhamdulillah ustadz, korban telah siuman. Tetapi belum bisa berbicara telalu banyak, mungkin beberapa jam lagi kita bisa kembali bertanya kepadanya," papar santri itu.

"Alhamdulillah, syukurlah." Kahfi sangat bahagia, hingga tak terasa jika dirinya sedang menitikkan air matanya.

"E-eh ustadz kenapa nangis?" Santri itu panik ketika melihat Kahfi menangis.

"Haha tidak apa apa, saya hanya senang."

"Tapi bukannya teh Aneesha belum siuman ya?" tanya santri itu dengan hati-hati.

"Memang, tapi Faris juga anak saya. Dia menantu saya, suami dari anakku, maka dia juga berhak mendapatkan kasih sayang dariku."

Santri itu meneguk ludahnya secara kasar, "Nawaitu punya mertua kayak mertua aa Faris."

"Yuk, kita masuk ke ruangan?" ajak Kahfi.

"Na'am ustadz."

Mereka berdua masuk ke dalam ruangan tersenyum, nuasa putih tulang sangat terpancar dari sudut sudut ruangan itu.

Kahfi menyapa orang tua dari korban, dengan senyuman yang selalu terpancar dari sudut bibir Kahfi.

"Assalamu'alaikum." Kahfi mendekat ke arah korban, pria paruh baya itu menatap mata korban yang masih tertutup. Pria paruh baya itu, meletakkan tangannya di atas tangan korban dan membacakan doa untuknya.

"Semoga lekas membaik ya nak," lirihnya dengan kecil, membuat beberapa orang tak bisa mendengar ucapannya.

---

Di sisi lain

"Bangun nak, ummah kangen." Halwa memeluk tubuh putrinya dari samping, menyisir rambut Aneesha dengan lembut. Wanita paruh itu mengecup puncuk kepala Aneesha, sesekali juga mengusap perut Aneesha yang terlihat besar.

"Bangun ya sayang? Kasian Faris, dia terpukul dengan keadaan kamu yang seperti ini, sayang."

"Bangun yuk? Mau mangga berapa nak? Katanya tetangga rumah ingin memberi kamu semua mangga yang ada di pohonnya."

Gerakan kecil terasa di perut Halwa yang sedang menindih tangan Aneesha yang tidak di beri infus. Wanita itu tersentak kaget sekaligus senang.

"Nak? Kamu beneran mau mangga?"

Lagi dan lagi, Aneesha merespon ucapan itu dengan gerakan kecil di tangannya.

"Kamu denger ummah kan nak? Bangun ya sayang? Kasian dede utunnya, kan dia juga mau makan mangga seperti ummahnya."

Tak lama kemudian, kelopak mata Aneesha perlahan terbuka. Halwa semakin menangis melihat hal itu, rasa sesak di dadanya semakin menghilang, tetapi juga menghimpit rasa senang di dadanya.

"A-air!"

Halwa kelabakan mencari air, karena pandangannya sedikit mengabur.

"Bisa duduk nak?" tanya Halwa dengan suara seraknya.

Aneesha mengangguk. "Bisa ummah," balasnya singkat.

Aneesha duduk di bantu oleh Halwa, kemudian wanita itu minum dengan di tuntun oleh Halwa. Aneesha meneguk airnya sedikit dengan sedikit, tetapi mampu membuat Halwa tersenyum.

"Suamimu pasti senang saat mendengar kabar ini sayang."

"Mas Faris?" tanyanya lemah. Wanita itu mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan, seolah mencari sosok suaminya.

"Suamimu ... Masih di polsek sayang."

"Anes rindu mas Faris, ummah."

Halwa tersenyum. "Iya, nanti kita ke sana ya kalau kamu sudah pulih." Halwa mengelus rambut Aneesha yang terlihat acak-acakan.

Wanita itu menganggukkan, Pandangannya turun ke bawah. Aneesha mengelus perutnya dengan senyuman yang terukir di bibirnya.

"Aneesha mimpi bertemu dengan dede utun. Wajahnya mirip dengan mas Faris, makanya Anes rindu mas Faris ummah." Binar bahagia terlihat di kedua matanya.

"Tapi ... Kenapa di sana, mas Faris ngga ada ya ummah?" tanya Aneesha dengan sedih.

"Kan mimpi sayang, ngga harus semuanya bertemu dengan kita kan?" jawab Halwa seadanya.

"Bukan itu ummah, tapi ...."

Halwa mengernyitkan alisnya dengan bingung, menunggu kelanjutkan perkataan putrinya.

"Apa?"

"Mas Faris, meninggal."

---

Segini dulu ya🗿
Nanti ku lanjut, insya Allah🥲

Living With Mas SantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang