BAB 14 : KEHILANGAN

120 5 0
                                    


Aku berjalan di sebuah taman yang indah sekali, banyak bunga-bunga di sekitarnya. Kupu-kupu berterbangan, udara yang sejuk dan suara kicauan burung-burung. Aku berjalan-jalan sambil tersenyum, dari kejauhan aku melihat sosok perempuan yang sepertinya aku kenal. Aku berjalan mendekati sosok tersebut, seakan tidak percaya. Aku menggosok-gosok kedua mataku untuk meyakinkan, ternyata itu adalah mama.

Aku berjalan ke arah mama dan beliau tersenyum ke arahku, beliau mengatakan kalau dia sayang dan bangga kepadaku.

Aku terharu dan ingin memeluk mama, tetapi mama katakan tidak bisa. Mama mengatakan, kalau duniaku dan mama sekarang sudah berbeda. Aku tidak peduli dan memaksa ingin ikut dengan mama, tapi mama melarang. Mama katakan aku harus tetap tinggal demi papa.

Mama berpesan agar aku menjadi perempuan yang kuat dan tidak boleh cengeng, apapun masalah dalam hidupku pasti akan selesai dengan baik. Setelah itu mama berbalik dan pergi meninggalkanku, aku berusaha mengejar, tapi mama menghilang dengan cepat.


"Kayra...Kayra...Kayra. Bangun...Sadar Nak. Jangan tinggalkan papa".


Aku mendengar suara papa memanggil, kemudian didepanku ada cahaya putih yang menyilaukan mata dan tiba-tiba aku terbangun.


"Puji Tuhan kamu sudah sadar nak, papa khawatir sekali".

"Aku dimana pa? Anakku bagaimana?" Tanyaku.


Tidak ada jawaban dari papa, aku melihat mama mertuaku menangis.

Aku mengernyitkan dahi memikirkan ada apa dengan mereka. Kenapa mereka tampak bersedih? Apa yang terjadi?


"Sebenarnya ada apa? Tolong jawab aku?" Aku memaksa ingin tahu.

"Kayra...Kamu harus sabar nak, kuatkan hati kamu". Aku tidak mengerti dengan perkataan mama mertuaku.

"Ma, tolong jangan berputar-putar. Sebenarnya ada apa? Tolong jawab".  Aku semakin penasaran.

"Dokter sudah melalukan yang terbaik untuk menyelamatkan anakmu, tapi Tuhan lebih menyayangi anakmu. Kamu harus kuat nak". Papa bicara sambil terisak.

"Tidaaaaaaaaakkkkkkkkkkkkk!!! Aku tidak terima pa!! Anakkkkuuuuuuuuuuuuuuu..." Aku berteriak sekencang-kencangnya.

"Tenang ya nak...Ada papa disini". Kata papa sambil memelukku erat.


Aku tidak bisa mengatakan apapun, rasanya hatiku hancur sekali. Aku kehilangan anakku dan itu karena Nathan!!

Semua karena keegoisan dan sikap Nathan yang tidak bertanggung jawab, aku sangat membencinya dan aku bersumpah tidak akan pernah melupakan apa yang telah terjadi hari ini.


=====Tiga hari kemudian=====

Sudah 3 tiga hari aku dirawat inap di rumah sakit, setiap hari papa dan mertuaku bergantian menemani. Selama aku dirawat, tidak sekali pun Nathan datang menjenguk. Bahkan sekedar menghubungi untuk menanyakan tentang kondisiku saja tidak.

Benar-benar manusia yang tidak punya hati, bahkan binatang saja tidak akan pernah membunuh anaknya sendiri. Nathan tega mendorongku hingga terjatuh, yang membuat aku kehilangan anakku dan itu semua dia lakukan hanya demi membela selingkuhannya.

Aku sudah memutuskan setelah keluar dari rumah sakit, aku akan pulang ke rumah papa. Aku tidak akan pernah kembali ke apartemen. Selama Nathan tidak datang dan meminta maaf kepadaku secara langsung, sudah cukup perilaku kasar Nathan selama ini kepadaku.

Aku meminta tolong Sita dan mbok Sumi untuk pergi ke apartemen mengambil barang-barangku, aku tidak mau melangkahkan kaki di apartemennya Nathan. Terlalu banyak rasa sakit dan kenangan pahit di sana, aku ingin melupakan kenangan pahit itu.

Hari ini aku sudah boleh keluar dari rumah sakit, dengan ditemani mertua dan papa. Aku pulang ke rumah papa, sesampainya di rumah papa. Aku langsung berbaring di kamar, sementara mertuaku langsung pulang karena mereka tidak ingin mengganggu waktu istirahatku.

Dokter menyarankan aku agar aku istirahat total selama 1 minggu demi memulihkan kesehatanku, setiap hari yang aku lakukan hanya berdiam diri di kamar. Tidak jarang aku menangis setiap kali mengingat kembali anakku yang sudah tiada, ibu mana yang tidak akan hancur hatinya jika kehilangan anak.

Tok

Tok

Tok

Tok


"Kayra, papa boleh masuk nak?" Kata papa sambil mengetuk pintu kamarku.

"Masuk saja pa, pintunya tidak dikunci". Sahutku.


Kemudian papa membuka pintu dan menghampiriku, papa duduk disampingku. Beliau tersenyum sambil menggenggam tanganku, papa menatapku dalam-dalam seolah-olah mencari kebenaran di mataku.


"Kenapa papa melihatku seperti itu?" Aku merasa canggung dengan tatapan papa.

"Jujur nak. Ada apa sebenarnya?" Pertanyaan papa singkat.


Karena merasa sudah tidak ada lagi yang bisa disembunyikan, akhirnya aku menceritakan semuanya ke papa. Dimulai dengan awal pernikahan, kemudian kehamilan, sampai akhirnya aku kehilangan anak dalam kandunganku.

Saat aku bercerita dengan papa, tanpa sadar air mata mengalir di kedua mataku. Bahkan aku bercerita sambil terisak-isak. Untuk menenangkan aku, papa sampai memelukku.

Selesai bercerita panjang lebar, papa menghela nafas. Aku bisa melihat dari mata papa, betapa beliau sangat kecewa dengan Nathan. Papa tidak menyangka kalau keinginan beliau untuk memiliki menantu yang cerdas dan pekerja keras, malah membuat putri satu-satunya menderita secara fisik dan mental.

Aku tidak pernah menyalahkan papa, karena beliau tidak tahu kalau pada akhirnya akan menjadi seperti ini. Sejak awal perjodohan. Aku juga pernah mengatakan kepada Nathan, kalau memang dia tidak ikhlas menjalani perjodohan ini. Maka lebih baik menolak, daripada harus menjalani dengan terpaksa. Akan tetapi Nathan tetap bersih keras untuk melanjutkan perjodohan.

Awalnya aku berpikir pelan-pelan dengan ketulusan dan pengabdianku sebagai istri, aku bisa mengambil hati Nathan. Aku berpikir Nathan akan luluh dan akhirnya bisa membuka hati untukku, tapi ternyata aku salah. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah bisa untuk menggeser posisi Fanya di hati Nathan, tidak peduli sekuat apapun aku mencoba.


"Sekarang rencana kamu bagaimana nak?" Tanya papa.

"Aku masih menunggu itikad baik dari Nathan pa. Seandainya Nathan datang ke sini dan meminta maaf, maka aku akan memberikan kesempatan kedua kepada Nathan".

"Kamu yakin masih mau memberikan kesempatan kepada Nathan?" Papa memastikan.

"Aku yakin pa, karena aku ingin menjalankan janji pernikahan yang pernah aku ucapkan di Gereja. Bahwa aku akan mendampingi Nathan dalam keadaan apapun, sampai maut memisahkan". Kataku dengan nada suara penuh keyakinan.

"Kalau memang itu sudah menjadi keputusan kamu, maka yang bisa papa lakukan hanyalah mendukung. Papa berdoa semoga Tuhan memberikan kamu kekuatan untuk mempertahankan dan memperjuangkan rumah tanggamu".

"Terima kasih pa". Kataku.


Kemudian aku memeluk papa dan papa mencium keningku lembut, aku bersyukur memiliki papa yang selalu mendukung apapun keputusanku.

Kalau boleh jujur sebenarnya sangat sulit untuk memutuskan berpisah, karena aku tahu kehilangan itu sangat menyakitkan. Dulu aku kehilangan mama, kemudian kehilangan calon anakku, dan kalau sekarang aku harus kehilangan suami. Rasanya aku masih belum sanggup untuk menerimanya. 

Luka Hati PerempuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang