Bab 14| Saudara tiri

166 95 27
                                    

Hai, jangan lupa untuk vote dan komen ya. Jangan jadi pembaca gelap. Happy reading!!


"Nah kita dah sampai,” ucap Gibran yang saat ini telah sampai di rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nah kita dah sampai,” ucap Gibran yang saat ini telah sampai di rumah.

“Ayah, kamar Zahra dimana ya?”

“Kamar kamu ada di sebelah kiri sana.” Tunjuk Gibran ke arah kamar yang letakkan berdekatan dengan kamar miliknya.

“Ngomong-ngomong Luna kemana. Tadi di sana dia udah pergi apa belum pulang? Bibi! “ panggil Gibran kepada pembantu yang ada di rumah tersebut.

“Iya, Tuan.”

“Dimana Luna? Apa dia udah pulang?”

“Sudah, Tuan. Nona sudah pulang dari tadi,” ucap Bibi Lala.

“Baiklah terima kasih Bi.”

Gibran menaiki anak tangga menuju kamar milik putrinya yang berada di lantai atas. Ia lalu mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut dan lalu membukanya.

“Luna, Ayah masuk ya.” Gibran mulai masuk ke dalam kamar Luna.

Ia melihat putrinya sedang memandangi laptop yang menampilkan sebuah drama korea yang Luna tonton. Gibran tersenyum melihat putrinya yang fokus menonton Drakor tersebut dan lalu ia duduk di samping Luna.

“Luna, sekarang kamu udah punya Ibu dan Saudara. Ajaklah berbicara biar kalian akrab,” tutur Gibran dengan mengelus lembut rambut Aluna.

“Gak mau. Biarin aja, lagian Luna gak suka sama mereka,” ketusnya.

“Jangan seperti itu, Luna. Nanti jangan lupa untuk makan malam di ruang makan. Jangan terlambat,”
ucap Gibran lalu ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar Luna.

“Jangan lupa istirahat, Aluna. Jangan menonton drama itu terus.”

Luna berdecak sebal dengan Ayahnya, ia pun melanjutkan acara maraton menonton Drakornya.
***
“Luna, mulai besok Zahra akan sekolah bareng kamu. Semoga kalian berdua bisa akur sebagaimana saudara pada umumnya,” ucap Gibran dengan serius kepada Luna.

Gadis itu tidak bisa membantah apapun lagi jika sang Ayah sudah berbicara serius seperti ini. Sebenarnya ia justru tidak mau berdekatan dengan saudara tirinya itu yang menurutnya menjengkelkan.

Sinar matahari masih tampak malu-malu menampakkan dirinya. Udara dingin yang menusuk tulang membuat sebagian orang enggan untuk bangun lebih awal. Seperti layaknya Aluna, gadis itu sebenarnya masih ingin bergulung selimut namun Ayahnya bersikeras untuk membangunkan untuk bersekolah.

Luna lebih dahulu masuk ke dalam kelasnya di banding dengan Ayahnya yang tengah mengantar saudara tirinya itu yang harus pergi ke ruang guru. Ia duduk termenung ke arah depan yang beberapa saat kemudian di kejutkan oleh beberapa temannya.

“woi! Ngelamun aja. Masih pagi ya elah. Si Bintang tuh di kantin, gak usah di pikirin,” ucap Aira.

“Dih, siapa juga yang mikirin dia. Gue lagi males karna saudara tiri gue bakal sekolah sini,” ujar Luna sembari menopang dagu di tangannya.

“Dia bakal satu kelas sama kita?”

“Enggak, dia kelas 11 IPA².”

“Tapi gue males banget sama dia, pokoknya arghhh malesin intinya dah.”

Melihat Luna yang kesal kedua temannya menjadi sedikit kasihan. Kania memutuskan untuk memanggil Bintang ke dalam kelas melalui Chat WhatsApp karena tidak mungkin Kania mau ke kantin yang lumayan jauh.

Bintang dengan langkah kaki yang lebar pun memasuk kelas. Tak lupa ia membawa sebuah plastik yang berisi nasi kuning dan teh untuk ia berikan kepada Luna.

Bintang duduk di dekat Luna yang tengah menenggelamkan kepalanya di dalam tas. Ia mengelus lembut punggung milik Luna. “Lun, sayang. Makan dulu yok, gue udah beliin nasi buat kamu. Ayok makan dulu,” ucap Bintang sembari mengangkat bahu Luna dengan perlahan agar ia duduk tegap.

“Aku lagi males, Bintang. Gak mood banget.”

“Ayok makan dikit aja. Pasti belum makan kan tadi pagi? Biasanya juga gitu gak pernah makan pagi. Sini aku suapin.”

“Woi! Pacaran di kelas kena point’!” teriak Haikal.

“ Alah bilang aja pengen juga kayak gitu, Kal,” ujar Kania yang sedikit melirik ke arah Aira.

“Ra, minta kode itu si Haikal.”

“Ogah, bodo amat.”

“kasihan amat ya lo Haikal, sabar ya, Bre.” Arsen menepuk-nepuk pundak Haikal.

“Cepetan makan, nanti Aku ceritain kisahnya Nuaiman deh.”

Luna membulatkan matanya, ia tersenyum dan lalu kemudian ia mulai memakan nasi kuning yang Bintang belikan untuknya dengan lahap. Bintang tersenyum ketika melihat Luna makan dengan lahapnya. Tanpa sadar ia mengelus lembut surai rambut pacarnya itu. Luna memang menyukai kisah-kisah Nabi dan sahabatnya terutama Sahabat Nabi Muhammad SAW yaitu Nuaiman.

“Katanya jamkos Weh. Enak nih buat tidur,” ujar Mario.

“Tidur terus lo.”

Luna membersihkan sampah makanan miliknya. Gadis itu duduk menghadap Bintang dan berucap, “ Ceritanya besok aja ya. Ayok main kentrung kamu.”

“Haikal, ambilkan itu kentrung punya Bintang, Cepetan.”

Luna mengambil kentrung dari Haikal dan memberikannya kepada Bintang. “Cepetan main. Nyanyi juga, he he,” ucap Luna seraya tertawa pelan.

Bintang mengambil kentrung tersebut dan mulai memetikkan jarinya ke senar kentrung itu. Pria itu masih memastikan bahwa melodinya sudah benar atau tidak.

Oh Tuhan, ku cinta dia
Berikanlah aku hidup
Takkan kusakiti dia
Hukum aku bila terjadi
Aku tak mudah untuk mencintai
Aku tak mudah mengaku ku cinta
Aku tak mudah mengatakan
Aku jatuh cinta

Suara sorakan gembira terdengar menggema di dalam kelas. Semua siswa kompak bernyanyi dan ada pula yang menambahkan irama musiknya dengan menggunakan meja yang di tabuh namun tidak terlalu keras.
Luna tersenyum ketika mendengar kekasihnya menyanyikan lagu tersebut. Ia pun turut ikut bernyanyi bersama yang lainnya juga. Sementara itu seseorang menatap kegembiraan Luna dan Bintang di depan pintu kelas.



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Minutes Of Love Destiny [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang