8. Masih Suka, Enggak?

552 56 3
                                    


"Kamu harus panggil aku Wren! W-r-e- ."

***

Setiap pukul sepuluh pagi, Miya melakukan rutinitas harian yang selalu dilakukannya selama satu setengah tahun terakhir; datang ke tempat kerja lebih awal. Rekan kerjanya yang lain akan datang sesuai jam kerja, yaitu pukul 10:15. Miya harus datang lebih awal karena kunci kafe dipegang olehnya.

Hari ini, Miya memakai celana kain berwarna cokelat dan rulles blouse berwarna putih. Rambut panjangnya belum sempat diikat karena tadi berangkat terburu-buru. Setelah turun dari angkutan kota, barulah perempuan itu merapikan pakaian dan rambut tergerainya yang sempat kusut karena berdesakan dengan penumpang lain.

Merasa penampilannya sudah rapi, perempuan itu berjalan menuju kafe yang jaraknya beberapa meter dari pinggir jalan. Namun, tidak seperti biasanya, sudah ada seseorang yang menunggu di depan kafe. Orang itu memakai celana jin berwarna abu-abu dan kemeja bercorak daun maple. Sosoknya masih samar-samar, sampai...

"Pagi, Miy."

Sapaan itu membuat langkah Miya berhenti. Perempuan itu mengenali Wren sedang berdiri di depan kafe sambil memperhatikannya. Kedua sudut bibir pria itu terangkat dan matanya berbinar ramah. Kening Miya mengernyit samar dan kepalanya langsung dipenuhi pertanyaan; Kenapa Wren di sini?

Maksudnya, ini masih pukul sepuluh pagi. Bu Karla biasanya datang beberapa jam setelah kafe dibuka. Dan ... ya ampun! Konsentrasi Miya pecah seketika. Dia merasa jantungnya berdetak tidak terkendali saat pandangannya tidak sengaja saling bertaut dengan kedua bola mata jernih milik Wren. Sorot mata Wren... kenapa memberikan efek seperti ini? Miya mencoba sekuat tenaga menahan agar wajahnya tidak bersemu merah. Ternyata, efek pesona Wren tidak berubah. Miya jadi salah tingkah sendiri.

Sadar situasi dan posisi di antara mereka, Miya segera mengendalikan diri kemudian mengangguk sopan, bersikap layaknya atasan dan bawahan. "Pagi, Pak. Kok bisa udah ada di sini? Kafe kan, belum buka."

"Panggil Wren aja," koreksi pria itu lalu mengedikkan dagu ke arah kafe. "Aku pegang kunci kafe makanya bisa duluan ada di sini. Sengaja. Pingin lihat gimana suasana kafe kalau mau buka."

Miya mengangguk sekenanya. "Oh," sahut Miya. "Kafe kalau mau buka ya, sepi. Terus kalau pegawai yang lain pada datang, baru deh sibuk beres-beres," jelas perempuan itu sambil memasuki kafe. Wren mengikuti langkah Miya. Suasana kafe sebelum buka memang selalu sepi. Kursi-kursi masih tertata rapi di atas meja dan papan pemberitahuan di jendela dekat pintu belum dibalik dari "close" menjadi "open". Menyadari hanya ada dirinya dan Wren di ruangan ini, Miya segera melangkah menuju ruang ganti untuk menyimpan barang bawaan dan mempersiapkan diri memulai tugasnya. Namun....

"Kalau kamu, kenapa udah ada di sini, Miy? Jam kerja kan, masih lumayan lama. Yang lain juga belum pada dateng."

Suara Wren membuat langkah Miya berhenti. Pria itu ternyata mengikutinya dan sekarang sedang berada satu langkah di belakangnya. Miya berbalik dan mengangkat tangan kanannya yang sedang memegang kunci kafe. "Iya, soalnya saya pegang kunci cadangan kafe. Jaga-jaga kalau Bu Karla datang ke kafenya siang."

"Kenapa kamu yang pegang?"

"Karena yang lain pada nggak mau."

"Atau mungkin, karena ibu lebih percaya sama kamu?"

Miya tersenyum tipis. "Mungkin."

"Oiya. Kabar orang tua kamu gimana?"

Miya mengernyit mendengar pertanyaan pribadi yang tiba-tiba tersebut. Memilih tidak menceritakan dengan rinci, perempuan itu menjawab, "Baik."

Sweet Second Chance [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang