12. Percakapan di Mobil

499 47 3
                                    

"Akan menyenangkan kalau mereka bisa jalan bareng ke acara sekolah yang orang-orangnya sama persis seperti waktu SMA dulu. Namun, sekarang banyak hal yang berubah. Teman-teman SMA-nya bukan remaja tanggung yang labil lagi, tetapi orang dewasa yang telah melalui banyak hal dan memiliki tanggung jawab besar."

***

Mobil yang dikendarai Wren melaju di jalanan kota Bandung yang lumayan ramai. Miya duduk di sampingnya dengan punggung sekaku kayu. Suasana di antara mereka terasa kontras. Miya terlihat canggung sedangkan Wren terlihat sangat santai.

Di tengah perjalanan, Wren melirik Miya sambil menyeringai jail. "Santai aja kali, Miy. Aku nggak bakal ngapa-ngapain, kok. Paling ngajak ngobrol aja."

Miya melirik Wren sekilas, merasa canggung sendiri. Kemudian, perempuan itu menyandarkan punggung ke sandaran jok dengan gerakan pelan, mencoba sebisa mungkin terlihat santai. Miya merasa gugup karena berduaan dengan Wren di ruangan yang sempit. Perempuan itu khawatir mengenai percakapan yang akan mereka mulai atau topik apa yang akan Wren angkat. Miya takut tanpa sengaja melakukan hal bodoh dan malah mempermalukan diri sendiri seperti tadi pagi. Mereka sudah lama tidak bertemu dan situasi di antara mereka tidak bagusꟷsetidaknya menurut Miya. Jadi... yah... terjebak di mobil ini bukanlah hal yang dapat dibawa santai.

"Well, siapa sangka kita akhirnya bisa pulang bareng lagi ya, Miy?" tanya Wren saat melihat Miya sudah lumayan santai. "Aku harusnya bilang makasih sama cowok tadi, kan?"

Miya melirik Wren dengan kedua alis mengernyit. Sengaja menunjukkan rasa tidak suka atas ucapan pria itu. Kalimat pertama Wren mengingatkannya tentang kenangan mereka waktu SMA. Kala itu, dia dan Wren sering pulang bersama. Bedanya, dulu mereka pulang bareng naik motor, dan sekarang mereka pulang bareng naik mobil. Sedangkan kalimat kedua Wren menyinggung perempuan itu karena mengindikasikan kalau keputusan Miya saat ini bukan atas kemauannya sendiri.

Tidak mau menjawab, Miya memutar percakapan ke arah hal yang lebih umum, pada kilasan motor Wren yang tiba-tiba terlintas di benaknya saat ingat kenangan pulang bareng Wren. "Motor vespa kesayangan kamu itu, masih ada?"

Wren meliriknya dengan sorot mata kaget, tidak percaya kalau Miya bersedia mengungkit masa lalu mereka lebih dahulu. Padahal Wren sudah menyiapkan banyak topik percakapan di kepalanya agar mereka tidak diserang keheningan. "Si Bito?" tanya Wren, menyebutkan nama motor kesayangannya waktu remaja. Ada binar senang di kedua manik matanya.

Dalam ingatan Miya, si Bito yang Wren maksud itu berwarna kuning. Hanya pegangan setangnya saja yang berwarna merah. Motor itu punya dua jok yang salah satunya biasa dinaiki Miya setiap pulang sekolah. Mengingatnya, Miya tersenyum sekilas lalu mengangguk untuk merespons ucapan pria di sampingnya.

"Si Bito masih ada di garasi rumah. Cuma ya ... mati," jelas pria itu.

Miya terbeliak. "Dia mati?" Saksi bisu atas kenangan menyenangkannya bareng Wren sudah pupus. "Yah. Kamu pasti ... sedih."

Wren mengangkat kedua bahu. "Gitu lah. Wajar sih, dia mati. Udah lama nggak dipake dan diurus juga. Kemarin udah coba servis dia karena pengen coba main vespa lagi, tapi nggak ada perkembangan."

"Emangnya selama di Inggris kamu nggak pernah naik vespa?" Miya ingat kalau saat remaja, Wren lumayan suka motor vespa. Pria itu bahkan gabung komunitas vespa di sekolah dan sering konvoi bareng-bareng tiap bulan.

Wren terkekeh hambar. Pandangannya menerawang ke masa lalu. "Iya."

"Pasti sedih, ya."

Wren menggeleng. "Waktu itu ada banyak hal lain yang bikin aku sedih. Jadi, aku nggak terlalu sedih karena nggak bisa naik vespa."

Sweet Second Chance [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang