"Nggak. tahu. malu."
***
Jawaban Wren benar. Miya pernah mengatakan kalau dia ingin pergi ke Inggris untuk melihat pantai Pedn Vounder yang terletak di pantai selatan Semenanjung Penwith, Cornwall. Pantai tersebut dilindungi tebing tinggi di kedua sisi dengan pasir putih yang indah dan lembut yang seolah berubah menjadi pirus saat terkena sinar matahari. Pemandangan menakjubkan itu sangat ingin dilihat Miya secara langsung. Namun, mengingat kondisinya sekarang, keinginan masa remajanya itu sepertinya tidak akan tercapai. Miya harus realistis.
Dirga sama-sama terkejut melihat kehadiran Wren, tetapi pria itu segera mengendalikan ekspresi wajahnya. Dirga menyeringai tipis ke arah Wren dan berkata, "Thanks informasinya. Tapi lain kali, jangan mewakili menjawab tanpa izin Miya. Miya barusan mau jawab."
Seringai di wajah Dirga dan serangan lewat kata-kata dari pria itu membuat emosi Wren tersulut.
Dirga menatap Miya dengan tulus. "Kalau kamu mau, kapan-kapan kita bisa coba ke sana."
"Miya nggak akan pergi," tegas Wren, mengejutkan dua orang di depannya.
Dirga memandang Wren dengan satu alis terangkat. Sedangkan Miya tidak berani menatap pria itu lebih lama. Perempuan itu selalu teringat percakapan mereka kemarin malam dan pernyataan suka Wren yang menggetarkan setiap inci hatinya. Ingatan itu membuatnya berusaha keras untuk tidak berharap lebih jauh dan untuk terus ingat pada kenyataan. Sikap Wren saat ini membuat Miya makin merasa tidak nyaman. Pria itu datang tiba-tiba, seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka, lalu berdebat tidak penting dengan Dirga hanya karena ....cemburu? Wren, cemburu? Miya mengenyahkan kemungkinan itu. Tidak mungkin.
"Kenapa?" tanya Dirga, menantang.
"Karena Miya bakal berangkat bareng saya," sahut Wren tegas. Sebelum Dirga sempat membalas ucapannya, Wren bertanya lagi. "Sori. Tapi kenapa kamu bisa ada di sini?"
Dirga tersenyum miring. "Sengaja ke sini buat liburan bareng Miya."
"Tanpa diundang?" sindir Wren.
"Apa kalau liburan ke Pangandaran, harus dapat undangan dulu?" sindir Dirga balik.
Wren menatap Dirga tajam. "Nggak. tahu. malu."
Dirga balas menatap Wren tajam dan berkata dengan penuh penekanan. "Lo. bukan. siapa. siapa. Miya."
Muak dengan pandangan Wren yang semakin tajam, Dirga tidak meladeni Wren lebih jauh dan memilih berpaling pada Miya sambil menampilkan senyum manis. "Kamu mau pesan apa, Miy?"
Perempuan itu dari tadi membeku di tempat, tidak tahu harus melakukan apa. Kelakuan dua pria di depannya membuatnya malu. Miya membuka-buka halaman buku menu dan berkata, "Bentar, aku pilih-pilih dulu."
"Oke," sahut Dirga.
Selama perempuan itu memilih makanan untuk sarapan, Wren duduk di samping Miya lalu menunjuk satu menu. "Nasi goreng seafood enak, Miy," saran pria itu.
Miya mengangguk. "Oke. Aku pesan itu."
"Es teh manis hangat spesial juga enak, Miy," sahut Dirga, tidak mau kalah.
Miya melirik Dirga yang juga sedang membaca buku menu. Perempuan itu mengangguk kaku. "Aku juga pesan itu."
Dia sengaja melakukannya agar kedua pria dewasa di hadapannya ini tidak saling serang. Kalau sampai hal itu terjadi, Miya bingung apakah harus menenangkan bosnya atau pria yang sedang pedekate padanya. Dan well, Miya butuh bantuan segera. Siapa saja yang bisa menengahi dua pria ini. Mbak Irma, cepet balik, harap perempuan itu dalam hati.
"Buat makanan penutupnya, kalau pesan ini aja, gimana-"
"Wow, panas banget di sini." Tiba-tiba, Qis muncul dan duduk di samping Dirga, memotong perkataan Wren. Qis menatap sepupunya dengan sorot geli lalu melirik Miya dengan pandangan prihatin. Miya balas memandang Qis dengan sorot penuh syukur.
"Kamu udah nentuin mau pesen apa ya, Miya. Kalau kalian berdua mau pesan apa?" Qis balik bertanya pada Wren dan Dirga. Dua pria itu langsung berkata,
"Sama kayak Miya," jawab Dirga.
"Samain kayak Miya," jawab Wren.
Qis geleng-geleng kepala melihat tingkah Wren dan Dirga. "Ya udah, saya juga pesen sarapan kayak Miya."
Kontan, Wren dan Dirga menatapnya tajam.
Interaksi itu terhenti oleh kedatangan Irma dan Nari. Raut wajah wanita itu terlihat bingung saat mendapati Wren, Dirga, dan Qis ada di meja tersebut.
"Udah rame aja, ternyata." Irma duduk di samping Miya dan mendudukkan Nari di sampingnya. Melihat kehadiran Irma, Miya menghela napas lega.
"Iya nih, Mbak. Rame banget dari tadi. Mbak mau pesan sarapan apa? Nari mau makan apa?" Ucapan Qis mengawali pembicaraan lima orang di meja itu. Kemudian, Citra dan Regi datang menyusul, semakin memeriahkan suasana. Mereka berbincang-bincang sambil makan dengan lahap.
Selama sarapan, Miya agak risih karena Wren dan Dirga terang-terangan berebut untuk menawarkannya banyak hal. Mulai dari udang atau cumi-cumi milik mereka atau minuman baru lainnya yang lebih segar, bahkan tisu! Semua pegawai Kesempatan Kedua sampai dibuat melongo dengan kelakuan mereka. Untung, saat situasi sudah tidak tertahankan, Qis muncul sebagai penyelamat dan mengkondisikan suasana.
"Kita mau ke mana habis sarapan?" tanya Qis, mengondisikan suasana.
"Ke pantai lagi?" saran Citra ragu-ragu.
"Main banana boat, gimana?" tawar Dirga yang sontak membuat binar senang muncul di mata semua orang, kecuali Wren.
"Setuju!" sahut Citra antusias.
"Ikut," sahut Qis.
"Ide bagus," sahut Regi.
"Aku juga suka ide itu," timpal Miya, mengejutkan Wren, tetapi membuat senyum lebar terbit di wajah Dirga.
Well, seburuk apa pun ide Dirga, Miya pasti akan memilih saran pria itu. Lagipula, main banana boat sepertinya akan menyenangkan. Miya sedang tidak mau berjalan-jalan di darat, karena Wren bisa menempel terus padanya.
Wren cemberut sambil menatap tajam Qis karena menyetujui ide Dirga.
"Pak Harya sama Téh Irma mau ikut?" tanya Dirga.
Harya mengangguk. "Mau. Saya pingin nyoba lagi. Udah lama enggak nyoba."
Irma tampak berminat tetapi menghela napas berat. "Saya harus jaga Nari."
Mendengar itu, Dirga berpaling pada Wren. "Pak Wren enggak akan ikut, kan?"
Wajah Wren memerah dan dia mengangguk pelan. "Saya nonton di pinggir pantai aja."
"Bagus," sahut Dirga. "Titipin aja Nari sama Wren, Téh."
Irma melirik Wren ragu. "Memangnya...boleh, Pak?"
"Bisa kan, Pak?" tanya Miya, mendorong Wren untuk menyetujui pertanyaan Irma.
Wren benar-benar murka. Mukanya memerah dan napasnya naik turun. Dia mencoba menangkan marah dan berkata lembut pada Miya, "Boleh. Tapi kamu enggak mau coba naik ATV di pantai aja, Miy? Itu juga seru, loh."
Miya memandang Wren penuh sesal lalu menggeleng. Dia tidak mau berduaan lagi sama Wren. Jejak ciuman mereka masih terasa. "Aku naik banana boat aja. Soalnya aku belum pernah nyoba."
Dirga menyeringai penuh kemenangan, sedang wajah Wren makin muram.
"Nanti kamu nggak usah takut atau gugup ya, Miy. Nanti aku bantuin kamu biar enggak takut," kata Dirga.
Miya tersenyum ke arah Dirga sambil mengangguk. "Iya. Makasih."
Dan Wren pun terbakar api cemburu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Second Chance [END]
ChickLitVitamin #1 He fall first, she fall harder 🙏 *** Setelah kematian sang ayah dan julukan pelakor disematkan untuknya, Miya tidak pernah berharap akan hidup bahagia. Dia hanya menjalani hidup monoton sebagai kasir di kafe Kesempatan Kedua yang mempeke...