37. Pulang

929 35 1
                                    

"Jaga kesehatan kamu. Kedepannya, jangan dengerin omongan orang-orang. Kamu harus bahagia."

***

Hari ini, selain membuat muffin, croissant, cupcake, dan cheese cake, Miya juga membuat pudding serta pancake. Menu baru tersebut sudah ditambahkan di aplikasi pemesanan online sehingga mempermudah proses penjualan. Kini, setelah beberapa jam toko buka dan Irma mengatakan pudding sudah habis, Miya kembali membuatnya. Perempuan itu sibuk di dapur sedangkan di sampingnya, Pak Harya sedang membuat nasi goreng untuk pesanan salah seorang pembeli.

Saat sedang menghias puding dengan irisan strawberry dan parutan keju, seseorang mengetuk pintu dapur. Miya memandang orang tersebut lalu tersenyum tipis saat melihat Wren sedang berdiri di ambang pintu. Pria itu memandang Miya dan balas tersenyum lalu berkata, "Sibuk banget nggak, Miy? Bisa bicara bentar?"

Miya mengangguk. "Bisa. Tapi ini aku beresin dua pudding lagi, ya?"

Wren mengangguk. "Aku tunggu di belakang, kalau gitu?"

"Oke."

Wren berjalan keluar setelah sebelumnya menyapa singkat Pak Harya. Pria itu menunggu di belakang kafe dengan perasaan gundah. Kakinya bergerak-gerak gelisah. Wajahnya tampak murung. Tidak lama, Miya muncul dari balik pintu dan berjalan mendekati Wren. Saat mereka sudah saling berhadapan, Miya memandang pria itu ingin tahu, sedang Wren merubah ekspresi wajah seceria biasa.

"Ada apa?" tanya perempuan itu. Dia memandang Wren yang kali ini tampak berbeda dari biasanya. Pria itu memakai setelan yang jauh lebih rapi dengan kemeja hitam dan celana kain dengan warna senada. Rambut pria itu sepertinya baru dipangkas juga sehingga terlihat lebih rapi. Pergelangan tangan Wren dipakaikan jam tangan berwarna hitam dan pria itu memandangnya dengan sorot... sedih? Kedua alis Miya makin mengernyit, penasaran menunggu jawaban Wren atas pertanyaannya.

Wren menelan saliva lalu berkata, "Aku mau pamit."

Miya mengernyit. "Pamit kemana?"

Wren menarik napas dalam-dalam. "Inggris. Ada beberapa hal yang harus aku handle."

"Oh." Miya terdiam, kemudian mengerjap dan mengangguk paham, mencoba mengendalikan ekspresi wajahnya agar tidak terlihat kaget, kecewa, atau pun sedih. Meski berusaha dengan keras, Wren masih dapat melihat raut kecewa dan bingung di wajah perempuan itu.

Pria itu mengepalkan tangan, sedikit memaki salah satu klien super rewel yang membuatnya harus pulang ke Inggris. Sebelum pulang ke Indonesia, Wren sudah menyelesaikan segala tetek bengek mengenai kerjasama dengan salah satu brand fashion ternama di Inggris. Namun, karena kesalahan salah satu pegawainya yang salah mengerti kerjasama mereka, pihak brand fashion itu murka dan meminta ganti rugi. Wren harus turun tangan sendiri karena pemilik brand tersebut memang cerewet sekali dan hanya ingin diskusi langsung dengan Wren.

"Kapan kamu berangkat?" tanya Miya setelah di antara mereka diisi keheningan. Perempuan itu merasa ... terkejut dan kehilangan saat Wren mengatakan akan pulang. Padahal, Miya sudah memprediksi kalau hal ini akan terjadi. Ternyata, kepergian Wren jauh lebih mempengaruhi perasaannya daripada yang Miya perkirakan.

"Sore nanti."

Miya memandang Wren sekilas lalu memandang ke belakang pria itu, tidak membiarkan Wren melihat apa pun sorot mata yang Miya perlihatkan. "Hati-hati di jalan."

Wren menatap Miya dengan intens, sebelum bertanya, "Kamu, nggak mau mengatakan sesuatu selain itu?"

Miya menatap Wren lamat-lamat lalu menggeleng.

Ada sekelebat rasa kecewa di mata Wren. Suaranya sedikit serak saat bertanya, "Kamu nggak akan nahan aku?"

Miya memalingkan muka. "Atas hak apa?"

"Ah." Wren munduk selangkah sambil menggerakkan tangan tidak nyaman. "Padahal aku pengen kamu tahan." Wren memandang Miya serius. "Miy, kamu mau jadi alasan aku menetap di sini?"

Miya menatap Wren tetapi diam membisu. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya, menahan luapan emosi yang menggerayangi dadanya.

"Kalau kamu bilang iya, aku akan segera pulang dan menetap di sini."

Miya menggeleng. "Jangan."

"Kenapa?"

Miya mundur selangkah dengan sorot gamang. "Jangan menetap di sini karena aku, Wren. Aku nggak sepadan."

"Kamu sepadan, Miy," tegas Wren penuh keyakinan.

Miya kembali mundur selangkah dan mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai sikap defensif. "Aku bukan perempuan baik, Wren. Aku merasa nggak bisa bangun hubungan sama kamu. Kamu terlalu baik."

"Aku juga bukan orang baik, Miy," tegas Wren sambil menatap Miya penuh harap.

Miya menggeleng tegas. Terlintas di benaknya image Wren sebagai pengusaha muda yang sukses dan diminati banyak perempuan. "Kalau kamu berhubungan sama aku, nama kamu akan tercoreng, Wren. Orang-orang di lingkungan kamu akan nanya, ini perempuan pelakor itu, kan? Atau kenapa kamu bangun hubungan sama perempuan semacam ini? Kamu mungkin bisa tahan pada mulanya, tapi nanti kamu bakal muak juga, dan kita bakal sama-sama tersiksa, Wren."

"Tapi aku nggak peduli sama omongan atau pendapat orang, Miy," kata Wren.

"Tapi aku peduli!" sentak Miya dengan napas yang mulai naik turun.

"Tapi, Miy-"

"Dan apa kamu pernah mikir apa Bu Irma atau Papah kamu akan setuju sama hubungan kita? Kamu bos, aku karyawan, udah jelas banget batasan kita, Wren." Miya menggeleng. "Aku nggak akan bahagia kalau jalin hubungan sama kamu."

Ucapan itu berhasil membuat Wren berhenti berbicara. Pria itu memandang Miya dengan sorot mengerti. "Aku ngerti. Aku nggak akan paksa kamu."

Miya memandang Wren dengan gamang. Perempuan itu memutuskan membisu.

"Kalau gitu sampai jumpa lagi?" pamit Wren dengan ragu.

Miya mengangguk.

"Jaga kesehatan kamu. Kedepannya, jangan dengerin omongan orang-orang. Kamu harus bahagia."

Miya mengangguk. "Kamu juga harus bahagia."

Setelah mengatakannya, Wren berlalu pergi meninggalkan Miya. Perempuan itu memandang sosok Wren dengan pandangan sayu. Ketika sosok Wren sudah pergi, Miya berjongkok dengan tangis tertahan. Dia sudah tahu akhir kisahnya akan seperti ini, tetapi kenapa dia tetap merasa sangat sedih?

***

Sweet Second Chance [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang