"Cewek pasti enggak mau nikah sama cowok yang jelas-jelas nggak suka sama dia."
***
"Kamu suka pantai, Miy?"
Pertanyaan Dirga membuat Miya yang sedang memandang pemandangan laut di hadapannya menatap pria itu. Miya mengangguk lalu kembali menyeruput es kepala kelapa segar. Mereka berdua sedang duduk di sebuah kafe yang menghadap ke pantai. Sama-sama menikmati semilir angin yang menerpa wajah, pemandangan indah, dan es kelapa. Setelah jalan-jalan sambil menemani Dirga membeli oleh-oleh, menikmati waktu di kafe ini membayar semua lelah yang dirasakan. Miya juga agak melupakan rasa bersalahnya karena menolak ajakan Wren tadi. Sambil berusaha menikmati waktunya dengan Dirga, Miya mensugesti diri sendiri kalau penolakan itu adalah keputusan yang tepat.
"Waktu kecil dulu, aku sering main ke pantai. Ayah sering banget ajak kami sekeluarga ke pantai," pandangan Miya menerawang jauh. "Kami sudah pernah ke Bali waktu aku SMA, pergi ke pantai Pantai Balekambang, Pantai Parangtritis, Pantai Karimun Jawa, dan lain-lain." Miya terkekeh pelan. "Aku udah lupa lagi aku pernah pergi ke pantai mana aja saking seringnya.Yap. Dulu aku suka banget sama pantai."
"Oh, gitu," sahut Dirga sambil angguk-angguk. Dia tidak bertanya lebih jauh kenapa sekarang Miya tidak pergi ke pantai lagi karena ucapan perempuan itu dipenuhi kata "dulu". Itu adalah pertanyaan retoris yang siapa pun bisa tebak jawabannya dengan tepat. "Ke pangandaran kenapa belum pernah?" tanya Dirga.
"Aku dan Ayah rencananya mau pergi ke sini waktu kelulusan SMA aku. Tapi nggak jadi."
"Kenapa?"
"Waktunya nggak cocok aja." kata Miya, tidak menceritakan lebih rinci. Malah, tampak menarik diri.
"Terus kenapa kamu mau pergi ke pantai Pedn Vounder?"
Miya tersenyum, teringat kenangan lama. "Dulu, waktu kecil, aku pernah baca artikel soal pantai itu di koran, dan... pengen ke sana. Pantai itu kayak... indah banget. Video-videonya di Internet juga tidak pernah mengecewakan."
"Kalau gitu kita harus ke sana," tegas Dirga.
Miya tersenyum tipis. "Jangan janjiin hal yang nggak akan kamu tepati."
"Kita bisa langsung berangkat sekarang juga kalau kamu mau."
Melihat Dirga serius, Miya tersenyum tipis. "Kapan-kapan?"
"Kamu hanya tinggal bilang aku."
"Makasih, Dirga."
Dirga mengangguk dengan penuh percaya diri. "Kalau pergi ke gunung, kamu suka? Sejujurnya, dibanding pantai, aku lebih suka main ke gunung."
Miya berpikir sebentar. "Um...nggak terlalu? Main ke gunung, bikin capek."
"Nggak setelah kamu lihat pemandangan dari atas sana."
"Pemandangan dari atas gunung Rinjani dan Semeru, indah?"
Dirga mengerjap. "Kamu tahu aku pernah ke sana?"
"Dulu kamu pernah cerita."
Dirga tersenyum lebar. Dulu, dia bercerita sambil lalu dan tidak mengira Miya akan mengingatnya. "Makasih sudah ingat, Miy. Pemandangan dari atas sana indah banget. Matahari terbit dan terbenam, langit biru yang kayak sejengkal lagi bisa digapai, kawah, kabut, padang rumput, banyak hal cantik yang bisa kamu lihat."
Miya tersenyum tipis. "Pasti indah banget."
Dirga mengangguk. "Gunung selalu kasih ketenangan, sama kayak hutan. Sepi, tenang, dan bikin rileks"
"Itu alasan kamu bikin minimarket di kawasan tertinggal? Yang masih belum rame dan dekat dengan hutan."
Dirga mengangguk. "Supaya mereka bisa beli produk-produk yang diperjualbelikan di perkotaan dengan mudah dan harga terjangkau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Second Chance [END]
ChickLitVitamin #1 He fall first, she fall harder 🙏 *** Setelah kematian sang ayah dan julukan pelakor disematkan untuknya, Miya tidak pernah berharap akan hidup bahagia. Dia hanya menjalani hidup monoton sebagai kasir di kafe Kesempatan Kedua yang mempeke...