14. Satu Setengah Keonaran

358 42 3
                                    

"Emang ya. Orang tuh kalau dikasih kesempatan dikit, suka ngelunjak."

***

Keesokan harinya, Wren tidak menunggu Miya di depan kafe seperti sebelumnya. Bahkan, pria itu belum datang ke kafe sampai pagi telah berganti siang. Alih-alih merasa kehilangan, Miya justru bersyukur akan hal itu. Dia jadi bisa fokus bekerja tanpa diganggu ketidaknyamanan harus bertemu dengan Wren setelah kejadian pulang bareng kemarin. Miya belum siap untuk bersikap bagaimana di depan pria itu. Namun kemungkinan besar, dia akan meminta maaf duluan.

Miya melirik seisi kafe yang hari ini cukup sepi. Mungkin, pelanggan malas nongkrong di kafe karena di luar langit tampak mendung dan rintik hujan sekilas turun. Saat Miya dan Regi mulai bosan menunggu pengunjung baru, seorang pria berdiri di depannya untuk membuat pesanan.

"Selamat siang. Mau pesan apa?" tanya Miya ramah.

Pria di depannya tampak rapi dengan celana jin dan kaus hitam bertuliskan "Power Man". Rambutnya dipangkas dengan model short side part style yang memberi kesan rapi sekaligus berkelas. Namun, penampilan pria itu berbanding terbalik dengan sorot matanya yang terang-terangan meneliti Miya dari atas sampai bawah dengan penuh minat. Jelas, itu tindakan tidak sopan. Miya segera memasang ekspresi terganggu karena tahu kalau pria di depannya ini masuk ke dalam tipe pria yang harus dihindari.

"Pesan apa?" ulang Miya dengan nada suara lebih tegas, tetapi berusaha bersikap ramah.

Tanpa melihat papan menu, pria itu menjawab dengan seringai lebar. "Cokelat dingin satu ya, Téh."

"Baik. Atas nama siapa?"

Pria itu mengulurkan tangan. "Hilman. Hilman Yunanda, manajer pemasaran di Belanjaku."

Miya mengernyit mendengar perkenalkan terlalu over semacam itu. Tanpa menerima uluran tangan Hilman, dia berkata, "Baik. Bisa dipilih dulu emotikon-nya biar bisa disesuaikan sama quotes di gelasnya, ya."

Hilman menarik uluran tangannya. "Bisa enggak Téh, kalau quotes-nya ditulis nomor Tétéh aja?"

Miya menahan delikan sebal dan menjawab dengan tegas, "Nggak bisa, A."

"Masa enggak bisa sih, Téh? Bisa dong, ya." Kali ini, ada kerlingan genit di sorot mata pria itu.

Miya mendengus pelan. "Oke. Saya pilihkan emotikon kesal aja, ya," sindirnya. "Mau dibungkus apa diminum di sini, A?"

"Eh, gini deh, Téh." Hilman merogoh saku celana dan menyimpan secarik kertas di atas meja. "Ini nomor saya. Tétéh nanti bisa-"

"Sayang! Udah pesennya?" Tiba-tiba, seorang perempuan merangkul pria itu dengan mesra. Miya mengenali perempuan itu sebagai karyawan Melapodium, temannya Winda yang sering datang ke kafe. Raya, kalau tidak salah namanya. Dia perempuan yang mengatakan pernah satu universitas dengannya.

"Udah," jawab Hilman, balik merangkul mesra perempuan di sampingnya. Ekspresi genit yang tadi diarahkan pada Miya kini terarah pada Raya. Jelas, mereka berdua adalah sepasang kekasih. Miya mendesis sinis dan menatap Raya dengan sorot kasihan.

"Kamu yakin nggak mau pesen minum?" tanya Hilman.

Raya menggeleng. "Enggak."

"Oke, kalau gitu." Hilman menatap Miya. "Minumannya diantar ke maja aja ya, Téh."

Miya mengangguk.

"Yuk." Raya menarik pacarnya menjauh. Sebelum benar-benar pergi, Raya mendelik ke arah Miya, seolah tahu kelakuan pacarnya barusan. Namun alih-alih memarahi pacarnya, dari sorot matanya, perempuan itu malah menyalahkan Miya. Memang sifat manusia, pikir Miya miris. Ada-ada saja gangguan untuknya.

Miya menatap secarik kertas yang berisi nomor ponsel beserta nama pria itu. Tangannya terulur untuk meremas dan memasukkan kertas itu ke saku. Sepertinya, Miya harus menyiapkan tong sampah di dekat kasir. Supaya kalau ada cowok modus semacam ini, dia tidak perlu menyimpan kertas itu ke saku dan membuangnya di jam istirahat.

***

Miya kira, perkara mengenai Hilman si manajer pemasaran di Sobe sudah selesai. Pasalnya, Citra sudah mengantarkan pesanan mereka dan pasangan itu sudah pulang dua puluh menit setelah pesanan sampai di tangan sang pria. Namun, dua jam setelahnya, Raya, pacar si pria hidung belang itu, datang kembali ke kafe. Kali ini, Raya datang bersama rekan kerjanya yang biasa datang ke sini, Winda.

Wajah Raya tampak kusut, jelas tidak suka harus berada di tempat ini, sedangkan Winda terlihat biasa saja. Mereka tidak mengantre ke kasir untuk membuat pesanan seperti biasa, tetapi lebih memilih duduk di meja yang tidak jauh dari kasir kemudian memanggil Citra. Normalnya, Miya tidak akan bisa mendengar percakapan para pengunjung meski mereka duduk di kursi paling dekat dengan tempatnya berdiri. Namun, percakapan dua perempuan itu terdengar jelas di telinganya. Entah mereka yang sengaja mengeraskan suara atau telinga Miya yang berubah jadi peka. Miya tidak tahu pasti.

"Kenapa maksa ajak gue ke sini sih, Win? Gue bilang kan, nggak mau. Bau sampah di sini," celetuk Raya.

Miya menatap Raya dan mendapati perempuan itu mengerling kesal ke arahnya.

"Bentar aja kok, Ra. Gue cuma ambil flashdisk dari temen terus balik. Dia bentar lagi sampe," jawab Winda. "Kenapa sih, lo bete banget hari ini? Terus kenapa nyebut bau sampah segala?" Winda mengendus. "Wangi kopi sama roti kok, di sini."

"Ya gimana nggak bete kalau pelakor yang kerja di kafe ini godain pacar gue." Suara Raya terdengar tajam, kejam, dan penuh permusuhan.

Miya mengepalkan tangan mendengar sindiran itu.

"Hah?" Winda memekik kaget sekaligus bingung. "Maksudnya?" Saat sadar sesuatu, Winda melirik Miya lalu berbisik ke arah Raya. "Di...a?"

Raya mengangguk bete. "Iya. Dia minta nomor Hil-Hil-nya gue! Sebel banget masa! Katanya pegawai di sini udah pada tobat semua. Eh ternyata.... emang ya. Orang tuh kalau dikasih kesempatan dikit, suka ngelunjak."

"Serius?" Winda ikut-ikutan melirik Miya dengan tajam. "Lagian lo sendiri kenapa bawa Hilman ke sini? Kan, katanya nggak akan pernah."

"Kepaksa tadi. Hilman posisinya udah ke sini sebelum gue cegah. Jadi deh...huh! Bete banget gue." Raya mendengus. "Ck. Nggak heran, sih. Dari awal konsep kafe yang pegawainya orang-orang nggak bener emang akhirnya bakal kebawa nggak bener juga. Ini terakhir kalinya gue ke sini."

Mendengar itu, kepalan tangan Miya semakin kuat sampai membuat telapak tangannya memerah. Perkataan Raya keterlaluan. Selama ini, Miya selalu diam saat orang-orang membicarakannya di belakang. Namun, saat mendengar kafe Kesempatan Kedua ikut dilibatkan dalam percakapan julid mereka, Miya merasa murka. Tempat ini adalah satu-satunya tempat yang mau menerimanya apa adanya. Miya tidak terima mendengar penghinaan mereka mengenai kafe Kesempatan Kedua. Miya tidak mau terus tutup mulut. Dia berdiri tegap dan siap membuka mulut untuk membalas perkataan Raya. Namun, seseorang sudah terlebih dahulu menghampiri meja dua perempuan itu dan mengomel, "Maaf ya, Téh. Kalau mau rusuh dan julid, jangan di sini. Saya keganggu, nih."

***

Sweet Second Chance [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang