"Kita semua berhak bahagia, terlepas dari semua kesalahan yang pernah kita buat di masa lampau."
***
Ulah Wren tadi siang benar-benar mengacaukan banyak hal. Miya sadar betul kalau dari tadi, baik Citra maupun Irma sama-sama menahan diri untuk tidak mendekatinya dan mengorek kebenaran atas ulah Wren di hadapan Dirga. Maka, Miya tidak heran saat sesampainya di ruang pegawai pada jam pulang kerja, dia dikerumuni oleh dua perempuan itu.
"Jadi, Pak Wren itu suka sama kamu, Miy?" Irma nyaris memekik saat menanyakan hal itu. "Sama kasusnya kayak Pak Qis dulu?"
Citra yang berdiri di samping Irma menatap serius ke arah Miya. Seolah kalau memalingkan mata sekilas, dia akan kehilangan satu informasi penting.
"Enggak, Téh. Enggak mungkin. Kita cuma satu SMA aja dan dulu sempat kenal," tutur Miya.
"Masa? Gitu aja? Serius?" tanya Irma lagi, jelas tidak puas apalagi percaya dengan jawaban Miya.
Miya mengangguk dengan bimbang.
"Tapi kok, tadi keliatan banget Pak Wren lagi bersaing sama Dirga soal kamu. Terus maksud pulang bareng itu, gimana?" tanya Citra lalu terbelalak saat menyadari sesuatu. "Apa selama ini kamu sering pulang bareng Pak Wren, Miy? Kapan dan kenapa bisa aku enggak lihat? Padahal aku kan, sering nemenin kamu pulang paling terakhir."
Miya menutup laci pegawai miliknya lalu memasukkan ponsel yang tadi tersimpan di dalam laci ke tas selempang yang sedang dipakainya. "Ya, pokoknya gitu deh, Cit. Nggak usah dijadiin bahan gosip lama-lama. Lagian, mana mungkin juga aku bisa ada hubungan sama Pak Wren, kan?"
"Kok enggak mungkin?" tanya Citra sewot. Perempuan itu tidak terima dengan nada pesimis di suara Miya.
"Realistis aja, Cit. Aku sama Pak Wren itu beda jauh dalam banyak hal. Pak Wren itu sukses sedangkan karier aku udah hancur. Pak Wren itu baik sedangkan aku enggak. Lagian, semua orang tahu kalau aku enggak mungkin bisa bersanding sama Pak Wren. Happy ending enggak mungkin ada antara aku sama Pak Wren, Cit."
Saat selesai berbicara, Miya baru menyadari kalau ada nada sedih di suaranya, dan dua rekan kerjanya pun menyadari hal yang sama. Mereka terdiam, jelas paham dengan posisi dan kondisi antara Miya dan Wren yang sangat jomplang. Terutama, pada sebutan pelakor yang orang-orang sematkan pada diri perempuan itu.
"Kamu juga suka sama dia," simpul Citra dengan suara pelan.
Miya yang mendengar itu terbeliak. "Enggak gitu..." Dan perkataannya berhenti gitu aja.
Irma menghela napas. "Kamu enggak pantes buat Pak Wren karena pernah jadi pelakor? Karena orang-orang memandang kamu rendah? Karena kamu kerja di kafe ini dan ... dicap sebagai orang buangan?"
Pertanyaan Irma membuat Miya memalingkan muka, menolak menjawab. Jelas, jawaban dari semua pertanyaan itu adalah "iya".
"Susah Miy, kalau terus dengerin apa kata orang. Nggak akan bisa kita kejar apa mau atau standar mereka. Kita semua berhak bahagia, terlepas dari semua kesalahan yang pernah kita buat di masa lampau," lanjut Irma. "Kalau enggak sekarang, suatu hari nanti kamu pasti bakal dapat dapat happy ending versi kamu. Kayak aku, aku bahagia banget bisa punya Nari meski orang-orang bilang kalau Bapak Nari itu enggak jelas. Padahal aku tahu kok, siapa Bapaknya Nari. Aku bakal rawat Nari sampai dia sukses dan menemukan kebahagiaannya sendiri. Aku nggak akan biarin siapa pun bikin ulah sama anakku karena aku bakal berusaha keras supaya Nari bisa bahagia Miy. Simpelnya, Nari itu sumber kebahagiaan aku. Dan kamu juga pasti akan nemu sumber kebahagiaan yang bikin kamu merasa lagi mengalami happy ending."
Miya melirik Irma dan mendapati sorot penuh keyakinan dan kasih sayang seorang ibu tunggal di mata perempuan itu. Lantas, Miya tersenyum tipis dan mengangguk. "Aku yakin Tétéh bahagia dan bangga banget bisa punya Nari."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Second Chance [END]
ChickLitVitamin #1 He fall first, she fall harder 🙏 *** Setelah kematian sang ayah dan julukan pelakor disematkan untuknya, Miya tidak pernah berharap akan hidup bahagia. Dia hanya menjalani hidup monoton sebagai kasir di kafe Kesempatan Kedua yang mempeke...