"Perempuan itu sedang tidak siap merasakan perasaan sejenis ini. Dia butuh hal-hal realistis daripada perasaan magis yang berfokus pada seorang pria."***
Wren menatap punggung Miya yang menjauh sambil merutuki diri sendiri. Berengsek! Dia memang tolol karena tidak mengerti kondisi perempuan itu. Saat Miya marah, Wren dapat melihat beberapa luka di matanya; luka lama, luka baru, dan ketakutan akan luka yang akan datang. Pria itu mengepalkan tangan. Dadanya berdenyut saat menyadari ada ketakutan yang tercermin di mata perempuan itu. Ya Tuhan, pikir Wren muram. Tidak boleh ada perempuan yang merasa seperti itu. Miya ... seberapa banyak hal buruk yang aku lewatkan tentang kamu?
Wren menyalakan mesin mobil ketika sosok Miya sudah menghilang, berniat pulang ke rumah, mengecek kondisi ibunya, lalu mencoba tidur. Namun, sebuah panggilan masuk membuat gerakannya melajukan mobil terhenti. Wren meraih ponselnya di atas dasbor dan melihat nama Qis sebagai si pemanggil.
"Hallo?" sapa Wren setelah mengangkat panggilan dari sepupunya itu.
"Wren," panggil Qis cepat. Suaranya terdengar seperti berbisik. "Lo di mana?"
"Kenapa?"
"Plis jemput gue di rumah Bi Hanhan sekarang juga. SOS. Panggilan darurat. Gue butuh lo sekarang," pinta Qis, nyaris putus asa. Suaranya masih terdengar seperti berbisik.
Wren bisa membayangkan kondisi Qis di ujung sana. Qis pasti sedang pura-pura ke toilet atau ke ruangan apa pun yang tidak ada Bi Hanhan di sana, lalu meneleponnya untuk meminta tolong. Ada sedikit rasa geli dan puas yang menguasai perasaan muram Wren malam ini. Siapa suruh Qis mau saja berurusan dengan Bi Hanhan. Semua orang sudah tahu, kalau sekali saja terjerat rencana Bi Hanhan, sudah pasti tidak bisa lepas begitu saja.
"Gue sibuk," kata Wren, sengaja menjawab dengan kesan tidak peduli. "Lagian ngapain sih, lo berurusan sama Bi Hanhan? Lo tahu kan, ujung-ujungnya pasti ribet?"
"Lo sibuk apaan!" sewot Qis. "Ini karena gue nggak sengaja dan nggak sadar udah terjerat sama urusan Bi Hanhan. Nggak mau tahu. Pokoknya lo harus ke sini dan bantuin gue. Gue nggak kuat harus ketemu banyak cewek aneh di acara jodoh-jodohan dia!"
"Sori, Qis. Gue nggak mau ikut campur kalau urusannya sama Bi Hanhan. Nanti, gue ketularan ngenas kayak lo."
Suara panik Qis memenuhi sambungan telepon. "Wren-"
Tut. Tut. Tut.
Namun, Wren memutuskan panggilan. Saat pria itu hendak melajukan mobilnya, ada satu pertanyaan Qis yang masuk ke ingatannya. Tentang, apakah Wren yakin akan tetap suka Miya setelah apa yang orang-orang bilang soal perempuan itu dan bagaimana sosoknya di masa kini.
Tempo hari, Wren tidak mempunyai jawaban pasti mengenai pertanyaan itu. Namun malam ini, setelah melihat luapan emosi pada diri Miya, pria itu tahu jawabannya. Bertemu dengan Miya merupakan hal menyenangkan. Mulanya, dia merasa tertarik, kemudian ingin tahu, dan berakhir dengan pengetahuan kalau perasaannya pada perempuan itu ternyata masih sama seperti dulu. Dada Wren terasa hangat sekaligus panas, seolah hidupnya kembali lebih menyenangkan setelah bertemu lagi dengan Miya. Maka, kali ini, dia yang menelepon Qis.
Tidak butuh waktu lama, Qis mengangkat sambungan telepon, dan berkata, "Wren? Kenapa? Oh, lo butuh ketemu gue sekarang? Masalah kafe? Oke. Oke." Qis berbicara sendiri, dan suaranya tidak sambil berbisik seperti tadi, malah sebaliknya. Wren tahu jelas kalau Qis sedang memanfaatkan panggilan telepon darinya agar bisa lepas dari jeratan Bi Hanhan. Suara Qis hilang sebentar. Dia terdengar berbicara dengan Bi Hanhan kemudian fokus kembali ke telepon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Second Chance [END]
ChickLitVitamin #1 He fall first, she fall harder 🙏 *** Setelah kematian sang ayah dan julukan pelakor disematkan untuknya, Miya tidak pernah berharap akan hidup bahagia. Dia hanya menjalani hidup monoton sebagai kasir di kafe Kesempatan Kedua yang mempeke...