21. Pertemuan Pertama dengan Bu Karla

328 29 1
                                    

Mereka saling pandang, dengan sedikit kata-kata. Pandangan rasa suka.

***

"Berapa jam, Pak? Dari Bandung ke Pangandaran?" Citra memecah keheningan dua puluh menit berikutnya.

"Sekitar lima atau enam jam. Tapi kita nyantai aja, ya," jawab Wren.

"Iya, Pak. Jangan ngebut-ngebut. Nanti saya pusing," sahut Citra. Kemudian, bersuara algi, "Saya belum pernah ke pantai Pangandaran. Bapak udah pernah? Atau yang lain ada yang pernah?"

Irma menggeleng. "Belum." Kemudian sibuk membenarkan posisi Nari yang sudah tertidur di pangkuannya bahkan sebelum sepuluh menit mobil berjalan.

Miya menggeleng.

Wren berkata, "Ini juga kali pertama saya."

"Saya pernah, waktu muda," sahut Harya. "Udah lama banget itu. Saya juga udah lupa gimana pantainya. Pasti sekarang udah beda jauh."

"Saya belum pernah ke pantai, Pak. Dari kecil, saya paling main ke Ciwidey kalau diajakin tetangga atau sama sodara. Ini first time-nya saya ke pantai," cerita Citra.

"Saya juga sering main ke Ciwidey bareng anak-anak waktu SMA. Asik main di sana," sahut Wren.

"Tapi dingin." Irma ikut berkomentar.

"Oiya jelas," sahut Citra dan Harya barengan.

"Btw, saya penasaran banget soal Inggris, Pak. Bisa cerita dikit nggak?" tanya Citra saat pembicaraan mulai habis. "Saya belum pernah ke luar negeri. Sempat ada saudara yang pernah nawarin saya kerja di Arab jadi TKW. Katanya gajinya gede, tapi saya nolak karena takut naik pesawatnya. Lagian, ngeri juga soalnya saya sering denger berita-berita aneh soal kerja di luar negeri. Jadi saya milih kerja serabutan di sini aja, sebelum akhirnya kerja di kafe Kesempatan Kedua."

Wren mengangguk. "Jangan sembarangan nerima tawaran kerja jadi TKW, Cit. Keputusan kamu bagus. Kalau pun kamu berencana jadi TKW, kamu harus pastiin lembaga yang kirim kamu itu legal dan terpercaya. Dan soal Inggris...saya lebih penasaran gimana kalian bisa ketemu Ibu saya dan kerja di Kafe Kesempatan Kedua. Bisa cerita dikit, nggak? Nanti saya balik cerita deh, soal Inggris."

"Oke!" sahut Citra antusias mendengar timbal balik percakapan ini. Citra melirik sekeliling lalu berkata, "Saya duluan yang cerita, ya?" Tidak melihat adanya penolakan dari siapa pun, Citra mulai bercerita, "Kalau saya, waktu itu lagi bantu-bantu Bu Risma karena lagi ngadain acara tunangan anaknya. Bu Karla sering bantu-bantu juga, karena mereka berdua kan temen deket, ya. Satu arisan gitu kalau saya nggak salah ingat. Terus Bu Karla nawarin, mau enggak saya kerja di kafe Kesempatan Kedua, gantiin Téh Syifa yang keluar karena melahirkan dan mau fokus ngurus anak. Saya sih, ya terima aja, Pak. Bersyukur banget, malah. Jadi deh, saya kerja di kafe Kesempatan Kedua sampai sekarang."

Wren angguk-angguk. Pria itu melirik sekilas para pegawainya dari spion di bagian depan mobil dan mendapati mereka tampak mengenang sesuatu. Saat melirik ponsel yang tersimpan di dasbor dan menampilkan Google Maps, Wren mendengar suara Irma mengisi keheningan.

"Kalau saya waktu itu lagi ketemuan sama Bapaknya Nari di Kafe Kesempatan Kedua," kenang Irma. "Kita bahas tentang kondisi Nari dan hubungan kami. Sesuai yang saya duga, bapaknya Nari nggak mau tanggung jawab. Waktu itu saya marah banget, tapi saya bisa apa? Toh kami memang enggak ada ikatan hukum buat terus bareng. Saya marah karena posisinya, saya enggak punya kerja sedangkan Nari butuh susu dan keperluan bayi lainnya. Tanpa pikir panjang, saya nyamperin Bu Karla yang lagi ngawasin keributan kami berdua dan nanya apa kafe ini ada lowongan kerja buat saya. Saya tahu banget, kalau Bu Karla pasti akan langsung nolak saya meskipun ada." Irma tersenyum tipis dengan tatapan menerawang ke depan. "Tapi ternyata, Bu Karla malah nanya apa saya punya kemampuan buat jadi pelayan dan kasir? Saya bilang bisa dan tanpa diduga, dia bilang dia lagi butuh pekerja baru dan terima saya kerja di kafe. Saya seneng banget meski sadar kalau Bu Karla menerima saya karena kasihan. Makanya, setelah mulai kerja di kafe, saya kerja keras biar nggak ngecewain Bu Karla. Dari penghasilan kafe ini, saya bisa biayain Nari sampe segede ini." Irma mengelus wajah putrinya yang sedang terlelap. "Bu Karla baik banget."

Sweet Second Chance [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang