"Di zaman yang serba nggak bersahabat gini, kita harus bisa cari kesempatan dalam kesempitan."***
"Cewek tadi nyebelin banget, sih," keluh Citra sambil membereskan isi loker pegawai miliknya. "Padahal jelas-jelas cowoknya yang godain Miya.
Irma yang sedang mengganti sandal dengan sepatu ikut mendesis kesal lalu melirik Miya. "Untung, ya. Miya udah terbiasa sama cewek sejenis itu. Cewek barusan nggak lebih nyebelin dari cewek yang bikin rusuh kafe waktu Miya baru kerja di sini. Ingat, nggak?"
"Cewek yang suka pake rok selutut, rambutnya pirang, bibirnya suka pake lipstik tebal, dan suka mepet-mepet Pak Qis itu, bukan?" tanya Citra dengan delikan mata muak saat mengingat sosok yang pernah menggemparkan kafe itu.
"Iya."
"Beuh, kalau dia, emang iya nyebelin banget. Ngeselinnya tingkat dewa. Masa gara-gara Pak Qis lebih tertarik sama Miya, dia bikin rusuh kafe terus nuduh Miya murahan. Padahal jelas-jelas dia yang murahan," julid Citra.
Melihat wajah Citra yang ekspresif, Irma tertawa kencang. "Aku juga masih inget ekspresi malu dia waktu kalah pas berantem sama Miya. Dia bilang, ""Oh my god! Make up gue, kuku gue, rambut gue. Semua berantakan. Lo bener-bener cewek jahat banget, Miya! Qis.... ih gue nggak akan ke sini lagi. Gue nggak mau ketemu lo lagi! Sumpah orang-orang di kafe ini nyebelin banget." terus dia pergi gitu aja," balas Irma ikut-ikutan julid. Dia sengaja menirukan ekspresi dan omongan lebay perempuan yang sedang mereka bicarakan. "Siapa suruh dia nyerang Miya duluan, ya."
Miya merona mengingat kejadian itu. Beberapa bulan setelah dia bekerja di kafe ini, ada seorang perempuan kenalan Qis yang cukup terobsesi pada pria itu. Perempuan itu sering datang ke kafe dan dekat-dekat dengan Qis. Dari gelagatnya, semua pegawai kafe tahu kalau perempuan itu menyukai Qis. Namun, melihat perhatian Qis teralihkan banyak kepada Miyaꟷwaktu itu Qis masih berusaha menarik perhatian Miya, perempuan itu jadi kesal. Sampai suatu hari, saat perempuan itu mengajak Qis jalan dan ditolak karena Qis lebih memilih mengantar Miya pulang, perempuan itu histeris. Dia marah-marah tidak jelas di kafe, di depan semua pengunjung dan pegawai. Kemudian, dia menyerang Miya dengan omongan tajamꟷyang tentu saja mengungkit kalau Miya seorang pelakorꟷsambil mulai menyerang secara fisik. Miya terbawa emosi dan balik melawan. Mereka adu jotos khas perempuan dan Miya menang. Perempuan yang tergila-gila pada Qis itu menangis sambil marah-marah dengan emosional lalu pergi meninggalkan kafe. Sebelum pergi, perempuan itu bersumpah tidak akan menyukai Qis lagi. Qis ... well, pria itu tidak peduli sama sekali dan justru memihak Miya. Miya pikir, tidak heran Qis menolak perempuan sejenis itu. Sudah playing victim, murahan, terus gampang tersulut emosi, pula.
"Dia langsung kapok berurusan sama kamu, Miy," sahut Irma dengan kerlingan jail.
Miya terkekeh sambil geleng-geleng kepala. "Ya gimana dong, Téh. Aku cuma bela diri."
"Makanya, Miy. Jangan cantik banget, kenapa? Heran. Orang lain yang cantik itu pada bahagia, lah ini kamu tersiksa mulu," canda Irma.
"Bahagia ada waktunya kok, Téh," sahut Citra. "Ya, enggak, Miy?"
Miya mengangguk setuju. "Lagian, sekarang aku udah bahagia, kok." Miya sedikit ragu saat mengatakan kata "kok".
"Bagus. Jangan diambil hati omongan-omongan mereka, Miy. Orang lain nggak pernah tahu apa aja hal yang kamu lewati. Lagian, ngapain kamu ngincer cowok sejenis tadi. Dompet nggak tebal, muka biasa aja, berengsek juga iya."
Citra tertawa puas. "Bener banget, Téh. Aku heran itu cewek masih mau pacaran sama cowok sejenis itu."
"Kalau ngomongin dompet, muka, sama sikap, mending Pak Qis ke mana–mana ya, Téh," sahut Miya sambil menaik turunkan alis dengan jail.
"Tuh! Miya ngaku suka sama Pak Qis," histeris Citra. "Telat banget!"
Miya tertawa. "Canda, Cit."
Dua rekan kerjanya ini cukup membuat Miya terhibur dengan segala keruwetan kafe. Mereka seolah sudah terbiasa julidin orang yang menjulidin Miya. Dulu waktu Dirga masih baru-baru deketin Miya, hampir tiap jam pulang mereka bertiga julidin Dirga. Ada yang dukung Miya sama Dirga lah, terus balik menentang lah, terus balik dukung lagi, lah. Pada akhirnya, baik Qis atau pun Dirga hanya numpang lewat. Mereka berdua tidak berhasil masuk lebih jauh ke hidup Miya.
"Bu Karla gimana kabarnya, ya?" tanya Citra setelah topik julid mereka habis. "Terakhir kita ketemu itu seminggu lalu waktu nengok."
"Kalau kata Regi udah baikan, sih. Tapi perlu banyak istirahat," sahut Miya.
"Regi tahu dari siapa?" tanya Citra.
"Pak Qis."
"Oh, gitu. Bagus, deh. Aku seneng Bu Karla udah baikan, tapi...aku juga masih pingin kafe ini tetep diurus sama Pak Wren. Lumayan cuci mata kalau lagi capek. Hehehe," kekeh Citra.
"Bisa ae." sahut Irma, sorot matanya jail.
"Harus dong, Téh. Di zaman yang serba nggak bersahabat gini, kita harus bisa cari kesempatan dalam kesempitan."
"Betul-betul," sahut Irma.
"Btw, tanggal berapa si sekarang?" tanya Citra. Dia meraih ponsel dari dalam loker.
"18," sahut Miya. "Kenapa emang?"
Citra menghela napas. "Kalau Bu Karla nggak sakit, kita liburan ke Pangandaran tanggal 21, ya?"
"Iya. Sebenarnya aku kecewa sih Cit, Bu Karla sakit. Kapan lagi kan, bisa libur kerja terus liburan. Gratis, lagi," sahut Irma.
"Heem," sahut Citra dan Miya berbarengan.
"Sama aku juga kecewa, Téh," kata Citra. "Padahal kita udah punya ide buat bikin konten di pantai, ya. Kayak video yang viral di Tiktok itu. Lari-lari di pantai pake lagu almost paradise, a-chimboda to nunbushin,... " sahut Citra, dan Miya ikut-ikutan nyanyi lagu Paradise yang dipopulerkan T-Max.
Miya suka pantai. Dari kecil, dia menyukai tempat-yang menurutnya paling luar biasa di muka bumi-itu. Hamparan pasir yang lembut, deru ombak yang menenangkan, samudra terbentang luas, langit tampak indah, dan aroma asin yang khas. Namun, sejak lulus kuliah, Miya tidak pernah lagi pergi ke pantai. Kesibukan kerja dan kerumitan hidupnya membuat pantai bukan prioritas utama untuk dituju. Jadi, saat Bu Karla berencana mengajak pegawai kafe Kesempatan Kedua pergi ke pantai, Miya sangat antusias.
"OMG! Guys!" Pekikan Citra membuat Irma dan Miya menatapnya dengan kaget. Citra menatap layar ponselnya dengan kedua mata melebar. "Cek grup, coba," tambah Citra.
"Apa? Kenapa?" tanya Irma lalu melongok ke layar ponsel Citra, bukannya membuka ponsel sendiri. "What? Serius?" pekik Irma.
"Apaan?" Miya ikut-ikutan mendekati Citra. Mereka bertiga membentuk kerumunan kecil. Citra membacakan pesan dari Harya dengan lantang.
"Malam. Ada informasi dari Regi yang dia dapat infonya dari Pak Wren langsung, katanya, kita tetap jadi liburan ke pantai tanggal 23," Citra membacakannya dengan pekikan senang yang tertahan. "Yes! Jiwa liburan gratis aku tersalurkan!" seru Citra. "Kita jadi ke pantai seminggu lagiii."
Miya dan Irma terbeliak lalu ikut-ikutan heboh. "Serius? Yeay!"
"Nari pasti seneng banget," sahut Irma yang berniat membawa anaknya.
"Aku nggak sabar liburan bareng Nari, Téh," kata Miya.
"Ayo nanti kita senang-senang! Lupain kewajiban hidup yang selalu bikin mumet!" pekik Citra.
"Setuju!" sahut Miya dan Irma.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Second Chance [END]
ChickLitVitamin #1 He fall first, she fall harder 🙏 *** Setelah kematian sang ayah dan julukan pelakor disematkan untuknya, Miya tidak pernah berharap akan hidup bahagia. Dia hanya menjalani hidup monoton sebagai kasir di kafe Kesempatan Kedua yang mempeke...