XI : Not Emotion

972 192 0
                                    

❝ Orang-orang terlalu fokus beranggapan bahwa cinta merupakan jenis emosi paling mulia, sehingga mereka menyepelekan kebencian sebagai bentuk emosi  yang lebih rendah. ❞

SM : Selamat Membaca :)

❖❖

Akan selalu menjadi hal aneh kalau Havenstar bukan sosok barbar yang mendalangi insiden keributan di berbagai tempat. Biasanya, kalau pun orang itu divonis kena diare atau tempelengan tangan Renaric, mulutnya akan tetap mengeluarkan suara paling nyaring untuk menabur bumbu-bumbu keributan di ruang lingkup mana pun.

Namun ketimbang menunggu Havenstar jadi orang sakit atau cedera, Jaevin tak pernah memiliki sedikit pun memori tentang kabar yang memuat kondisi tubuh sahabatnya menurun secara drastis selama berhari-hari. Sebab Havenstar selalu sehat, selalu berenergi, selalu menjadi yang paling bersemangat.

Kecuali, "Lo Davenstar, 'kan?!" Jaevin berdiri dari tempat duduknya, dan menunjuk wajah Havenstar dengan jari tengah.

"Pakyu lo!" tangkis sang empunya sambil meminum isi gelas yang dipegangnya sejak tadi. "Gue Hav  ...."

"Oke." Belum sempat ucapan lawannya selesai, Jaevin langsung tahu siapa orang yang dia hadapi ini. "Terus kenapa lo diem banget dari pagi? Gue kira tukeran posisi dengan Davenstar," tanyanya.

Havenstar tidak menjawab selain melupakan penampakan wajah Jaevin yang seakan minta ditampar siang ini. Dia memperhatikan isi air warna biru di dalam gelasnya, itu adalah rasa blueberry, lebih tepatnya pesanan random yang dipaksakan oleh Jaevin. Sambil menumpu dagu di tangan kiri, Havenstar terjebak dalam pikiran rumit setelah pulang dengan selamat dari insiden semalam.

"Davenstar ada cerita enggak?" tanyanya di sela itu.

"Enggak." Jaevin menjawab sebelum menyuap kentang goreng yang masih renyah dan juga hangat. "Gue nunggu lo cerita dulu, kalau enggak diceritakan, berarti gue tagih ke Davenstar. Dia sudah janji sama soalnya," katanya.

Havenstar menghela napas lalu menyahut, "Silahkan lo mulai dengan pertanyaan, nanti gue jawab."

"Widih!" Jaevin cengengesan dan melipat tangan di atas meja. "Gimana bisa lo punya kembaran?"

Sayangnya pertanyaan itu membangkitkan keinginan Havenstar untuk melempar tubuh Jaevin keluar jendela. "Lo pikir aja anak kembar itu asal mulanya gimana," kesalnya.

"Maksud gue, kenapa lo enggak publis tentang itu?"

"Harus banget gitu orang-orang tau?"

"Bukan orang-orang, tapi sahabat lo. Emang gue enggak boleh tahu?"

"Emang setelah tahu bakal gimana?"

Jaevin berdecih. "Kalau hubungan persahabatan kita memang penting, seharusnya lo enggak menyembunyikan apa-apa, Hav," katanya, "Setelah kejadian semalam, gue rasa tiap malam kerjaan lo sama Davenstar emang rada nyari mati, ya? Dan lo cuma mengandalkan gue kalau Mama lo tanya tentang  ... aniyo, kenapa Mama lo cuma nanya tentang lo doang? Sementara lo kalau keluar pasti sama Davenstar? Emang Davenstar enggak dicariin?" tanya Jaevin.

Havenstar membasahi bibir bawahnya terlebih dahulu sebum kemudian menjawab, "Dengar ya, Vin. Pertama, lo enggak bisa menjadikan hubungan persahabatan kita sebagai bahan pembenaran yang berujung menuduh gue seakan-akan udah jahat banget sama lo, gue bahkan enggak punya niatan buat menyembunyikan ini. Hanya  ... ya, memang semua ngalir gitu aja dengan sendirinya."

"Ohokey, lalu?"

"Kedua, kenapa gue enggak menceritakannya? Karena sangat kecil kemungkinan kita bisa bareng-bareng dengan Davenstar. Lagian gue percaya, lo pasti bisa memahami maksud ...."

[1] NOT REAL EYES ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang