XVI : Not The Weak

601 144 0
                                    

Bila kelembutan seseorang hanya mengakibatkan timbulnya kekerasan, maka lakukan kekerasan untuk suatu bentuk ungkapan kelembutan hati yang tersakiti

SM : Selamat membaca:)

❖❖

"Kemarin pas di T-RUTZ, gue ketemu dengan Kak Winwin." Pembahasan ini bermula ketika mobil futuristik yang membawanya ke rumah sudah mendarat ke tanah.

"He'eum, terus?" Dengan kondisi wajah yang masih pucat, Davenstar tanya.

"Karena lo enggak ngasih tau apa yang terjadi sama lo di sekolah, maka gue enggak mau kasih tau juga." Yumiho menyengir sambil menggendong kembali ranselnya. "Lo sakit, apa mau istirahat dulu di rumah?" tawarnya.

Davenstar hanya tersenyum lalu menggelengkan kepala. "Gue khilaf, habis lo di tangan gue," katanya.

"Haha." Yumiho tertawa sambil meletakkan punggung tangannya di dahi Davenstar. "Suhu badan lo tinggi, lo tadi pingsan di sekolah?" tanyanya.

Davenstar menangkis tangan Yumiho hingga sang empunya sedikit melebarkan mata. "Gue enggak kenapa-kenapa," katanya.

"Biasanya setelah pingsan, badan kita jadi hangat karena respons fisiologis tentang stres atau perubahan sistem saraf otonom."

"Hedeh, enggak sama Renaric, enggak sama lo, isi obrolannya serius banget. Gue cuma kecapekan, ada banyak hal yang gue urus."

"Ngegas mulu perasaan dah lo, heran."

Davenstar tidak menjawabnya, bingung mau bersikap seperti apa di depan Yumiho. Isi pikirannya berantakan, situasi hatinya tak terkendali, akan lebih baik kalau Yumiho segera turun.

"Apa pun itu, Hav. Meski lo bakal sembuh ketika malam, ada baiknya keluarga lo juga tahu kalau lo bisa sakit begini pas siang hari. Lagian pun enggak melulu regenerasi mutan harus lo jadikan tameng supaya dipandang kuat dalam segala kondisi, terkadang, ada luka yang cara sembuhnya dari perhatian orang rumah." Yumiho mengatakan itu saat dia sudah berada di luar dan berdiri di depan pintu mobil yang masih terbuka.

"Tapi kalau lo masih gengsi minta perhatian di rumah, lo bisa datang ke gue kapan aja. Rumah gue juga rumah lo, pulang aja ke sini kapan pun lo mau." Gadis itu tersenyum, sungguh terlihat cantik. Benar-benar cantik! Davenstar sampai tidak tahu mau membalas ucapannya seperti apa. "Sampai ketemu besok!" Yumiho melambaikan tangan dan beranjak pergi dari dekatnya.

Sepanjang jalan setelah dari rumah gadis itu, Davenstar merasa kembarannya jauh lebih beruntung. Dia punya sahabat-sahabat yang pengertian. Meski mulut mereka jahat, tapi tingkat keperdulian mereka mampu menyaingi besarnya Samudera Pasifik.

Dia ingat saat bangkit dari keadaan pingsan, cahaya yang menyilaukan masuk ke dalam mata. Hingga perlahan-lahan dunia kembali terungkap di hadapannya. Bersama raut-raut normal para sahabat Havenstar, seperti senyum haru dari Renaric, sorot mata yang penuh kehangatan dari Jeeno, dan ekspresi wajah yang sedih, khawatir, kena mental, bahkan tampak paling heboh dari yang lain, yaitu Jaevin. Seperti melihat lukisan kebersamaan yang dipahatkan dengan indah di atas kanvas kehidupan, Davenstar ingin menyaksikan itu dalam waktu yang lama.

Pantas saja Havenstar selalu bersemangat kalau ke sekolah. Bahkan selain sosok sahabat yang baik, dia juga memiliki gadis yang pengertian. Sudah cantik, senyumnya candu, suaranya lembut, dan pemikiran yang dewasa.

Tapi bisa-bisanya Havenstar bilang iri dengan Davenstar. Memang apa yang berharga dari hidupnya? Sambutan hangat dari Mama?

"Chan! Daechan belum pulang, Nak!" Itu kalimat pertama yang Davenstar dapat saat memijakkan kaki di depan pintu utama. Padahal biasanya, Mama akan tersenyum dan memeluknya dengan erat.

[1] NOT REAL EYES ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang