25. Satu Ranjang

482 24 18
                                    

Triana.

Menggeleng cepat, Triana menjelaskan, “Bukan begitu, Tuan Vlador. Maaf, tapi kelihatannya kita tidak mungkin tidur di ranjang yang sama.”

Bangkit duduk, Vlador menatap Triana dengan mata menyipit. “Di kamar ini tidak ada sofa atau pun kursi. Bahkan jika ada pun, yang harus tidur di sana adalah kau, bukan aku. Jika kau tidak mau tidur di ranjang yang sama denganku, maka tidurlah di lantai atau di luar.”

“Aku adalah wanita bangsawan dengan seorang tunangan. Sebuah dosa bagiku jika tidur satu ranjang dengan pria lain. Jika ada yang mengetahuinya, aku akan dianggap sebagai sundal dan calon suamiku akan membatalkan pernikahan kami.” Jelas Triana dengan suara bergetar.

“Itu adalah masalahmu. Namun satu hal yang harus kau tahu, Itik: Aku tidak ingin memiliki hambatan lagi dalam perjalanku besok hanya karena masalah kesehatanmu. Jika kau terus menghambat tujuanku dan memperpanjang kutukan ini, aku akan membuatmu benar-benar menyesal dengan cara yang tidak dapat kau bayangkan.” Desis Vlador, merubah matanya menjadi merah menyala.

Menahan napas, Triana melirik jendela untuk menyaksikan hujan yang turun semakin deras di luar. Kini ia mengerti mengapa kamar ini tidak layak untuk disewakan pada tamu. Perapiannya yang terlalu kecil tidak cukup untuk menghangatkan seluruh kamar itu di musim gugur yang suhunya mulai menyengat kulit.

Jika boleh mengeluh, Triana akan mengutarakan betapa dinginnya kamar itu. Tubuhnya juga terasa lemas dan ia merasa sangat mengantuk. Jika harus menahan itu semua, tubuhnya mungkin akan menyerah besok.

“Permisi,” Ucap Triana pelan seraya memanjat ke atas ranjang.

Dengan jantung berdegub keras, Triana menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang hanya berbalut gaun tidur yang terlalu tipis baginya. Ini adalah pengalaman pertamanya tidur bersebelahan dengan seorang pria. Ia tidak pernah membayangkan bahwa pria itu bukanlah suaminya.

Membaringkan punggungnya dengan canggung, Triana melirik Vlador dan mendapati pria itu sedang memperhatikannya. Ia meneguk liur dan berdehem. “Maaf jika aku mengatakan ini, Tuan Vlador, aku percaya kau adalah pria terhormat yang menghargai seorang wanita. Aku adalah seorang perawan yang memiliki tunangan, jadi… aku mohon jangan lakukan apa pun padaku.”

Kalimat Triana membuat Vlador terkekeh tidak percaya. Ya, kelihatannya pria itu sangat tersinggung, namun Triana benar-benar tidak tahu lagi bagaimana cara yang tepat untuk memperingatinya. Ia tidak ingin tanpa sengaja mengkhianati tunangannya dan gagal menikah di usia yang sudah terlalu tua.

Namun Triana tidak menyangka bahwa kalimatnya yang bertujuan untuk mencegah hal yang ia takutkan terjadi, malah menjadi boomerang yang berbalik menghantam pelipisnya. Dalam kecepatan seperti kedipan mata, Vlador menggulingkan tubuh Triana hingga ia berbaring tepat di bawah pria itu. Napasnya hampir berhenti ketika tubuh berat Vlador menindihnya.

Mata terbelalak besar, Triana mendapati kedua pergelangan tangannya telah dicengkram oleh Vlador di atas kepalanya. Tubuhnya seketika gemetar saat ia menyaksikan sebuah senyum iblis terbentuk di wajah pria itu.

***

Vlador.

“Tuan Vlador… apa yang kau-” Ucap Triana dengan suara bergetar.

“Grr…” Vlador menggeram pelan dengan satu tangan menahan kedua tangan Triana. Lalu ia menyentuh pipi gadis itu dengan jari telunjuknya seraya mengendus udara yang duduk di antara wajah mereka. Senyumnya semakin melebar karena ia tidak lagi mencium aroma makanannya. Kini aroma menggiurkan itu telah tergantikan dengan aroma bunga-bungaan.

Dikutuk Bersama Tuan VampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang