3. Vlador Lev Dracount

704 40 0
                                    

Triana.

Triana dapat mendengar suara debaran jantungnya sendiri. Tanpa persetujuannya, matanya bergulir ke samping untuk menghindari pandangan mata vampir berwujud tengkorak itu.

‘Ya, Tuhan! Aku tidak pernah berbohong seumur hidupku! Aku sungguh minta maaf!’ Tangis Triana di dalam hati.

Sekali-kali, Triana melirik wajah Vlador. Sungguh ia tidak dapat membaca ekspresi vampir itu - Bukan karena wajahnya yang dingin, melainkan karena tengkorak tidak memiliki otot wajah untuk berekspresi. Bahkan, bibir pria itu tidak bergerak ketika ia berbicara. Ia hanya membuka mulut, lalu kata-kata dengan ajaib keluar melawati kedua baris giginya.

Keheningan membuat bulukuduk Triana semakin meremang. Ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan vampir yang tidak lagi berbicara itu.

Mungkinkah vampir tersebut sedang mencurigainya? Ya, siapa yang tidak? Triana memang cukup bodoh untuk mengatakan bahwa ramuan itu akan membuatnya kembali muda.

Kisah tentang menghilangnya bangsa vampir telah diceritakan secara turun-temurun. Vampir musnah setelah berperang dengan manusia yang kala itu dibantu oleh para penyihir. Dalam arti lain, penyihir dan vampir adalah musuh bebuyutan.

Sesungguhnya, ramuan yang sedang Triana tawarkan pada Vlador tidak akan membuatnya menjadi muda sedikitpun. Penyihir itu berkata bahwa ia sangat membenci vampir dan ingin membuat mereka menderita.

Vlador Lev Dracount dikatakan sebagai vampir terakhir di Galvadea. Ia masih hidup karena seorang penyihir mengutuknya menjadi abadi dan membiarkannya kelaparan hingga menjadi kering seperti sekarang. Penyihir yang Triana temui berkata bahwa ramuan itu akan membuat seorang vampir merasa terbakar selama satu minggu penuh tanpa membunuhnya. Ia hanya ingin membuatnya menderita demi kepuasan pribadi.

Di dalam hatinya, Triana tidak tega meski ia sudah mendengar bahwa vampir telah membunuh sangat banyak manusia tidak berdosa. Namun, ia tidak memiliki pilihan lain, apalagi ia telah terikat janji dengan penyihir itu. Jika ia tidak melakukannya, ia akan menjadi buruk rupa.

“Baiklah.”

“Aku tidak berbo-.” Triana menghentikan kalimatnya. “Ba-baiklah?” ia mengulang.

“Aku akan meminum itu.” Ucap Vlador.

“Kau… akan meminum ini?”

“Jangan mengulang kata-kataku.” Ucap Vlador dingin.

“Maaf. Tapi... kau sungguh akan meminumnya? Apa kau yakin?”

“Kenapa kau terus bertanya? Apakah itu adalah racun yang akan membuatku menderita?”

“Tidak, tentu saja bukan.” Triana segera menggelengkan kepalanya. Lalu ia berdehem. “Baiklah. Kalau begitu-”

“Tapi aku memiliki syarat untukmu.” Vlador memotong kalimat gadis itu.

“Syarat? Syarat apa itu?” Tanya Triana.

“Biarkan aku meminum darahmu.”

 “Meminum darahku?” Kedua mata Triana membesar dan pupil birunya bergetar.

“Jangan mengulang kata-kataku.” Ucap Vlador lagi.

“Tidak. Kau hanya akan membunuhku!” Triana melangkah mundur, terus menatap Vlador balik.

Rantai bergemerincing ketika Vlador mengangkat tangan tulang terbungkus kulitnya. Ia menggerakkan jari telunjuknya dalam pola memutar. “Sudah seratus tahun aku tidak meminum darah manusia. Jika bukan karena kutukan para penyihir itu, aku sudah mati kering lama sekali. Bisa meminum darah manusia lagi adalah sesuatu yang membuatku setidaknya merasa hidup.”

“Ramuan itu ... aku tahu itu tidak akan membuatku menjadi muda. Itu mungkin berisikan sesuatu yang membuatku memilih untuk mati, namun tidak membiarkanku.” Lanjutnya.

Triana memegang dadanya sendiri ketika rasa sesak muncul di sana. Pria itu benar telah mengetahui bahwa ia berbohong, namun tetap mau menuruti permintaannya hanya karena ia ingin merasa hidup setelah seratus tahun terkurung di tempat menyedihkan ini. Ia bahkan tidak tahu sampai kapan ia harus melanjutkan hidupnya dalam keadaan seperti ini.

“Aku tidak akan membunuhmu. Manusia akan mati jika seluruh darahnya terkuras dan itu membutuhkan waktu cukup lama. Aku hanya akan menghisap selama beberapa menit saja.” Ucap Vlador.

Meneguk liurnya, Triana menoleh pada para pengawalnya. Mereka hanya saling bertukar pandang, tidak yakin harus mengambil keputusan apa. Pada akhirnya, semua itu berada di tangan Triana, putri dari Duke yang mempekerjakan mereka.

“Apa… kau berjanji tidak akan membunuhku?” Tanya Triana dengan suara kembali bergetar, menyamai degup jantungnya yang berpacu keras.

“Aku sudah menjelaskan bahwa menguras darahmu membutuhkan waktu yang lama. Kau juga melihat bahwa tangan dan kakiku terantai sihir. Aku tidak dapat menyerang, sebaliknya, para pengawalmu yang bisa membunuhku.” Jawab Vlador.

Triana menggigit bibir bawahnya, lalu menatap botol ramuan bersinar di tangannya.

“Jika kau tidak mau, maka pergilah dari sini.”

Kalimat Vlador membuat Triana terjaga dari lamunannya. Ia menarik napas dalam dan mengangguk. “Baiklah. Tapi kau harus menepati janjimu,”

“Aku percaya aku tidak dapat mengingkarinya … seberapa keraspun aku mencoba.” Sahut Vlador.

Untuk terakhir kalinya, Triana bertukar pandang dengan pengawal-pengawalnya. Para pria dengan baju pelindung dan helm besi itu mengangguk sebagai tanda bahwa mereka siap menyerang jika vampir itu tidak menepati janjinya.

“Kemarilah. Aku tidak dapat berjalan ke sana.” Tutur Vlador.

Mengembalikan pandangannya ke depan, Triana menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah mendekati vampir itu. Setiap langkahnya terasa sangat berat, seakan pergelangan kakinya dirantai pada batu besar.

Sampai di antara kedua kaki tengkorak Vlador yang terbuka, Triana menurunkan tubuhnya dan dengan anggun duduk di atas lantai batu dingin.

Triana tidak menyangka rupa Vlador jauh lebih mengerikan saat dilihat dari dekat. Ketika vampiri itu menegakkan punggung untuk mendekatinya, tubuh Triana bergetar hebat.

“Gadis baik, sibakkanlah rambutmu. Kau seharusnya tahu di mana vampir suka menggigit.” Bisik Vlador.

“Tu-tunggu dulu. Apakah itu sakit?” Tanya Triana, memegangi lehernya yang tegang.

“Apa kau pernah ditikam pisau?” Tanya Vlador, lalu mendapat gelengan kepala dari Triana. “Maka aku tidak bisa menjelaskannya padamu.” Sambungnya seraya mendekatnya wajah ke leher gadis itu.

“Ya, Tuhan... Tolong lakukanlah dengan perlahan, Tuan Dracount…” Pinta Triana lirih seraya menyingkirkan rambut panjangnya dari pundaknya.

“Miringkan kepalamu agar kau merasa lebih baik.” Saran Vlador, dan terpaksa diikuti oleh Triana.

Merasakan wajah dengan rongga mata dan pipi cekung itu bergerak mendekat ke samping wajahnya, Triana hanya dapat memejamkan mata erat. Ia bisa merasakan hembusan napas vampir itu, menandakan bahwa ia semakin dekat pada pundaknya. Seluruh bulu tubuhnya merinding dan jantungnya seperti akan meledak.

Perlahan, Triana merasakan dua benda tajam menempel pada pangkal lehernya. Setelah itu, kedua matanya terbuka lebar ketika tanpa aba-aba, kedua benda itu menembus kulit dan menancap dagingnya.

“AKHH!” Teriakan Triana tertahan di tenggorokannya hingga membuatnya terdengar seperti tersedak.

Dikutuk Bersama Tuan VampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang