36. Menepati Janji

249 30 8
                                    

Vlador.

Ia tahu tubuh Triana bergetar, namun perjanjian tetaplah perjanjian. Ia sudah menantikan meminum darah Triana selama ini. Ia terus menahan dirinya di tengah aroma yang terus membuatnya meneguk liur selama ini.

Dan sekarang, aroma itu berada tepat di depan hidungnya, dapat ia hirup dan bahkan rasakan di lidahnya. Namun sesuatu yang aneh menjalar di dalam dadanya ketika kedua taringnya menyentuh pundak hangat Triana.

Memejamkan matanya erat, Vlador menarik napas panjang sebelum menggali ke dalam daging empuk itu.

“Mmh!”

Erangan Triana membuat Vlador hampir membuka matanya. Namun itu hanya sekejap saja karena suara tersebut segera menghilang, atau lebih tepatnya, terbungkam. Triana menahan dirinya, sesuai janji. Dan Vlador tidak tahu ia bisa setabah itu menepati janji yang sejak awal ia tahu terlalu berat untuk gadis itu tepati.

Menarik taringnya keluar, rembesan darah menyapa ujung lidah Vlador. Masih memejamkan matanya, ia memberi jeda sedetik untuk mendengar kesunyian yang Triana buat. Lalu ia merekatkan kedua bibirnya yang terbuka di sekeliling luka yang baru saja taringnya buat sebelum menghisapnya.

Darah terpompa keluar dari luka gigitan itu. Cairan harum dan nikmat dengan cepat memenuhi seluruh mulut Vlador, dan mengalir menuruni kerongkongannya.

Vlador menghisap dan terus meneguk. Tubuhnya terasa ringan, seakan ia terbang di langit malam dingin tanpa harus mengepakkan sayapnya. Darah paling nikmat yang pernah ia rasakan menghangatkan lidah dan seluruh tubuhnya. Segala pikiran seakan ditarik menjauh dari kepalanya, digantikan oleh dekapan hangat yang membungkusnya dan suara isakan tipis yang bergema di samping telinganya.

Mengerutkan kening, Vlador perlahan membuka matanya hanya untuk menyadari bahwa suara isakan itu bukanlah hayalan semata. Lagipula, untuk apa ia menghayalkan tangisan wanita?

Mengangkat tangannya ke samping, Vlador menyentuh lengan kecil dan hangat yang entah sejak kapan telah melingkari lehernya. Lalu ia memejamkan matanya lagi dan mulai merasakan detak jantung Triana.

Ini aneh. Sebelumnya ia memperkirakan jeritan mengesalkan dan irama jantung yang nyaris tidak terdengar dari Triana. Namun sekarang, ia merasakan jantung gadis itu cukup stabil dan bukannya mendengar jeritan, malah isakan tangis.

Mungkin ia sudah gila, tapi Vlador membuat tegukan terakhirnya. Ia menarik kepalanya mundur seraya melepaskan lengan Triana dari lehernya.

“Haruskah kau menangis?” Tanya Vlador begitu menatap Triana yang langsung menundukkan wajahnya dalam-dalam.

Masih dengan pundak berguncang, Triana menggeleng pelan. Kedua tangan pucatnya telah memeluk dadanya sendiri, sementara air mata terus menetes membasahi mereka.

Menghela singkat, Vlador menarik selimut yang terjatuh di atas perut Triana dan membungkus tubuh gadis itu hingga ke leher, sambil bicara, “Yang mengejutkan, detak jantungmu cenderung cepat, di saat seharusnya itu hampir berhenti.”

“Maaf,” Ucap Triana dengan suara bergetar. “Aku… sudah mengganggu makanmu,”

“Menutup mata dan menghisap sepelan mungkin; aku sudah berusaha untuk mengurangi ketidaknyamannya.” Ucap Vlador sambil terus memperhatikan Triana yang tidak berhenti meneteskan air mata.

Namun gadis itu menggeleng tanpa sedikit pun mengangkat wajahnya. “Bukan. Bukan kau, Tuan Vlador. Itu adalah diriku. Aku hanya-“

Tidak melanjutkan penjelasannya, Triana hanya kembali menangis. Air matanya menetes lebih deras dan punggungnya berguncang lebih hebat.

Vlador menghela panjang. Lalu ia meraih selimut yang membungkus tubuh Triana dan menurunkannya di bagian pundak hingga membuat gadis itu menoleh.

“Tuan Vlador?” Panggil Triana dengan suara serak.

Dikutuk Bersama Tuan VampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang