4. Menjadi Makanan Vampir

713 39 0
                                    

Triana.

Vampir itu tidak berbohong. Seumur hidupnya, Triana  tidak pernah tergores benda tajam, apalagi merasakan ditikam pisau. Namun kini ia yakin ia tidak perlu benar-benar mengalaminya untuk mengetahui rasanya.

Sensasi terbakar, perih, dan nyeri berdenyut membuat Triana meringis. Tangannya mencengkram pundak vampir yang tengah menempel padanya itu hanya untuk mengetahui bagaimana rasanya menggenggam tulang keras terbungkus kain.

Ketika taring tajam itu berhasil menggali sangat dalam hingga menembus pembuluh darah Triana, Vlador menarik lepas kedua tering tersebut dan mulai menghisap darah yang mengalir keluar dari sepasang lubang yang terbentuk.

Darah segar menyembur deras seperti pipa bocor ketika tidak ada lagi taring yang menyumbat luka berlubang Triana, namun rasa sakit tak tertahankan yang sebelumnya ia rasakan menjadi lebih baik.

Triana pikir penderitaannya telah berakhir. Sebelumnya ia mendengar bahwa itu akan terjadi selama beberapa menit, namun kelihatannya itu hanya berlangsung selama beberapa detik. Sayangnya pikiran Triana terlalu positif. Sebuah benda lunak dan basah menyapu luka terbukanya, membuat tubuhnya terlonjak atas rasa nyeri yang diberikan.

Secepat kedipan mata, rasa sakit berdenyut itu datang kembali dalam sebuah irama yang seakan menggiring Triana menuju pintu neraka.

“Argghh!” Triana merintih dengan suara bergetar seraya mencengkram tulang yang tidak terasa sekeras sebelumnya. Namun ia tidak akan memikirkan itu sekarang karena seluruh pikirannya terlalu terfokuskan pada rasa sakit dan panas yang menyelimutinya.

Ketika darahnya dihisap kuat, Triana merasa nyawanya ikut tertarik keluar dari tubuhnya. Ia tidak menyangka seorang manusia... tidak, seorang vampir dapat menghisap darah sekuat ini. Mereka sungguh adalah monster! Tidak mengherankan para manusia sangat menggebu untuk membunuh mereka.

Triana pikir tubuhnya akan terbiasa dengan rasa sakit ini. Namun yang terjadi adalah rasa sakitnya semakin membengkak dan tenaganya dengan cepat terkuras habis. Rasa dingin perlahan menjalar di punggungnya dan ia mulai mendapatkan mati rasa pada sekujur pundaknya.

“Berhenti!” Seru Triana dengan sisa tenaganya.

Namun karena vampir itu tidak mendengarkan, Triana segera melirik para pengawalnya. “Tolong … aku. Hentikan dia!”

Itu adalah sebuah perintah meski dikatakan tanpa tenaga. Para pengawal itu segera menyalakan obor mereka dan mengayunkannya ke arah Vlador.

Mata yang telah berubah menjadi merah menyala itu melirik para pria berbaju jirah di sekelilingnya. Vampir tidak pernah menyukai api. Kebanyakan bahkan takut padanya. Namun vampir bernama Vlador itu nampak tidak terpengaruh pada kobaran bola panas itu, meski ia telah melihatnya dengan jelas.

Tatapan mata tajam itu seakan menantang para pria manusia untuk membunuhnya. Ia bagaikan seekor singa yang telah berhasil menggigit leher mangsanya. Ia tidak mau melepaskannya.

Karena menakuti dengan api tidak membuahkan hasil dan ikut membahayakan Triana, dua orang pengawal berusaha menendang punggung Vlador. Meski tubuhnya hanya berupa kerangka berlapis kulit dan tunic lusuh, ternyata ia memiliki tenaga yang sangat kuat sehingga semua pengawal memutuskan untuk menarik keluar pedang mereka, hendak memenggal kepala Vlador.

Namun Triana segera berteriak, “Jangan! Jangan … membunuhnya,” Kemudian ia menggerakkan tangan lemahnya untuk berusaha melepaskan diri sambil berucap, “Tolong... lepaskan aku. Kau sudah berjanji,” 

Triana tidak akan membiarkan Vlador mati karena vampir itu belum meminum ramuannya. Kematiannya sama saja dengan mewujudkan kutukan buruk rupa untuk Triana.

Melihat majikannya seakan hampir meregang nyawa, salah satu pengawal kembali menendang sisi punggung Vlador sekeras mungkin. Dan tanpa diduga, tendangan tersebut berhasil membuat vampir itu melepaskan gigitannya dan terjatuh ke samping.

Pengawal lainnya segera menyeret tubuh lemah Triana menjauh dari Vlador yang tengah mengusap sisa darah di sisi bibirnya. Kini, ia sudah bisa tersenyum. Wajah tanpa ekspresi itu telah mendapatkan fungsi ototnya kembali.

Tengkorak terbungkus kulit itu telah mendapatkan sedikit daging di bawah kulitnya. Ia memang masih terlihat sangat kurus, namun tidak lagi kering.

“Nikmat sekali,” Bibir Vlador sudah bisa bergerak. Kemudian, ia menjulurkan telapak tangannya ke depan. “Usahamu aku hargai. Tidak pernah aku melihat seseorang sangat putus asa hingga mempercayai seorang monster sepertiku untuk disantap. Biarkan aku membuat permohonanmu terkabul.”

Meski ototnya seakan tidak lagi mampu mengangkat tubuhnya, respon positif yang vampir itu berikan terasa seperti sumber tenaga baru yang membuat Triana sanggup bangkit. Tanpa basa basi lagi, ia menanggalkan sikap bangsawannya untuk merangkak sedikit ke depan, dan meletakkan botol ramuan bersinar itu di atas telapak tangan Vlador.

Vampir itu meletakkan botol ramuan ajaib tersebut di antara kedua jarinya sebelum menelitinya tepat di depan kedua matanya yang berangsur berubah menjadi coklat kembali. 

Jari jempol berkuku panjangnya bergerak menyenggol penutup botol mungil itu hingga terbuka dan terjatuh. Kemudian tanpa menarik napas atau menunjukkan sedikitpun keraguan, ia meneguk isinya hingga habis.

Kedua mata Triana terpaku pada vampir di hadapannya. Ia masih duduk di atas lantai dengan tangan mengambang di depan mulutnya yang sedikit terbuka.

Luka gigit di leher Triana yang masih merembeskan darah terasa nyeri, namun kekhawatiran dan rasa penasarannya terhadap apa yang akan terjadi pada Vlador membuat ia mampu mengesampingkan rasa sakit itu.

Seperti semua orang di ruangan dingin itu, Vlador terdiam dengan botol kaca kosong di tangannya, menunggu reaksi apa yang akan ditimbulkan oleh ramuan penyihir yang baru saja ia teguk.

‘Apakah ia akan merasa terbakar di dalam? Apakah sebentar lagi ia akan meringkuk kesakitan? Apa tubuhnya akan mengering lebih parah lagi? Apa ia akan memuntahkan darah dari mulut dan hidungnya?’

Berbagai pertanyaan bermunculan di benak Triana. Vlador memang hampir membunuhnya, namun ia telah menyaksikan sendiri bahwa vampir memang membutuhkan darah manusia untuk hidup dan merasa hidup.

Triana tidak kecewa bahwa darahnya telah diminum sangat banyak oleh Vlador hingga membuatnya merasa nyaris mati. Setidaknya ia benar telah membuat Vlador merasa lebih hidup. Dan yang terpenting, vampir itu telah menepati janjinya.

Tiba-tiba sensasi aneh menjalar di tubuh Triana. Detik itu juga, wajah, rambut, dan seluruh tubuhnya bersinar hijau, membuat Triana menatap kedua tangannya dengan mata terbelalak. Akan tetapi, selang lima detik kemudian, sensasi tidak nyaman dan cahaya magis itu menghilang dari tubuhnya tanpa jejak.

“Sihirnya… sihirnya pasti sudah bekerja padaku! Aku berha-”

Gumaman gembira Triana terhenti begitu suara gemerincing besi terdengar keras tepat di sampingnya. Ketika ia mengangkat wajahnya untuk mencari sumber suara tersebut, senyum pada wajahnya seketika lenyap karena ia mendapati semua rantai yang membelenggu Vlador telah terlepas.

Dikutuk Bersama Tuan VampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang