11. Bangsawan Tidak Berguna

416 34 0
                                    

Triana.

“A-apa yang kau lakukan?” Triana terbata.

Penyihir yang telah mengutuk mereka berdua adalah satu-satunya harapan Triana dapat kembali pada kehidupan lamanya. Namun kini, penyihir itu telah mati. Vlador telah membunuhnya. Kenapa ia membunuhnya?

Tiba-tiba, rasa sesak mencekik kerongkongan Triana, lalu disusul oleh gemuruh di perutnya. Gejolak yang naik dari perut menuju kerongkongan Triana membuatnya segera berlari keluar dari gubuk penyihir itu dengan tubuh sedikit membungkuk dan tangan menutup mulutnya.

Begitu tiba di luar pintu, Triana melepaskan tangannya dari mulut untuk mengijinkan isi perutnya keluar. Ia terbatuk-batuk sambil berpegangan asal pada sebuah balok kayu yang menempel di dinding gubuk penyihir itu. Dunia di sekelilingnya terasa berputar hingga jika tidak berpegangan, ia yakin ia sudah terbaring di tanah sekarang.

Triana tidak yakin apakah ia merasa mual karena melihat pembunuhan sadis tepat di depan matanya atau karena ia melihat satu-satunya harapan untuknya terlepas dari kutukan ini telah mati. Keduanya sama-sama mengguncang jiwanya.

Mengusap mulutnya dengan punggung tangan, Triana berusaha mengatur napas untuk mengumpulkan kewarasannya dan keseimbangan tubuhnya kembali. Tiba-tiba, ia merasakan aura gelap hadir dan menyadari bayangan tubuhnya telah digantikan oleh bayangan besar dan tinggi yang menghalangi cahaya dari gubuk di belakangnya.

Terkejut, Triana berbalik. Namun karena kepalanya masih terasa agak berputar, ia terhuyung ke samping. Jika bukan karena sebuah tangan tiba-tiba mencengkram lengannya, ia sudah terjatuh.

Triana merasakan tubuhnya ditarik hingga ia kembali berdiri dengan benar. Sedikit buram, matanya menatap sosok Vlador tengah berdiri di ambang pintu. Ia yang menarik lengannya, lalu menempelkannya kembali pada balok kayu yang sebelumnya ia pegang.

“Apa yang salah denganmu?” Tanya Vlador, menatap Triana jijik.

“Aku… merasa mual.” Jawab Triana dalam napas pendeknya.

“Jangan membuang waktu lagi. Bantu aku mencari petunjuk untuk mengangkat kutukannya.” Perintah Vlador sebelum melangkah masuk kembali.

Triana menarik napas dalam dan menghembuskannya panjang seraya menutup matanya kuat-kuat. Ia tidak sanggup berjalan tegap karena tubuhnya benar-benar lemas dan perutnya melilit. Meski begitu, ia tidak melihat Vlador memiliki sedikit pun hati nurani. Vampir itu tetap memaksanya bergerak meski telah melihat kondisinya yang menyedihkan.

Melangkah masuk ke dalam gubuk dengan bau tidak sedap itu, Triana mengedarkan pandangannya sambil berpegangan pada dinding. Ia melihat sosok Vlador sedang membongkar-bongkar isi lemari kaca seakan ia tidak melihat mayat penyihir yang masih duduk mengenaskan di sampingnya.

“Kenapa… kenapa kau membunuhnya? Ia adalah penyihir yang mengutuk kita. Jika ia mati, bagaimana kutukan ini dapat diangkat?” Tanya Triana dengan kedua mata berkaca-kaca.

“Kau pikir ia akan mengangkat kutukannya jika ia masih hidup? Lebih baik membunuhnya sekarang daripada ia menghalangi usaha kita untuk mengangkat kutukan ini. Aku telah memberikan padanya kesempatan untuk mengangkat kutukan ini sehingga aku bisa membiarkannya hidup, namun ia malah menghinaku.” Jawab Vlador acuh.

“Kau bicara seakan kau mengetahui cara mengangkat kutukan ini,” Gumam Triana seraya melangkah perlahan untuk memeriksa sebuah meja besar yang sangat berantakan.

Vlador tidak menggubris Triana. Ia terus membongkar buku-buku dan gulungan kertas yang ia temukan.

Menahan rasa sakit di otot perut dan panas di dalam dadanya, Triana menggeser benda-benda yang baginya terlihat seperti sampah itu.

Seumur hidupnya, Triana tidak mengingat ia pernah menghadapi masalah serius. Hal terberat yang pernah ia hadapi adalah perihal sekolahnya, ketika ia kesulitan memahami beberapa bahasa dan rumus perhitungan. Ia juga pernah mengalami kesulitan saat memilih gaun dan perhiasan terbaik untuk dikenakan saat menghadiri pesta ulangtahun raja.

Apakah masalah ini terlalu berat atau hidup Triana memang terlalu mudah selama ini? Jika dibandingkan dengan kakak-kakaknya, Triana memang selalu mendapatkan yang terbaik dan diberikan kemudahan dalam segala hal.

Kini, Triana sendirian. Orangtuanya pasti sedang mencarinya. Ia ingin pulang. Namun dengan penampakannya yang seperti monster akibat kutukan ini, ia takut membuat keluarganya malu. Jangankan orang-orang di luar kastil Galev, semua pelayannya mungkin akan berbisik tentang rupanya yang buruk.

“Kau hanya akan mengotori tanganmu jika mencari sambil melamun seperti itu.”

Suara berat tersebut membuat Triana mengangkat wajahnya dengan pundak sedikit terlonjak. Vlador telah berdiri di sebrang meja yang ia periksa. Wajahnya nampak tidak senang. Kerutan di antara kedua alis tegasnya menunjukkan seakan ia teramat jijik pada Triana.

“Maaf. Aku akan mencarinya dengan benar. Aku bisa melakukannya,” Ucap Triana sebelum kembali membongkar meja itu sambil menahan agar wajahnya tidak mengekspresikan rasa jijiknya terhadap sampah yang mungkin menyentuh tangannya yang tidak terbungkus sarung tangan.

Vlador memperhatikan Triana dalam diam dan dengan lengan yang menyilang di depan dada, membuat jantung Triana semakin berdegub keras dan napasnya semakin berat.

‘Apakah ia menyadari bahwa aku tidak bisa melakukan berbagai hal yang dilakukan oleh orang biasa? Aku bisa memainkan harpa dan bisa membuat puisi indah. Namun jika mencari sesuatu yang tidak jelas di antara tumpukan sampah seperti ini… aku rasa tanganku belum terbiasa melakukannya.’ Pikir Triana.

Kesunyian membuat Triana dapat mendengar suara detak jantungnya sendiri. Meski wajahnya tertunduk, ia dapat merasakan bahwa Vlador masih terus memperhatikannya dengan intimidasi sehingga membuat otaknya sukar fokus.

“Tidakkah kau mendengar bahwa aku tidak akan membunuhmu?”

Triana mengangkat wajahnya, mendapati Vlador tengah menatapnya dengan wajah datar. “Maaf?”

“Kenapa kau masih bersikap seolah aku akan membunuhmu kapan saja? Apakah dirimu yang masih bernapas saat ini tidak cukup membuktikan kata-kataku?” Tanya Vlador.

Triana tidak dapat menjawab. Ia menundukkan wajahnya kembali seraya menggigit bibir bawahnya. “Aku… percaya, namun… aku tidak dapat menahan rasa takutku karena…”

Mendapati Triana tidak melanjutkan kalimatnya, Vlador memilih untuk menyambungkan sendiri kalimat tersebut dengan tebakan, “Karena aku adalah vampir? Kau tidak bisa menahan dirimu untuk takut pada monster yang sangat dibenci oleh manusia, benar?”

Rahang Triana mengetat. Ia perlahan mengangkat wajahnya lagi. “Aku tidak bermaksud begitu. Namun aku hampir mati di tanganmu dan luka gigitanmu masih terasa sangat menyakitkan sekarang.”

Sebuah tawa kecil lolos dari bibir merah marun Vlador. Ia memiringkan kepalanya sedikit. “Itu adalah apa yang vampir lakukan, nona. Jika bukan karena kutukan ini, aku benar-benar telah membunuhmu. Namun sekarang, aku malah harus menjagamu agar tetap hidup. Karena itu, tidakkah seharusnya kau bersyukur dan menghentikan gemetar pada tubuhmu itu? Sikapmu hanya akan memperlambat tujuanku mengangkat kutukan ini.”

Menarik napas dalam, Triana mengangguk. “Aku mengerti. Aku akan berusaha untuk berhenti… takut padamu,”

“Dan berusahalah menjadi berguna, aku harap,” Ucap Vlador seraya melanjutkan kegiatannya memeriksa satu per satu barang di atas meja.

“Aku akan melakukannya.” Jawab Triana dengan gumaman, menahan sensasi menusuk pada jantungnya.

Dikutuk Bersama Tuan VampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang