5. Vlador Terbebas + Author's Note

629 43 6
                                    

Triana.

Sama seperti Triana, seluruh tubuh Vlador juga menyala hijau dan baru saja padam.

Tanpa diduga, sihir yang berhasil bekerja untuk Triana, bekerja bersamaan pada vampir di depannya; di mana itu adalah hal yang wajar mengingat memberi ramuan sihir pada Vlador memang adalah syarat dari si penyihir.

Namun bukankah penyihir itu berkata bahwa ramuan sihirnya akan membuat vampir yang meminumnya merasa terbakar selama tiga hari? Penjelasan dari penyihir tersebut jauh berbeda dengan apa yang terjadi sekarang.

Vlador memandangi kedua tangannya yang tidak lagi terbelenggu rantai. “Kekuatanku… mereka kembali,” gumamnya.

Ketika Vlador bangkit berdiri, seluruh pengawal Triana menyiagakan pedang mereka.

“Lady Triana! Kita harus pergi sekarang!” Seru Grivin, meraih lengan atas Triana.

Terjaga dari ketertegunannya, Triana bangkit berdiri dengan tubuh agak oleng karena ia telah kehilangan banyak darah yang membuatnya pusing dan lemah. Ia segera dibopoh oleh pengawalnya menuju pintu keluar, namun angin kencang tiba-tiba berhembus dari arah belakang meraka hingga pintunya terhantam menutup.

“Akh!” Pekik Triana seraya menutup kedua telinganya. Lalu ia menoleh ke belakang, di mana para pengawal lainnya sedang berdiri di hadapan vampir yang sudah terlepas itu.

Hal terakhir yang ia lihat adalah sebuah senyum lebar yang terbentuk di wajah tirus menyeramkan yang menampakkan sepasang taring panjang dan runcing. Setelah itu, seluruh lentera dan obor yang mereka bawa padam.

“Cepat lari, Lady!” Ucap Grivin yang berada di samping Triana seraya membuka kembali pintu besi berat di hadapan mereka.

“Selamatkan dirimu!” Lanjut pria itu seraya mendorong tubuh Triana hingga gadis itu sedikit terpental keluar dari ruangan penjara menuju lorong yang hanya mendapat sedikit sinar bulan penuh untuk memberinya cahaya remang.

“Grivin!” Triana memutar tubuhnya. Namun pintu itu kembali tertutup sebelum ketua kelompok pengawal itu berhasil keluar.

Tiba-tiba, terdengar suara teriakan pengawal-pengawal Triana beserta suara besi berjatuhan membentur lantai batu. Triana yakin semua kegaduhan itu adalah suara para pengawalnya yang sedang berjatuhan.

“Mereka diserang. Vampir itu membunuh mereka!” Gumam Triana seraya menutup mulutnya dengan kedua tangan dan melangkah mundur. Tidak memiliki pilihan lain, ia terpaksa meninggalkan semua pengawalnya, termasuk Grivin.

Pandangan Triana bergoyang. Ia tidak dapat berlari lurus dan tubuhnya terus membungkuk. Langkahnya goyah hingga ia merasa tidak menapak tanah sama sekali. Meski begitu, ia tetap berusaha berlari sekuat tenaga.

Tanpa lentera, Triana mengandalkan sinar bulan yang masuk ke kastil suram itu melalui jendela-jendela nya yang telah pecah. Di lantai yang tidak rata dan kotor, ia terus melangkah secepat yang ia bisa menuju pintu keluar kastil, bahkan meski ia tidak yakin apakah ia berjalan di jalur yang benar.

Bagaimana bisa vampir itu terlepas? Bukankah ia seharusnya sedang kesakitan hingga memilih untuk mati? Apakah ramuan sihir itu yang membuatnya terlepas?

Air mata mulai menggenangi kedua mata Triana. Ia tidak percaya keadaan menjadi seperti ini. Harapan untuk memiliki kecantikan abadi agar masa depannya cerah malah membuat nyawanya terancam. Semua perjuangannya tentu saja akan sia-sia jika ia mati di tangan monster itu. Dan yang lebih buruk, ia yakin para pengawalnya sudah mati sekarang.

Bukankah kecantikannya seharusnya membawa kebahagiaan untuk semua orang, seperti apa yang ayahnya katakan?

Namun mengapa kini kenyataan berbicara sebaliknya? Kecantikan Triana membuat para pengawalnya kehilangan nyawa mereka.

Jika sejak awal Triana mengetahui bahwa demi mempertahankan kecantikannya harus ada darah yang tumpah, ia tidak akan mau melakukan perintah penyihir itu. Namun kini segalanya sudah terlambat. Tidak. Sejak awal, semuanya sudah terlambat. Kehidupan bahagia yang Triana miliki sesungguhnya telah hancur ketika ia bertemu dengan penyihir itu.

Triana tidak dapat melupakan kalimat penyihir yang mengatakan bahwa ia akan menjadi buruk rupa jika tidak membuat Vlador meminum ramuannya. Bahkan jika ia tidak membawa para pengawalnya ke sini pun, hidupnya akan berakhir karena wujudnya akan berubah menjadi monster.

Menoleh ke belakang, Triana tidak menemukan apapun selain kegelapan yang diselimuti oleh angin dingin dan lembab yang berhembus dari berbagai arah. Meski ia tidak mendapati apapun mengejarnya, ia merasa ada sesuatu yang sedang mengawasinya dan akan muncul tiba-tiba untuk menerkamnya.

‘Larilah, Triana! Itu hanya perasaanmu saja. Mungkin saat ini ia sedang meminum darah para pengawal. Ia tidak akan memiliki waktu untuk mengejarmu selagi kau cepat kabur dari sini!’

Insting mangsa entah bagaimana membantu Triana menemukan jalan keluar dari kastil itu tanpa harus tersesat. Namun ia mendapati bahwa sisa pengawal yang seharusnya berjaga di luar kastil telah menghilang dengan meninggalkan kuda-kuda mereka.

‘Ya, Tuhan… Ini tidak bagus. Kelihatannya aku harus kabur sendirian.’

Berlari dengan napas terengah, Triana menghampiri salah satu kuda pengawal dan menaikinya setelah melakukan beberapa kali lompatan gagal akibat lututnya yang lemas. Setelah berhasil duduk, Triana memecut tali kendali kuda tersebut. Namun bukannya berlari, kuda itu malah melambungkan kedua kakinya ke atas hingga membuat Triana nyaris terjatuh ke belakang.

“Astaga! Kenapa aku sangat bodoh?!” Keluh Triana pada dirinya sendiri sembari melihat ke bawah.

Triana segera melompat turun dari dari kuda itu. Kakinya yang lemas membuatnya terjatuh terngkurap dan mengotori gaun cantiknya. Namun ia segera bangkit berdiri, lalu dengan sedikit pincang menghampiri tali tambang yang terikat pada roda kereta kuda dan tersambung pada tali kendali kudanya.

Penyesalan menyelumbungi Triana karena selama ini ia terlalu patuh pada ucapan kedua orangtuanya yang tidak mengijinkannya terlalu sering berkuda. Bahkan jika ia akan berkuda pun, para pelayanlah yang selalu menyiapkan segalanya untuknya, termasuk mempersiapkan kuda yang hanya perlu ia tunggangi saja.

Setelah tali kuda terlepas, Triana kembali berusaha memanjat tubuh kuda tersebut dengan tenaganya yang kian terkuas. Namun, suara langkah kaki yang meremukkan dedaunan kering membuat tubuhnya seketika membeku.

Rasa sakit seperti sebuah remasan di jantungnya membuat Triana meringis. Dengan leher kaku, ia menoleh ke belakang hanya untuk membuat tubuhnya semakin gemetar dan kekeringan melanda kerongkongannya.

Seorang pria dengan mata merah menyala menatap Triana seakan ia adalah kalkun panggang segar yang tersaji di atas meja makan. Darah yang melumuri mulut dan dagu pria itu masih menetes-netes mengenai baju putih lusuhnya yang basah oleh darah segar. Sementara itu, cakar pada salah satu tangannya menancap di belakang leher salah satu pengawal Triana yang telah mati.

Tidak perlu berpikir keras, Triana bisa menyimpulkan bahwa pria itu adalah vampir yang tadi menghisap daranya. Namun, kini vampir itu tidak lagi berwujud tengkorak berlapis kulit, bahkan bukan vampir kurus menyedihkan.

----

Hai Hai!! Selamat datang di cerita baru author! Setelah bikin cerita yang sweet dan anget2 (The Groom From The Fairy Tale Land), sekarang author balik ke kiblat dark romance karna kayaknya itu lebih cocok dengan imajinasiku. Hehe..

Kali ini, aku gak tau apa cerita ini akan banyak peminatnya atau sepi. Tapi seperti biasa & sesuai komitmen, aku akan bikin ceritanya sebaik mungkin.

Untuk cerita ini ratenya DEWASA ya! Jadi untuk adik2 yang di bawah 18 tahun, mohon jangan baca cerita ini. Bacalah bacaan yg sesuai dengan usia kalian.

Terakhir, mohon dukungannya ya teman2! Kalau kalian suka cerita ini dan mau cepet diupdate, jangan pelit2 nge-vote, please!
Komentar pun juga boleh! Aku terima komentar apapun, bahkan yg berisi kritikan atau saran. Tapi yg pasti, aku gak akan ubah alur cerita ya..

Sekian note dari author. Doain biar author lancar nulis kisah Vlador dan Triana!

Sehat2 selalu, teman2!

Your storyteller,
Kalong_Ungu 🦇💜

Dikutuk Bersama Tuan VampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang