7. Parasit

564 38 5
                                    

Triana.

Tubuhnya mematung, seakan seluruh sendinya telah berkarat dan otot-ototnya membeku. Jantungnya bertalu-talu dan napasnya berhembus berat. Ia ingin melompat kabur, namun bahkan jarinya tidak dapat ia gerakkan karena ketakutan telah merantai jiwanya.

Vlador menurunkan satu kakinya untuk memijak ranjang yang Triana tiduri, kemudian disusul oleh kedua tangannya. Ia mulai merangkak di atas tubuh Triana hingga wajah mereka bertemu.

“Hh…” Triana mendecit dengan lidah kelu ketika Vlador mendekatkan wajah pucatnya pada lehernya yang masih berdenyut nyeri hingga membuatnya mampu memalingkan wajah ke samping dengan mata tertutup kuat.

Rahang Triana mengetat dan ia meremas kain sprei saat merasakan bibir Vlador menekan luka bekas gigitannya yang ia yakini masih terbuka karena itu membawa rasa ngilu dan perihnya kembali.

Namun bukannya sebuah gigitan, Triana malah mendengar suara dengusan panjang dan kuat hingga membuatnya mengintip sedikit. Keningnya mengkerut ketika menyadari Vlador sedang mengangkat wajahnya menjauh.

Lalu dengan cepat, sebuah tangan besar berkuku panjang mencengkram rahang Triana untuk mengarahkannya menatap ke depan, pada wajah sangar vampir itu.

“Aku sangat ingin meminum darahmu hingga tetes terakhir. Aku ingin mengoyak otot-ototmu dan menelan setiap helai pembuluh darahmu hingga tubuh kurusmu mengering. Namun kenapa malah aku yang harus merelakan kau meminum darahku, gadis manusia?”

Menatap Vlador, Triana mengerjap hingga air mata yang sudah tergenang mengalir keluar dari ujung matanya. Apa yang sedang ia katakan?

“Singkirkan wajah ketakutanmu itu karena aku tidak akan bisa membunuhmu.” Geram Vlador, lalu melanjutkan dengan gumaman, “Setidaknya untuk saat ini.”

Merasakan cengkraman pada rahangnya mengerat, Triana meringis. Namun Vlador akhirnya melepaskan cengkraman tersebut, sekaligus pergi dari atas tubuhnya.

Mengerjap lagi, Triana berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Jika ia harus berdiri di pinggir jurang curam menuju laut lepas penuh batu karang, mungkin seperti inilah rasanya. Namun dibandingkan jantungnya yang terasa nyaris meledak, Triana lebih memikirkan apa maksud perkataan Vlador barusan.

Ia pikir hidupnya akan berakhir beberapa detik lalu, namun bukankah itu adalah pikiran yang sebelumnya telah bersenyam di benaknya juga - ketika ia sedang disantap oleh Vlador di tengah hutan?

Lalu di mana ia sekarang? Ia berada di sebuah kamar dalam keadaan hidup! Dan vampir itu... apakah ia sungguh berkata bahwa ia tidak akan membunuhnya?

“Ah...” Triana kembali meringis seraya memegangi lehernya saat gelombang nyeri menghampiri luka gigitan vampir itu.

Ia menyentuh lukanya dengan kedua jari. Itu terasa sangat perih dan agak basah. Ketika ia menarik tangannya dan melihat jarinya, terdapat bercak darah di sana.

Mengedarkan padangannya, Triana mendapati Vlador sedang berdiri di belakang jendela dengan kedua tangan panjangnya yang terangkat untuk bersandar pada kedua sisi bingkai jendela tersebut. Kepalanya agak tertunduk, seakan ia tengah mengalami depresi.

Ancaman dibunuh tidak lagi berada di depan matanya, Triana mendapatkan kekuatan untuk bangkit duduk. “Di… di mana aku? Apa yang terjadi?”

“Aku telah dikutuk, begitu pula dirimu. Kita … telah dikutuk.” Ucap vampir itu tanpa menoleh pada Triana.

Kedua mata Triana seketika melebar. Mengabaikan rasa sakit pada lehernya dan mengabaikan tubuhnya yang lemah, ia melompat turun dari kasur dan berlarian mengelilingi kamar besar dan cukup gelap itu.

“Cermin! Di mana cermin?!” Serunya.

Vlador membalik punggung, lalu mata coklatnya bergerak mengikuti ke mana Triana berlari-lari. Keningnya mengkerut dan ia bergumam, “Apa yang si bodoh itu lakukan?”

Tergesa, Triana menoleh pada Vlador dan kembali bertanya, “Apakah kau tidak memiliki cermin di sini? Aku mohon… aku membutuhkannya.”

“Aku tidak memilikinya.” Jawab Vlador. Kemudian tatapannya berubah tajam. “Wajahmu, itu terlihat seperti monster.”

“Apa?” Air mata menggenangi kedua mata bergetar Triana. Lalu ia terjatuh ke atas lututnya dengan kedua tangan terus meraba wajahnya. “Tidak! Bukankah aku sudah melakukan syaratnya? Lalu kenapa aku masih mendapat kutukan buruk rupa? Aku tidak melakukan kesalahan apapun!”

Triana tidak percaya ia telah menjadi buruk rupa sekarang. Meski ia belum dapat melihat seperti apa rupa wajahnya dan tidak merasakan perbedaan ketika merabanya, sebuah gambaran monster mengerikan terbayang-bayang di benaknya.

Sepasang kaki berbalut sepatu hitam melangkah dan berhenti di hadapan Triana. Lalu sebuah tangan besar dan pucat dengan kuku panjang dan runcing mengangkat dagunya.

Dengan mata dipenuhi air bersuhu hangat, Triana menatap sosok Vlador yang tengah tersenyum miring padanya. Seharusnya ia takut pada pria bertaring peminum darah itu. Namun entah mengapa, masa depan suram yang selalu orangtuanya takut-takuti kepadanya sejak ia kecil terasa lebih mengerikan.

Bukankah lebih baik mati daripada harus hidup menderita sebagai si buruk rupa?

“Jadi itu benar; Kau membuatku meminum ramuan penderitaan itu agar kau menjadi cantik. Jadi masa depan yang kau maksud itu adalah kecantikanmu? Kau adalah wanita yang menyedihkan.” Tutur Vlador.

Mengabaikan hinaan itu, Triana terus terisak, “Bagaimana mungkin aku kembali dengan kondisi seperti ini? Aku sudah sampai di sini demi menyelamatkan masa depanku, namun kini hidupku menjadi berantakan. Masa depanku telah hancur! Apa yang akan orang-orang katakan ketika melihat wajahku? Apa yang akan terjadi pada orangtuaku, pada keluargaku?”

Terkekeh singkat, Vlador melepaskan cengkramannya. “Itu adalah resiko yang harus kau terima jika bekerjasama dengan penyihir. Jika kau tidak bodoh, seharusnya kau tahu bahwa mereka lebih licik dari ular.”

“Jika harus hidup seperti ini, lebih baik aku mati.” Gumam Triana, menundukkan wajahnya hingga air matanya menetes langsung ke atas lantai kayu.

Namun kalimat itu ditanggapi dengan mata menyipit dari Vlador yang langsung menatap Triana tajam. “Kau tidak boleh mati. Aku tidak akan mengijinkannya.”

Mengangkat wajahnya, Triana menatap Vlador dengan kening mengkerut. “A-apa maksudmu? Bukankah sebelumnya kau hampir membunuhku?” Tanyanya, lalu terdiam sejenak untuk menyadari bahwa kenyataan dirinya masih hidup sekarang adalah sebuah kejanggalan besar.

“Bukankah tadi… kau akan membunuhku? Kenapa sekarang aku masih hidup? Sebenarnya apa yang…”

Sederet pertanyaan Triana kembali terhenti saat ingatan samar mulai bermunculan di benaknya.

Sebelumnya, ia ditangkap oleh vampir yang mulutnya berlumuran darah itu. Kemudian ia merasakan sakit luar biasa pada lehernya karena vampir itu menerkamnya. Saat itu, tubuhnya seketika melah dan pandangannya kabur. Ia sekarat, namun…

“Penyihirnya…” Gumam Triana dengan kedua mata membesar. Ia menaikkan pandangannya untuk menatap wajah pucat yang membingkai sepasang mata coklat menyala yang berada di atasnya.

“Kelihatannya ingatanmu baru saja kembali.” Ucap Vlador.

Triana mengangguk. “Tapi aku tidak dapat mengingat jelas apa yang penyihir itu katakan karena saat itu aku sedang sekarat. Bukankah… bukankah seharusnya aku sudah mati sekarang?”

“Aku harap aku berhasil melakukannya. Sayangnya, kau malah menjadi bebanku sekarang. Kau adalah parasit.” Desis Vlador.

Dikutuk Bersama Tuan VampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang