41. Rencana Baru

178 21 6
                                    

Triana.

Derap tapal kuda berhenti, begitu pula dengan guncangan yang menyertai tidur Triana.

Ia sangat lelah hingga guncangan dari kuda yang berlari dan hembusan angin dingin yang menerpa tubuhnya bagaikan ranjang ayun yang menyihir tidurnya semakin lelap. Namun jika ternyata bukan karena hal-hal itu, ia mungkin bisa tidur dengan nyaman karena adanya tubuh hangat seseorang yang mendekapnya dari belakang dan memberinya keyakinan bahwa ia aman.

“Bangunlah,” Ucap Vlador, mengguncang singkat pundak Triana.

Mengerutkan keningnya, Triana menyibak jubah yang menutupi wajahnya. Tidak seperti ketika mereka berhenti beberapa kali untuk mengistirahatkan kuda, cahaya matahari tidak lagi menyilaukan matanya.

“Apa kita sudah sampai?” Tanya Triana seraya memperbaiki posisi tubuhnya untuk tidak bersandar pada dada Vlador lagi.

“Belum. Aku tidak tahu nama tempat ini, namun kita harus bermalam di sini.” Jawab Vlador seraya menarik kendali kudanya agar kuda itu berjalan lebih lambat.

Menatap sekeliling, Triana menyadari mereka telah masuk ke dalam sebuah kota kecil dengan bangunan-bangunan kayu yang nampak usang. Tidak banyak orang berlalu-lalang dan tidak banyak lampu minyak untuk menerangi jalan.

“Mereka terlihat tidak ramah,” Gumam Triana seraya merapatkan jubah Vlador saat beberapa orang menatap mereka dengan tidak senang.

“Apakah kau sanggup tersenyum jika tinggal di kota semenyedihkan ini?” Tanya Vlador.

Triana menggeleng kecil seraya menyusutkan tubuhnya ke belakang. “Aku tidak yakin ada rumah yang bersedia menampung orang asing, Tuan Vlador.”

“Tidak ada. Kita akan menginap di penginapan itu.” Sahut Vlador seraya membelokkan kudanya.

“Bukankah kita tidak memiliki uang?” Tanya Triana tepat ketika kuda mereka berhenti di depan sebuah bangunan dua lantai.

Vlador melompat turun dari kuda, lalu menggendong Triana turun. “Aku tidak pernah membiarkan saku celanaku kosong.”

Senyum lega menghiasi wajah Triana. “Oh, terima kasih, Tuhan. Aku pikir kita akan tidur di kandang kuda.”

“Berlindung di dalam jubahku. Di dalam sana cukup banyak orang.” Ucap Vlador seraya melebarkan sebelah sayap jubahnya, lalu menutupnya ketika Triana sudah masuk ke dalam.

Seperti yang Vlador katakan, terdapat cukup banyak orang di bangunan penginapan itu karena mereka memiliki kedai di lantai satunya yang kelihatannya adalah satu-satunya lokasi yang terasa hidup di kota kecil itu.

“Aku memesan satu kamar.” Ucap Vlador pada seorang pria yang berjaga di konter penginapan yang bersebelahan dengan meja bar.

“Kami memiliki dua ranjang dan satu ranjang. Yang mana yang kau mau?” Tanya pria berkumis tebal itu seraya memperhatikan tubuh tanpa busana Vlador dengan mata menyipit.

“Apa harganya berbeda?” Tanya Vlador.

Pria itu mengangguk. “Yang satu ranjang lebih murah.”

“Kalau begitu aku ambil yang paling murah.” Jawab Vlador.

Mata Triana sedikit membesar. Lalu ia menoleh untuk menatap Vlador penuh tanya. Namun pria itu hanya meliriknya sekilas tanpa mengatakan apa pun.

“Ya, tentu saja.” Jawab pria berkumis itu, membalik tubuh untuk mengambil kunci seraya bergumam, “Untuk apa juga aku bertanya?”

“Pembayaran dilakukan di muka. Kalian bukan berasal dari sini, ‘kan?” Ucap pria itu saat kembali menghadap mereka.

Vlador mengangguk sekali. “Kami kerampokan di jalan.”

Dikutuk Bersama Tuan VampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang