9. Kepakan Sayap

429 31 0
                                    

Triana.

Sebuah bisikan berat dan hangat menggelitik telinga Triana hingga bulukuduknya meremang.

Lalu ia merasakan Vlador membawa tubuhnya berayun ke samping dan terjatuh keluar, melawan angin dalam posisi kepala mereka menghadap ke bawah.

Mereka jatuh. Vlador membawa Triana melesat dari puncak tertinggi kastil menuju tanah keras di bawah. Sensasi teraduk di perut, dada, dan leher Triana membuatnya tidak mampu berteriak, terlebih karena posisi kepalanya yang menghadap ke bawah, seakan otaknya sedang ditarik oleh grafitasi menuju perutnya.

Kedua tangan mencengkram kemeja hitam yang membungkus tubuh vampir yang tengah memeluknya, Triana hanya bisa pasrah. Ia pun tidak mengerti apa tujuan Vlador melakukan ini. Apakah vampir itu ingin mereka mati bersama?

Sekilas, Triana sempat membuka matanya sedikit untuk mengintip dan memastikan bahwa ia benar-benar sedang meluncur ke bawah. Ia melihat sekelibat gambaran pohon dengan ranting-rantingnya yang bergerak cepat melewatinya secara vertikal.

‘Aku tidak mau mati. Ayah, ibu, kakak-kakakku… aku ingin pulang,’ Tangis Triana dalam hati.

Sensasi terjatuh itu terasa semakin kuat hingga membuat Triana kesulitan bernapas, seakan paru-parunya mulai menyusut.

Bagaimana mungkin hidupnya berakhir seperti ini? Sekarang ia adalah monster dan ia akan segera mati. Bagaimana jika keluarganya tidak mengenali mayatnya nanti? Bagaimana jika mereka terus mencarinya?

Triana tidak akan bisa melihat apa-apa lagi atau mendengar apa pun lagi. Ia akan bergabung bersama para leluhurnya. Ia akan meninggalkan semua kebahagiaannya dan orang-orang yang ia cintai di dunia ini. Ia tidak dapat membalas semua kasih sayang yang sudah orangtuanya curahkan kepadanya sejak ia terlahir ke dunia.

Namun di saat Triana sudah kehilangan harapan dan menerima bahwa hidupnya akan berakhir, tiba-tiba ia merasakan sensasi aneh dan mengejutkan pada tubuhnya yang membuat kepalanya seakan dihantam dari dalam.

Sensasi jatuh lurus ke bawah dalam sekejap berubah menjadi dorongan naik ke atas. Mengesampingkan pengaruh dari perlawanan terhadap garvitasi yang menyebabkannya ingin muntah, Triana refleks membuka mata.

Pergerakan ekstrim itu mendadak berhenti dan Triana mendapati dirinya berada dalam posisi berdiri di atas angin. Kedua irisnya melebar atas pemandangan bulan purnama besar yang bersinar terang di atas hamparan hutan luas.

Kedua tangan Triana masih mencengkram kain yang membungkus sepasang lengan besar yang tengah melingkari perutnya karena ia menyadari bahwa ia sedang melayang di langit. Lalu ia merasakan angin dingin berhembus kuat ke depan dan belakang secara bergantian di sisi kanan dan kirinya, seperti gulungan ombak yang menggoyangkan kapal.

Masih berusaha mencerna apa yang terjadi, Triana menoleh ke samping dan tersentak kaget saat sebuah benda besar berwarna hitam seakan nyaris menghantam wajahnya. Namun ia segera menyadari bahwa itu tidak akan terjadi. Ia memutar kepalanya lebih jauh lagi hingga berhasil menoleh ke belakang dan memastikan bahwa benda itu benar adalah sebuah sayap raksasa.

Napas terengah, Triana segera menoleh ke atas. Napas tersebut berhenti sesaat ketika tatapannya bertemu dengan sepasang mata keemasan yang tengah memperhatikannya. Wajah dengan tulang rahang tegas dan warna gelap kemerahan di sekeliling mata tajamnya nampak datar dan dingin.

Mereka saling menatap; Sepasang mata yang menggambarkan langit cerah musim semi dan sepasang mata senja di ujung laut lepas. Perlahan, pandangan Triana kembali bergulir sedikit untuk memperhatikan sayap raksasa yang terus mengepak di belakang punggung Vlador.

“Tunjukan di mana sarang penyihir itu.” Perintah Vlador.

Triana mengerjap, lalu berdehem sekilas. “Aku… aku tidak yakin,”

“Hm…” Vlador membuang pandangannya ke lautan pohon di bawah kaki mereka. “Seekor burung di dalam sangkar tidak pernah memandu jalannya sendiri.”

“Aah! Apa yang kau lakukan?!” Pekik Triana ketika Vlador mengubah posisi tubuh mereka menjadi horizontal layaknya seekor burung yang sedang terbang.

Vlador tidak menjawab, namun dengan cekatan, ia memutar tubuh Triana untuk menatap ke bawah hingga membuatnya semakin memekik ketakutan dan mencengkram lengan pria itu lebih kuat.

“Si buruk rupa tidak berguna ini membuatku harus mencari tempat itu sendiri.” Gumam Vlador. Lalu ia tersenyum lebar, dan melanjutkan, “Kelihatannya kau takut pada ketinggian. Sebaiknya melihat pemandangan di bawah akan mengobati rasa takutmu.”

Triana tidak dapat menjawab. Kedua matanya membesar seraya terus menatap ke bawah, di mana pucuk-pucuk pohon berada tepat di bawah perutnya. Barisan giginya saling menekan satu sama lain, menahan sensasi teremas pada jantungnya karena ia merasa tubuhnya akan terjatuh meniban pucuk-pucuk pohon yang terlihat sangat membahayakan itu.

Namun dua buah tangan besar melingkari perut Triana. Sekali lagi, ia harus mengingat bahwa nyawanya dan Vlador terikat. Vampir itu tidak akan membiarkannya mati. Meski ia merasa akan terjatuh sekarang, ia yakin Vlador tidak akan membiarkannya.

Gelombang angin besar kembali berputar di sekitar tubuh Triana. Lalu, suara kepakan sayap mulai terdengar dan pemandangan di bawah mulai bergerak melewatinya.

Angin dingin berhembus semakin kuat, membekukan wajah Triana dan menerbangkan rambutnya. Meski ia terus mencengkram lengan Vlador, rasa takutnya perlahan memudar. Suhu tubuhnya semakin merosot hingga ia mulai menggigil. Meski begitu, pemandangan hutan di bawah ternyata begitu indah meski di malam hari. Cahaya terang bulan membuatnya dapat melihat cukup jelas.

Mata Vlador bergulir ke segala arah. Menggunakan kemampuan pengelihatan jauhnya, ia terus menelisik ke setiap celah-celah pepohonan untuk memeriksa satu, dua gubuk yang ada di antaranya. Namun keningnya agak mengkerut dan mata coklatnya bergulir mengintip Triana yang tengah berada di dalam lingkaran tangannya.

“Ini bukan reaksi yang aku harapkan.” Gumam Vlador.

Pemandangan hutan luas dan langit bertabur bintang itu telah menyihir seluruh perhatian Triana. Angin dingin yang menerpa wajahnya dan menggoyangkan bulumata tebalnya terasa menggelitik, entah mengapa membuat ia ingin terkekeh.

Ini adalah mimpi. Ya, Triana pernah terbang, namun hanya di dalam mimpi. Di dalam sana, ia memiliki sayap dan bebas menjelajahi langit seperti seekor burung. Kini, mimpi itu menjadi kenyataan. Untuk pertama kalinya, ia dapat melihat luasnya dunia.

Senyum tipis terukir di wajahnya. Perlahan, Triana melepaskan satu genggamannya dan merentangkan tangannya ke samping untuk merasakan udara membekukan mengalir melewati sela-sela jemarinya. Ia terkekeh.

Vlador kembali menatap Triana. Keningnya kembali mengerut sambil menatap tangan kecil Triana yang terjulur merasakan angin. Ia menggeleng seraya menghela singkat.

Setelah terbang beberapa menit di atas langit hutan, Triana menarik tangannya kembali untuk berpegangan pada lengan Vlador setelah tiba-tiba mereka menukik ke bawah. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan agar teriakan tidak lolos dari bibirnya.

Dalam kecepatan penuh dan kekasaran, Vlador melesat turun bagaikan seekor elang yang hendak menyambar mangsanya. Matanya membidik sebuah gubuk reot yang berdiri di tengah-tengah hutan rimbun.

Begitu hampir mencapai tanah, Vlador mengubah posisi tubuhnya agar ia bisa mendarat di atas kedua kakinya. Kedatangannya membuat ranting-ranting bergoyang keras dan dedaunan kering di tanah berterbangan. Saat ia mendarat, semua dedaunan itu terhempas jauh dari tanah yang ia pijak.

Dikutuk Bersama Tuan VampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang