43. Kota Harbour

151 22 8
                                    

Vlador

Air yang tergenang pada sepasang mata biru cerah itu nampak beriak. Mata itu menatapnya seperti seekor anak anjing kelaparan yang tersesat sendirian. Warna semu muncul perlahan di kedua pipi itu.

Vlador menggeser turun genggamannya dari pergelangan tangan Triana menuju tangan mungil dan ringkih itu. Lalu ia membalikkan tangan tersebut dan meletakkan botol obat memar di telapak tangannya. Tidak seharusnya ia memanjakan gadis itu.

“Jika kau pikir kau membutuhkannya lebih banyak, pakailah sendiri.”

Mengerjap, Triana segera mengusap matanya dengan punggung tangannya yang lain. Ia mengangguk dan tertawa kecil. “Maaf jika aku terlalu cengeng. Kau sangat baik, Tuan Vlador. Kau membantuku sangat banyak hari ini.”

Mengeratkan rahangnya, Vlador bangkit berdiri. “Kau menjadi tanggungjawabku selagi nyawa kita terhubung.”

Triana tertawa kecil. “Kau benar. Aku hampir melupakannya. Tapi apa pun itu, aku tetap berterimakasih.”

Tidak menanggapi Triana lagi, Vlador melangkah menuju meja lain dan mematikan lampu minyak hingga kamar itu hanya diterangi oleh cahaya bulan yang masuk melalui jendela.

Merangkak ke atas kasur, Triana menutup tubuhnya dengan selimut hingga ke bawah matanya. Ia menatap Vlador tempatnya berbaring.

“Pipiku… ini terasa lebih baik.” Ucap Triana pelan.

“Itu baru saja dipakaikan obat.” Sahut Vlador, menatap Triana dari ujung mata.

“Menurutmu kapan lebam dan bengkaknya akan hilang dari wajahku?” Tanya Triana seraya menurunkan selimutnya ke leher.

“Kau tidak perlu mengkhawatirkan itu. Kau akan menyamar menjadi laki-laki; tidak akan ada yang peduli pada lebam di wajah itu.”

Menghela panjang, Triana melanjutkan, “Sejujurnya aku agak khawatir. Apakah nanti orang-orang akan percaya bahwa aku adalah laki-laki, sementara wajahku terlalu lembut seperti ini.”

“Jika tidak dicoba, kita tidak akan tahu.” Sahut Vlador seraya naik ke atas kasur dan duduk di bagiannya, di samping Triana, membuat gadis itu menggeser tubuhnya sedikit menjauh. “Jangan berisik dan cepatlah tidur.”

Meluruskan pandangannya ke atap, Triana menjawab, “Kelihatannya aku tidur terlalu pulas di sepanjang perjalanan tadi sehingga aku tidak merasa mengantuk sekarang.”

“Tidurmu tidak mungkin sepulas itu di atas kuda dan dengan angin berhembus kuat.” Sahut Vlador.

“Itu benar. Namun anehnya, aku tidur dengan nyenyak.”

Mengerutkan keningnya, Vlador melirik Triana yang masih menatap langit-langit. Tiba-tiba gadis itu terkekeh.

“Kenapa kau tertawa?” Tanya Vlador.

“Maaf,” Ucap Triana. “Aku hanya mengingat ketika pertama kali kita menginap di penginapan dan harus tidur di satu ranjang seperti ini. Saat itu aku ketakutan setengah mati. Kejadian itu hanya berselang beberapa hari ke belakang, dan kini kita berada di situasi yang sama namun dengan cerita yang berbeda”

“Apa yang sedang kau coba katakan?” Tanya Vlador ketika Triana terdiam sejenak dengan senyum tipis yang masih tergambar di wajahnya.

“Kini aku tidak takut lagi meski harus tidur di ranjang yang sama denganmu. Lebih tepatnya, aku tidak memiliki alasan untuk itu.” Ucap Triana, lalu menarik napas dalam sebelum melanjutkan, “Tidak ada lagi nama baik keluarga yang harus aku jaga dan tidak ada lagi calon suami yang akan mencampakkanku.”

Dikutuk Bersama Tuan VampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang