It's amusing when people know their worth
Fight for what they want
—"Kamu sadar memeluk aku terlalu erat?"
Suara Erica menghardik. Tidak cukup tajam, malah mungkin bagai rayuan untuk Ren kian mengeratkan rengkuhan. Tangan Erica di dada Ren, berusaha mendorong pria itu mundur. Namun, Ren yang bagai diselimuti kegembiraan, meresponnya dengan tersenyum-senyum. Terlihat kerasan dengan posisi mereka yang masih bergelung di atas ranjang besar lembut seperti di awan, dengan Erica di dekapannya sekarang. Sesungguhnya, Erica menahan matanya dari diturunkan. Atas pemandangan terbuka bagian atas tubuh toned suaminya yang tak lagi tertutupi selimut. Celana piyama panjang abu-abunya bahkan sedikit merosot. Menunjukkan yang memang seharusnya dipamerkan pada kaum hawa. Erica hanya berharap gaun tidurnya masih cukup sopan.
"Agenda sisa hari ini adalah istirahat," kata Ren. Sebelum pria itu menghadiahi ciuman bertubi di wajah Erica yang mengerang pelan. Erica perlu tetap sadar saat jantungnya semakin berdebar, dadanya terasa penuh secara tidak wajar. Pipinya memanas saat sekali lagi merasakan sapuan lembut bibir Ren di sana, lama, penuh penghayatan. Erica tidak perlu bertanya-tanya bagaimana dirinya bisa berakhir di situasi ini. Tertidur di ranjang yang sama dengan suaminya, pada kamar kelewatan megah yang lebih cocok ditempati oleh seorang sultan Moroko.
Ren menyelesaikan penelusuran bibirnya dengan menumpukkan dagu di atas kepala Erica yang terbenam di dadanya. Mata pria itu terpejam, ada helaan napas lega. "Terima kasih sudah tidur selama di perjalanan. Aku jadi bisa memiliki kamu sendiri di kamar ini, Ma—" Erica menepuk ringan punggung suaminya yang tertawa pelan. Wajahnya, astaga, benar-benar di hadapkan oleh dada pria itu yang bidang. Erica berusaha membebaskan tubuhnya, lagi. Untuk kali ini akhirnya Ren mengurai dekapan.
Tangan pria itu masih melingkar di pinggang Erica, dengan tubuh dimundurkan. Merunduk, menatap Erica dengan senyum teduh, yang Erica balas—Erica tidak tahu bagaimana rautnya saat ini terlihat di mata Ren. Mungkin kaku dan tajam. Sesi menatap itu diputus Ren yang memajukan wajah, berbisik di depan bibir Erica sebelum mencium bibirnya. "Raut wajah kamu saat ngambek selalu menggemaskan."
Erica tidak ngambek! Protesan teredam. Ren memagut bibirnya dalam. Sikap santai pria itu adalah kamuflase. Sebenar-benarnya menahan kuat pinggang Erica yang ingin bebas dari dekapannya.
"Mau kemana? Di sini aja sama Papa." ujaran parau Ren adalah godaan. Erica sudah sewajarnya merinding. Ditutupinya dengan raut peringatan. "Aku terpaksa menyetujui ke Marrakesh bukan untuk ini." Sekali lagi Erica berusaha mendorong dada suaminya.
"Lalu untuk apa?" balas Ren. Membenarkan posisi nyaman mereka, tersenyum menantang.
Lirikan skeptis Erica tanpa bisa ditahan mematri ekspresi nakal suaminya yang tidak biasa ditampakkan. Pria itu lebih sering memasang raut pria baik-baiknya di hadapan banyak orang. Sopan dan penuh kesantunan. Erica sadar, banyak yang menganggap suaminya murah senyum. Tidak sedikit wanita yang mengagung-agungkannya. Walau tidak mau mengakui, Erica sering tidak sengaja melihat tatapan-tatapan dreamy itu di pesta. Lalu sekarang, rambut suaminya yang senantiasa rapi, teracak dalam tampilan, tidak seharusnya memikat. "Untuk apa? Beritahu aku." desak Ren. Tatapan mereka beradu dalam. Mata bertemu mata, terkunci. Pada posisi yang Ren buat wajah mereka sejajar.
Sampai kemudian. Tubuh maskulin pria itu dibawa bergeser, melingkupinya dari atas. Erica masih cukup bisa mengendalikan diri untuk menahan pekikan. Panas. Tidak mau terjerembab, Erica membalik keadaan. "Seharusnya kamu yang tahu, untuk apa?" Suara Erica bisa cukup tenang. "Tiba-tiba membawa aku dan Kai ke Marrakesh." Jelas terlihat, sepersekian detik, senyum suaminya hilang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nouveau Départ
RomanceShe was a saint camellia before a sinful rose. She was a calm water before a burning fire. Ren Takahara bisa memiliki seluruh isi dunia di genggaman tangan, tetapi tidak dengan seorang wanita yang bersinggungan takdir secara tidak sengaja bersamanya...