Chapter 2

7.1K 825 352
                                    

A boy is a boy
A man is a man
Nothing different from other humans

Tokyo, 17 Februari 2024

"Sudah cukup memandangi wallpaper ponselmu."

Teguran dilayangkan oleh pria bersetelan Armani yang baru memasuki ruangan Ren Takahara. Genta Yamada, terlalu berani untuk sekelas asisten pribadi. Diikuti sekretaris Indonesia Ren, Jena Sulistio yang menundukkan kepala hormat di belakang, sangat kontras dalam bersikap. Lantas keduanya, masing-masing menggenggam iPad, berdiri di hadapan Ren yang menduduki bangku kayu Tuscan Royal berbantalan bulu empuk, di balik meja baroque hadiah Duke of York. Di tengah-tengah ruangan bernuansa perpaduan renaissance dan art deco teramat luas. Di belakang Ren terhampar pemandangan dari jendela kaca gedung lantai 6o, di salah satu distrik sibuk Tokyo. Ren menaikkan pandangan. Tidak tergesa meletakkan ponsel. Masih terpampang apa yang Genta bilang; Ren pandangi.

"Seharusnya kamu bilang saja pada istrimu 'aku tidak berhenti khawatir padamu' bukan hanya memandangi fotonya yang memeluk anak kalian."

Ren menaikkan sebelah alis, tipis.

Jena hampir tersedak kecil. Untuk kemudian Genta membawakan informasi yang ingin Ren dengar.

"Asisten pribadi istrimu, Ayana, sudah bergegas dari Bangkok. Pesawatnya akan tiba di Jakarta paling lambat dua setengah jam. Lebih cepat dari penerbangan komersil." Genta mengutak-atik tablet sesaat, mengangkat kepala. "Kita tetap ke Jakarta?"

"Tetap ke Jakarta, Kai ingin panda." balas Ren santai. Menuang Romanee ke gelas tinggi. Menawarkan pada asisten pribadi dan sekretarisnya. "Drink?" Kompak Genta dan Jena menggeleng.

Keduanya mungkin tidak habis pikir; perceraian sebentar lagi dan atasan mereka baru saja habis-habisan dimarahi, tetapi tetap ingin ke Jakarta? Tidak ingatkah penerbangan tiba-tibanya ke Paris lalu ke Selatan Prancis. Kembali lagi ke Tokyo, lanjut ke Kyoto. Ren bahkan masih bisa mengulas senyum.

Di hari Sabtu libur ini, tidak seharusnya pria itu duduk di kantor Takahara Holding yang ada di Tokyo. Tapi apa yang Ren bisa lakukan ketika pikirannya tidak bisa didiamkan? Ren butuh pengalihan. Menenggelamkan diri pada kesibukan semu tiada habisnya adalah pengalihan. Pria itu, belum istirahat secara benar belakangan ini, hanya baru sesaat kala dirinya bertemu Erica di St. Jean.

Menghirup aroma wine perlahan, beradu dengan angan mawar, Ren menyesap minuman sesaat mata dipejamkan. Bait-bait nyanyian sayup-sayup Gene Kelly mengudara dari gramofon, menggelitik indera pendengaran, alih-alih Chopin. Gene Kelly selalu bisa mengingatkan Ren dengan rumah barunya sejak empat tahun yang lalu. Mengingatkan Ren akan orang di dalamnya. Bahkan senyumnya.

"Sudah aku hubungkan ke menteri luar negeri dan lingkungan hidup China, mereka tidak terdengar keberatan." beritahu Genta, sejurus cepat skeptis. "Tapi, ini serius?" Bahkan dirinya menerima katalog.

"Ya." Mata Ren terbuka. Senyumnya diulas samar, sikapnya tertata. Penuh makna. "Apa aku pernah tidak serius? Aku hanya harus bicara lebih dahulu dengan Mamanya Kai." Terkait kebun binatang.

Pria itu terlihat hendak bersiap-siap.

Meletakkan gelas di meja, Ren bangkit, memutari bangku dalam gerakan menawan. Menarik suits Rubinacci navy yang dijahit khusus untuknya, teramat membungkus tubuh tinggi tegap dirinya secara sempurna. Lengan kemeja linen putihnya dirapikan. Ren mengecek waktu pada Patek di lingkaran tangan; semoga dirinya masih sempat membacakan Kai cerita pengantar tidur favoritnya.

Nouveau DépartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang