Chapter 23

3.6K 393 715
                                    

I'm a wallflower, so when you ask me to see the world with you... my body is stunned. A crimson of joy tingled me like a sunburn on my skin. Like a snowflake, it shivers me. Then warm me like a sparkling sea on the tenth of July 1913.

And, I can't help questioning... how far is the world we're going to see? Have you seen the world alone before with me? How much did you see? How much did you learn from the journey?

How much do you think about the life you witnessed when there's only an empty, tiny pea in a grip?

London, 12 Agustus 2019

Erica melihat pria itu lagi.

"I need to take this call," kata Ko Altair yang duduk di sebelah kanannya. Mereka saat ini menjadi salah satu yang menempati bangku penonton London Film Festival 2019. Dan di antara bangku-bangku yang duduki, turut di sana selain artis papan atas dunia dan para penggiat film, juga kaum sosialita dan philanthropist yang diundang usai melewati spotlight kilatan kamera paparazzi di area karpet merah dengan busana haute couture mereka yang indah. Ko Altair dalam setelan Kiton hitam menatap Erica bersalah. "I'm sorry, urusan kantor telah mengganggu acara kita berdua sejak kemarin."

Erica melirik sekilas ponsel Ko Altair di genggaman tangan kanan pria itu. Menampakkan panggilan seseorang bernama Jefferson yang nampaknya bukan usaha panggilan pertama, sebab Erica sudah mendengar samar getar ponsel sejak penyambutan.

Urusan kantor telah mengganggu acara kita berdua sejak kemarin yang dimaksud kakak sepupunya membuat Erica menggeleng tipis.

"It's okay, Koko. Koko lagi mengurus proyek penting dan Eca ngerti." bisik Erica, mengulas senyum kecil.

Mengetahui Ko Altair yang mulai mengemban tugas yang diberikan Papa pria itu di perusahaan keluarga.

Kemarin dan sejak Erica bertemu kakak sepupunya di bandara usai pelukan saudara, Kokonya tidak berhenti menerima telepon yang cukup memakan waktu dan menguras atensi pria itu sebab penting.

Erica memang tiba di London kemarin dan dijemput kokonya di bandar udara Heathrow. Melakukan perjalanan udara sendiri tidak dengan waktu sebentar, Erica cukup jet lag. Chamomile tea sempat membantunya selama di perjalanan. Menemaninya yang larut membuat sketsa-sketsa asal. Keluarganya sebagaimana mereka biasanya sempat ragu memperbolehkan Erica terbang sendiri. Cicinya berkata ingin mengantar, hanya untuk langsung pulang karena tidak bisa lama meninggalkan kerjaan. Namun sebelum semua itu terjadi, Erica berkata di umurnya yang ke dua puluh seharusnya ia sudah cukup bisa mengambil keputusan sendiri.

Keluarganya mengerti.

Pun, Ko Altair tidak perlu lagi merasa bersalah karena tidak bisa menjemput Erica di Jakarta.

Memutuskan tidak tinggal di rumah keluarga Wu, sebab paman dan bibinya—orang tua Ko Altair sedang di Denmark sampai pekan depan. Stephanie Natadisastra dan Antonio Wu menitip permintaan maaf karena tidak bisa menyambutnya. Namun fasilitas memanjakan akan tetap Erica dapat selama ia di sana, Erica lekas menolaknya. Hanya asisten-asisten rumah tangga dan kedua anjing corgi mereka yang ada di rumah megah bergaya georgian era di salah satu distrik elit Surrey, Wentworth Estate.

Erica memilih menyetujui ajakan menarik kokonya singgah di penthouse kelas atas pria itu yang berada di Knightsbridge, dekat Hyde Park. Menempati kamar kosong dikhususkan tamu yang ketika pintu victorian balkon dibuka, pemandangan bentang hijau dan danau yang dibangun Henry VIII terlihat.

Nouveau DépartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang