Don't you think it's beautiful when two people are connected even in silence?
But, how do they know what the others want if they don't communicate with words?
Do they have their own forms of communication?Two want to be heard
Two are burying feelingAnd two are struggling
Though it may seem strange
Sounds meaningful
Yet, delicately tragic
—"Is it okay if we go home now?"
Ren menyentuh lembut ujung siku Erica. Ditepis ringan empunya tanpa menolehkan kepala. Ren menarik tangan, memandang pahatan profil samping istrinya dengan dagu wanita itu terangkat angkuh, acuh tak acuh, pandangan tetap mengarah pada lawan bicaranya sebelum ini, adalah menutupi lirikan di ujung mata wanita itu. Ren sangat tahu.
Dan, dirinya masih sabar.
Setelah sedaritadi memberi waktu untuk istrinya. Dengan dirinya yang menunggu, duduk di bangku tidak jauh dari posisi wanita itu, usai Ren membawa tubuh Kai ke pelukan seperti permintaan anaknya. Atensi Ren dibagi pada istri dan celotehan lugu Kai.
Tanpa hambatan, Erica berhasil membelokkan langkah dari saudari perempuannya, Hera, ke Bian. Entah apa yang mereka bicarakan setelah Bian ikut dengannya bangkit berdiri. Meletakkan mug yang sebelumnya digenggam pria itu ke atas meja. Di sebelah pria itu, pandangan Jevan sempat mengikuti langkah keduanya. Seharunya Erica lebih dekat dengannya sebagai teman sejak kecil. Tapi semenjak kejadian di makam, Bian bagai teman bicaranya selain Hera sekarang. Seperti Axel yang terbengong, terlihat masih mengumpulkan nyawa, kemudian dipotong tangisan anak perempuannya. Hera yang paling tenang menyesap teh bersama Nessa—satu-satunya oknum yang melempar sapaan heboh tadi.
Di antara sabar yang dipecut, Ren still admiring how shimmering Erica is, just like her tiny ruby necklace. Waktu yang diberikan seharusnya cukup.
Cukup dengan Ren yang duduk bersama fokus yang terpecah. Lebih dari ini, Ren janji akan mengangkat tubuh wanita itu ke pelukan. Diprotes ataupun tidak. Erica tidak mungkin berulah di hadapan anak-anak.
Mereka—Ren, Erica, dan pria yang katanya saudara jauh istrinya, Bian—saat ini saling diam. Berdiri di sisi pinggir ruangan, merapat pada dinding dan meja, di antara gemuruh dialog di sisi lain. Nessa saat ini tengah memberitahukan keinginan wanita itu menyudahi hubungan dengan musisi yang sejak 2021 mulai dikenal di kancah internasional. Sambil memangku dan mengelus kucing british short hair Bian yang ikut hadir—sedari tadi, Kai dan Izy yang sudah berhenti menangis karena Rabella—boneka kesayangannya yang hilang dan hampir membuat kalang kabut seisi rumah akhirnya ditemukan—terus menatap kucing kalem itu dengan sorot penasaran.
Membuat Archie dan Thames—white maltese yang diadopsi keluarga Leeuwen—memasang wajah lesu.
"You two must talk," kata Bian. Bersiap beranjak dari sana. Ren mengalihan pandangan padanya.
Sudah seharusnya Ren mengucapkan. "Terima kasih." Bukan hanya karena pria itu membantunya masuk tadi. Bian memberinya tatapan. Lalu beralih pada Erica. Ren bukan tidak suka, tapi cara mereka saling diam saat berpandangan, seolah bicara tanpa perlu disuarakan, seperti cara Ren dan istrinya.
Apa tidak beda artinya? Bian bahkan menyematkan senyum, meski sangat tipis, memang Erica tidak memberi yang sama. Wanita itu membuang muka ke luar jendela di sisi kanan. Tidak lama Bian berlalu dari sana tanpa berkata apa-apa lagi. Mengangguk singkat sopan pada Ren yang sebenarnya menahan keinginan mengatupkan rahang. Tidak, tidak ada yang perlu membuatnya kesal. Ren menggeser tubuh ke hadapan Erica. Harus ingat tujuannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nouveau Départ
RomanceShe was a saint camellia before a sinful rose. She was a calm water before a burning fire. Ren Takahara bisa memiliki seluruh isi dunia di genggaman tangan, tetapi tidak dengan seorang wanita yang bersinggungan takdir secara tidak sengaja bersamanya...