Tranquil and surreal
You're whispering questionsWhat are you afraid of?
What are we grieving for?In a full of silence
Vaguely I too whispering
Life can be harrowing
Sometimes, I feel like I am losing
—Palembang, 25 Februari 2024
Clarence sedang menikmati salad dengan lembaran ham di atasnya sebagai breakfast di restoran hotel yang ia tempati selama di Palembang. Terlalu lama menginap di hotel sampai berminggu-minggu, Clarence mulai jenuh dengan menu-menu yang dihidangkan, meski diganti sekalipun. Dirinya juga mulai jengah dengan jamuan makan malam setelah mendekam di kantor kliennya. Setidaknya agenda minum yang disuguhkan membuat ia rileks sedikit.
Walau sambil ditatap dengan pandangan—kamu tahu terlalu banyak meminum minuman yang kamu tenggak saat ini tidak baik—oleh suaminya yang juga ikut ditugaskan di Palembang dan bergabung pada makan malam yang seharusnya tidak pria itu ikuti—hanya, Naresh terlalu dihormati mantan kliennya untuk diikutsertakan. Jadi, mereka tidak mengurusi klien yang sama. Clarence bukan lagi bawahannya—well technically, posisi Clarence memang di bawah Naresh dan ia dulunya berada di tim pria itu. Tapi sekarang, Clarence memiliki timnya sendiri. Pun, Mellisa Gunawan terlalu baik hati jika memberi mereka waktu berduaan selama ini. Bekerja.
Mellisa Gunawan hanya apes karena siapa lagi yang bisa diutus ke klien salah satu penyumbang invoice terbesar bagi perusahaan. Dua klien usaha raksasa sawit berbeda di Palembang. Naresh dan Clarence adalah pilihannya saat ini, sebab partner dan associate lain sudah diterbangkan ke tempat lain.
Dengan catatan, Clarence tahu ada campur tangan suaminya dalam menentukan klien yang mereka pegang.
Setidaknya, pria lurus itu sudah memiliki inisiatif untuk meminta hotel mereka disamakan. Meski sama atau beda bukan masalah sebab mereka kerja.
Ingat, kerja. Bukan liburan. Apalagi honeymoon.
Oleh karenanya, mereka tetap menempati kamar berbeda yang dihubungkan dengan connecting door.
"Aku rasanya melihat Ren Takahara di Marrakesh."
Perbincangan di meja sebelah sontak menarik atensi Clarence yang seharusnya fokus menikmati tomat cerry bersamaan me-review kerjaan.
"Siapa Ren Takahara?" tanggapan santai lawan bicara siapapun yang menempati meja tersebut.
Terdengar dentingan cangkir.
Clarence belum—tidak melirikkan mata. Duduknya masih dengan punggung lurus, tatapan seolah fokus.
"Kamu tidak tahu Ren Takahara?" kesiap tak habis pikir tertangkap. Clarence berdecih menghina dalam hati. Siapa pria itu sampai semua orang harus tahu dengannya? Tidak penting. "Oh, wajar jika dirimu tidak tahu." Clarence menaikkan sebelah alis. "Aku sadar tidak semua orang tahu dengannya."
Nada suara siapapun wanita itu jelas jumawa, tapi lawan bicaranya sungguh bagus sebab tak terdengar terpancing. "Hanya yang tahu-tahu saja." Suaranya kali ini berbisik. "Pria itu—maksudku keluarganya, sangat tertutup. Bahkan di kalangan elit." Oh, sudah pasti tuan puteri di sebelahnya adalah entah, anak pengusaha sawit Palembang yang mana. "Tapi dari keluargaku, aku jadi tahu tentang Takahara karena mereka memiliki kebun sawit di sini. Dan ya, tidak banyak yang tahu karena kepemilikannya melalui perantara—ups, aku merasa memberikan terlalu banyak informasi eksklusif. Tolong rahasiakan ya."
![](https://img.wattpad.com/cover/333545358-288-k741865.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Nouveau Départ
RomanceShe was a saint camellia before a sinful rose. She was a calm water before a burning fire. Ren Takahara bisa memiliki seluruh isi dunia di genggaman tangan, tetapi tidak dengan seorang wanita yang bersinggungan takdir secara tidak sengaja bersamanya...