"Buk, udah selesai masaknya? Bapak udah laper, nih." Keluh Darma yang menunggu istrinya di meja makan, yang sedang sibuk memasak di dapur."Sabar, Pak! Baru juga angkat ikannya!" Sahut Desi dari arah dapur. Tidak lama, wanita paruh baya itu muncul ke ruang makan seraya memegang piring dan mangkuk berisi ikan asin dan sambal. Ia meletakkannya ke atas meja.
Dinia tiba-tiba muncul mendekati dia orang tua itu, membuat Desi dan Darma spontan menyorotnya. Gadis itu duduk di kursi meja makan. Matanya sudah disuguhkan dengan sarapan pagi hari berlauk ikan asin, sambal, dan juga kerupuk.
"Kamu kalau nggak mau sarapan pake ikan asin, sarapan aja pake roti di sekolah sekalian, ya!" ujar Desi yang terlihat sibuk menyendokkan nasi ke piring Darma. Bukan tanpa sebab ia berkata seperti itu, karena memang akhir-akhir ini Gladys seringkali memilih-milih makanan, dan terkadang mengeluh kepada makanan.
"Iya, Din. Kamu kalo mau, sarapan aja di sekolah pake roti. Karena sarapan pagi ini cuman ikan asin. Usaha kios bapak lagi sepi sekarang, jadi kita hanya bisa makan apa adanya." Timpal Darma.
Dinia menghela napas pelan, seraya tersenyum tipis. "Nggak pa-pa Dinia sarapan di rumah aja. Dinia mau kok makan ikan asin."
"Beneran? Bukannya kemarin kamu bilang mau muntah-muntah karena makan ikan asin?" Tanya Desi.
"Beneran, Bu. Gladys mau makan ikan asin."
Meski sedikit terheran dengan perubahan sikap anaknya yang begitu cepat, Desi lantas mulai menyendokkan nasi dan ikan ke piring Gladys. Lalu menyodorkannya pada gadis itu. "Makan kasih abis."
"Siap, Bu!"
Di sela-sela suapannya, Dinia kembali teringat mimpinya semalam. Suara itu terngiang di kepalanya, "Kalau kalian melakukan semua itu, kalian akan lebih cepat kembali ke raga kalian yang asli,"
Berarti, kalau gue buat kebaikan banyak-banyak pasti bakal lebih cepet, dong gue kembali ke raga gue. Batin Dinia, tidak lama ia menyoroti Desi dan Darma yang sibuk dengan kegiatan melahap mereka. Kayaknya ... gue harus minta maaf, deh ke dua orang tua ini. Kan gue udah banyak salah sama mereka, dan minta maaf itu termasuk perbuatan baik juga 'kan? Lanjutnya membantin.
Tanpa di duga, Dinia tiba-tiba saja berjalan menghampiri Desi, mengambil tangan wanita itu lalu menempelkan pada keningnya seraya menangis. Ia berlutut di depan wanita paruh baya itu, membuat Desi mengernyit heran.
“Huhuuu, Buu! Maafin Dinia, ya, Bu! Karena selama ini udah banyak salah, Dinia minta maaf, Dinia mohon ampun, Bu!!!" Isak Dinia, entah tangisannya serius atau hanya dibuat-buat.
"Eh, Din! Kamu kenapa loh, Nak? I-iya, Ibu maafin kamu. Udah, ah, jangan nangis gini."
"Tapi Dinia merasa bersalah banget sama Ibuuu! Maafkan Dinia, Bu!"
Desi langsung mengelus pundak putrinya itu, "Iya, Ibu maafin kamu. Udah bangun, jangan nangis lagi."
Dinia pun bangun, lalu ia beralih mendekati Darma, melakukan hal yang sama dengan apa yang ia lakukan barusan pada Desi.
"Bapak ... maafin Dinia! Dinia udah banyak salah sama Bapak, tolong maafin Dinia ya!"
"I-iya, Nak. Bapak udah maafin kamu,"
"Dinia mohon ampun, Pak! Dinia udah banyak salah sama Bapak dan Ibu, ampun, Dinia mohon ampun!" Isakan Dinia semakin kencang, kalah-kalah orang sungkeman di pernikahan.
Desi dan Darma saling tatap sejenak, mereka jadi geleng-geleng sendiri melihat tingkah Dinia.
"Udah, Din. Bapak sama Ibu udah maafin kamu 'kok, sekarang kamu bangun, yah!" ujar Desi.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M NOT GLADYS ||Transmigrasi
FantasiRadhinia Atma Mahaputri, gadis dengan sifat bobrok, sedikit tomboy, dan bar-bar itu, semula mengalami insiden tabrakan mobil ketika ia dalam perjalanan menuju sekolah. Sehingga menyebabkan jiwanya mesti terjebak dalam raga seorang gadis asing bernam...