“Tetap saja Fan, dia ayah biologis Azka. Aku cuma...” ucapnya menggantung tertunduk.
“Itu sadar diri Kamu.”
“Ngapain lagi sih Kamu ini? Pergi sana, jangan kembali!.”
Sama sekali bentakan Fanya cuma dianggap angin berlalu malah mungkin dianggapnya seperti angin sepoi-sepoi yang menyejukkan.
“Maksud Kamu apa? Hah? Jangan lagak ya Kamu! Kamu, yang menghancurkan hidup Fanya!.”
“Heh, ucapan Kamu barusan menyadarkanku. Tak akan Aku biarkan Fanya jatuh lagi ke lubang yang sama.”
“Kamu nantangin? Hayuk! Ingat ya, Aku di sini lebih unggul. Ada Azka di antara Kita!.”
“Sebelum Kamu datang, Aku sudah lebih dulu menganggap Azka buah hatiku sendiri. Sejak Azka masih kecil di dalam perut Fanya!.”
“Heh! Jangan kira setelah kejadian itu Aku lepas tangan di dalam penjara!. Uangku banyak! Aku baru muncul biar tidak ada apa-apa dengan kandungan Fanya!.”
Fanya jadi bingung sendiri dua pria di depannya malah saling meninggikan dirinya sendiri dengan tangan saling mencengkeram kerah baju.
“Kok jadi kayak mas Aris dulu.”
Seketika Fanya ilfil ditinggalkan keduanya masuk ke dalam rumah “pulang saja Kalian semua!.”
“Bim, nanti telfon yah!,” teriak Fanya lagi sebelum menutup dan mengunci pintu.
Bima membulatkan kedua jari mengerti maksud teman kuliahnya dulu lebih baik pintu segera dikunci sebelum pria itu kembali masuk rumah, dia tidak rela meski ada anaknya lelaki tersebut di dalam sana. Azka sudah dianggap putranya sendiri sedari dulu sebelum lahir.
Sering juga Bima mentransfer uang untuk kebutuhan si calon buah hati.
Bahkan perlengkapan Azka setelah lahir melarang mantan mertua menyiapkan, itu sudah menjadi kewajibannya sebagai calon bapak.
“Salsa, tutup pintu belakang! Faiz, mas Aris, dek Dara jendela! Eh mbak maksudnya,” perintah Fanya melengking disertai tawa, akhirnya seharian bisa terbebas.
Semua saudaranya berlari menuju tugasnya masing-masing hanya tersisakan pak Hamdi yang masih menggendong cucu dibuatnya ikutan panik menoleh kanan kiri, apa pula yang dilakukan anak menantunya?.
“Loh?,” Bapaknya Azka tengak tengok bingung, kok? Dikunci dari dalam terus mereka masih bisa komunikasian. Lah, dianya? Merasa disisihkan bisa dibilang ditend*ang. Dibuang begitu saja. Nasib.
Bima bangga dengan yang diperbuat mantan istrinya meski terkesan lucu, puas sekali lebih dipilih Fanya dari pada dia.
“Fan, kunciku di dalam rumah. Di meja ruang tamu!.”
“Jangan modus Kamu! Itu, di tanganmu apa? Pergi, jangan kembali! Enyah!.”
Sebelum pergi Bima tersenyum memberikan jempol menertawakan kelinglungan saingannya apalagi ia mendapatkan lambaian serta senyuman lagi.
“Fan, tirainya jangan ditutup! Itu Azka waktunya ganti pampers! Fan, Fanya...!.”
“Sudahlah percuma, puas sekali mengu*sirku tenggorokanku sampai sakit. Lebih baik ke Cilacap saja lihat lahan. Biar Fanya bisa seharian tidak lihat wajahku, mungkin dia lagi bosen.”
Akhirnya dia sadar diri mengalah pergi demi kebahagiaan wanitanya, sama sekali tidak ada rasa sakit hati. Semua perlakuan Fanya terlihat indah di kelopak matanya.
“Kalian ini, suka benar mengerjai orang!.”
"Ayah juga suka kan? Ayah jangan bohong?,” todong bu Fani tertawa lega, akhirnya pria pengganggu itu untuk hari ini tidak mengganggu rumahnya.
“Iya, plong untuk sesaat. Bagaimana, kalau Kamu nikah saja sama dia, Fan? Gak bagus dia ke sini terus, tidak ada hubungan. Dia akan terus ke sini karena ada Azka.”
“Gak mau Yah. Fanya cintanya sama Bima. Ben*ci banget sama dia.”
Seperti memutar kembali kejadian dulu tapi kali ini pak Hamdi yang dibuatnya pusing dengan tingkah dua pemuda berbeda generasi saling merebutkan hati anaknya.
“Apa Kita nikahkan saja Fanya sama Rafel?.”
“Farel Yah... Tapi, Bima gimana? Kasihan dia, sudah menunggu Fanya dari dulu. Apalagi, Bima sepertinya menyayangi Azka. Malah sejak dari dalam kandungan.”
“Tapi Buk, kalau sama Bima... Ayah gak yakin Rafel itu...”
“Farel Ayah...”
“Iya, Farel berhenti main ke sini. Kan, ada Azka anak kandungnya. Tidak baik Bu... Apalagi tahu latar belakang siapa itu namanya lagi. Azka satu-satunya cucu di keluarganya, kalau cinta Fa...”
“Rel.”
“Cuma anak Kita, bagaimana?.”
“Tapi, tetap kasihan Bima. Kalau menurut pendapatnya bapaknya Fanya gimana?.”
“Mas Darmawan angkat tangan, malas mikir. Sudah capek dulu mikir kelakuannya Aris. Apalagi, beliau malas kalau bahas masalah Rafel itu.”
“Buk.”
“Hem.”
Salsa menyusul kedua orang tuanya ke dalam kamar ada sesuatu yang ingin ia sampaikan dan mulai ikut berbaring mendusel meme*luk tubuh sang ayah dari samping.
“Buk, Salsa mau titip Caca. Rencananya nanti Salsa sama Faiz mau keluar sebentar makan malam di luar, agak lama sih mungkin pulang agak malaman.”
Tangan pak Hamdi mengusap sayang rambut putrinya yang kini sudah dewasa sudah menjadi seorang ibu.
“Iya, jangan khawatirin Caca ada Ibu. Kamu telefon Faiz sana, Caca aman ada Ibu!.”
Dia bangun dari tidurnya semangat karena mendapat lampu hijau dari orang tua diberi kesempatan jalan berdua hanya berdua dengan Faiz, seperti rencananya kemarin.
“Makasih, Bu.”
Direngkuh tubuh ibu sambungnya yang masih membentangkan baju dinas pak Hamdi lantas menge*cup pipi orang tuanya bergantian sebagai ucapan terima kasih telah sudi merawat sementara putri kecilnya.
Aris yang melintas mengerutkan kening mendapati adiknya keluar kamar senyum-senyum tidak jelas memainkan gawai menuju ruang tamu.
Jiwa keponya keluar, apa yang sudah ibunya kasih sampai adik perempuannya sebahagia itu.
“Buk, Salsa kenapa? Senyum-senyum begitu.”
“Kamu ini, adikmu sudah menikah masih saja pengen tahu. Rahasia. Nanti sore Kamu akan tahu sendiri.”
Diban*ting tubuh ke kasur tempat Salsa tadi berbaring lalu mengambil bantal yang tersusun rapi untuk dijadikan guling.
Menatap kosong genting cukup lama sebelum ikut menutup mata yang mulai berat tapi kantuknya buyar kala mendengar pergerakan kasur di sebelah kaki yang menggantung.
“Bu, Salsa kenapa?.”
“Sama saja!.”
Bu Fani tertawa geli melihat kelakuan kedua putra putri beliau yang terlalu penasaran dengan adik bungsu mereka.
“Kepo!,” sentak Aris sebelum memu*kulkan bantal yang ada di tangan tepat di wajah Fanya.
“Ris,” tegur pak Hamdi terbangun mendengar kebisingan keduanya, tidur beliau terganggu ketiga anaknya bergantian membuat keributan.
“Mas Aris tahu?,” tanya Fanya seraya membetulkan jilbab yang berantakan akibat ulah abang lelakinya.
“Ya tau lah! Ya kan, Bu? Kamu masih kecil gak perlu tahu!.”
“His, tinggal bilang saja apa susahnya sih!,” gerutu Fanya sebal, orang penasaran masih saja digoda.
“Rahasia.”
Dicubit paha Aris yang hendak memu*kul lagi Fanya dengan bantal yang sama.
“Kamu ini, adikmu itu habis operasi!.”
“Aduh. Iya, ampun!,” pekik Aris tertawa kaget dapat cubi*tan kecil dari ibu tercinta.
Setelah terlepas, Aris keluar kamar masih tertawa melihat ekspresi Fanya yang masih penasaran. Tidak tahu saja ia sebenarnya juga tidak tahu dan sama penasaran.
Aris mengikuti Fanya yang sedang berjalan menuju kamar depan, ternyata di sana sudah ada istrinya berbaring berdua dengan wajah penuh dengan masker berwarna silver.
Seperti biasa saat berkunjung ke sini putrinya sudah jarang sekali berada di dekatnya, pak Hamdi mengajak Caca pergi ke rumah orang tua beliau yang rumahnya tidak lah jauh.
Sedangkan, Azka putra Fanya masih terlelap di depan televisi setelah tadi ditidurkan Fanya lagi diberi Asi.
“Sa, kok Mbak gak diajak sih? Mbak kan juga mau.”
Tidak dijawab, tangan adiknya hanya menunjuk masker dan mentimun yang tergeletak di nakas kecil samping mereka berbaring.
Aris yang awalnya hanya mengamati Fanya sibuk menutupi wajah ikut penasaran sebelum mendesak tubuh istrinya yang sudah ada di pinggir paling pinggir agar bergeser ikut berbaring, bergeserlah mereka semua sampai adik di bawahnya mentok di dinding.
Pak Hamdi yang baru pulang mendapati rumah terlihat sepi mampring, tidak didapati keberadaan semua anak beliau. Entah ke mana mereka semua?.
Bukankah tadi semua putra putri beliau sudah berkumpul di rumah hanya menyisakan Faiz yang sudah kembali ke kafe? Kenapa rumah ini masih terasa lodang? Begitulah mungkin monolog beliau di dalam hati sembari menatap cucu di gendongan.
Tidak mungkin beliau bermimpi atau mengigau, ini buktinya. Bayi mungil yang tersenyum ke arahnya menyejukkan hati yang bertanya-tanya.
Biasanya kalau sedang kumpul begini, setiap sudut ada penghuninya. Kalau tidak, akan terlihat jelas penghuni rumah berkumpul menjadi satu di suatu tempat, tapi ini? Tidak tampak sama sekali.
Hanya ada dua, istri dan cucu kedua beliau. Terlihat di sana, bu Fani meme*luk cucu laki-laki mereka yang anteng tertidur lelap di pe*lukan sang nenek.
Berhubung beliau datang dari arah belakang membukai satu persatu kamar yang berjejer mulai dari kamar pak Hamdi sendiri terus Aris lalu Fanya.
Masih saja tidak didapati semua putra putri beliau, tersisakan kamar paling depan dengan tangan yang masih setia menggendong cucu pertama dibuka tirai yang tertutup menghalangi pandangan isi kamar.
“Astagfirullahaladzim!.”
Kompaklah mereka membuka timun yang ada di mata sebelum menutup kembali. Mati-matian menahan tawa agar masker tidak pecah.
Bu Fani yang kaget lantas mendongak melihat apa yang terjadi ternyata suaminya sudah pulang, penasaran mendekat apa yang sebenarnya terjadi di kamar itu.
“Ya Allah, tinggal goreng,” pekik beliau mendapati keempat anaknya tidur lurus berdesakan dengan muka cemong-cemong.
Pecahlah masker yang sudah dipertahankan mendengar seloroh ibu mereka.
“Ah, Ibu ini. Pecahkan,” komplain Fanya di tengah-tengah tawanya yang melengking.
“Yah, gagal jadi ganteng.”
***
“Tok tok tok tok.”
“Biar mas Aris saja yang buka,” cegah Aris melihat istrinya yang sedang menyuapi keponakan hendak bangkit.
“Iya, sebentar!.”
Dia bangkit tergesa sedikit berlari ke ruang tamu, setelah mendapati tamu di ruang tamu. Muka yang ceria berubah menekuk.
“Wo, bocah! Ngerjain,” sengatnya, ternyata si ipar lak*nat.
Ditinggal ipar yang cengengesan tidak peduli tapi baru saja kaki hendak diangkat iparnya mengetuk pintu.
Aris kesabarannya setipis tisu yang terbelah tiga langsung menghampiri hendak memakan bulat-bulat kepala ipar yang tidak hentinya mengerjai.
Dikepal kepala Faiz igit-igit sudah tahu kakaknya emosinya gampang terpancing masih saja menggoda.
“Masuk, tinggal masuk! Kenapa pakai acara ketuk pintu? Lupa, caranya masuk? Ini gini, kaki melangkah. Ini kaki, kaki ini kaki yang bergerak bukan tangan. Ok, paham? Silahkan masuk, tuan Faiz!,” cicitnya sembari mempraktikkan cara masuk rumah yang benar dengan raut muka geregetan menahan emosi.
“Terima kasih.”
Akhirnya si pengacau masuk juga tapi hendak memutar tubuh kepala Aris mengeluarkan asap lagi, sekali lagi ipar mengetuk pintu.
“Tok tok tok.”
“Apa lagi, Faiz..,?.”
“Tamunya gak disuruh duduk?.”
“Terserah!.”
“Terima kasih, Oh iya belum jabat tangan.”
Diraih tangan lelaki di depannya untuk diletakkan ke dahi, Aris dibuatnya semakin khawatir. Ada apa dengan iparnya ini?.
Dara dan juga Fanya yang sudah berpindah tempat di kursi ruang tamu tidak hentinya tertawa ngiklik melihat tingkah keduanya.
“Sa, bojomu Sa!.”
Faiz yang mendengar iparnya mengadu tersenyum menahan tawa sebelum mata pindah ke depan menyapa kedua ipar perempuan.
Mengangguk ramah ke arah Dara dan “Fan,” sapa Faiz kemudian.
Terdiam, tawa mereka sudah tidak terdengar. Benar-benar iparnya geser.
Mata Aris baru menyadari sejak tadi ipar menyembunyikan tangan di belakang punggung, seperti memegang sesuatu entah apa itu.
“Apa itu, Iz? Buat Mas?.”
Intip Aris berusaha mengintip benda yang ada di belakang punggung tapi dengan cekatan Faiz menggeser sedikit tubuh, hanya sedikit agar kedua ipar di depannya yang juga dibuat penasaran tidak bisa menilik.
“Gak! Buat adiknya mas Aris, Salsa!.”
Masih saja ketiga orang itu berusaha mengintip meski kedua tangan menutupi.
“Mas, rusak nanti! Jauh-jauh!.”
“Papa, Papa,” celoteh Caca membuyarkan ketegangan mereka berempat.
“Eits, Caca jangan ikut Papa dulu! Sama Bude saja.”
Mendengar kata bude, wajah Dara langsung ditekuk dia tidak setua itu dan dibalas dengan cengengesan Faiz. Jail banget.
“Faiz? Kamu sudah datang? Dari tadi?.”
Ketiga kakaknya dibuatnya terbengong, ternyata bukan iparnya saja yang geser tapi adiknya pula.
“Kalian ini kenapa sih? Kesambet?,” tanya bariton Aris yang sudah emosi tingkat full.
Ditempelkan punggung telapak tangan ke dahi adik perempuan, tidak panas “wah, perlu diruqyah.”
Itu belum seberapa sampai Faiz berdiri lantas berlutut di depan Salsa memberikan sebuket bunga yang dibelinya tadi di jalan.
Bukan Salsa yang salah tingkah melainkan ketiga kakaknyalah yang dibuatnya salting panik sendiri.
Dara langsung memalingkan wajah malu padahal bukan dia yang diberi. Entah, jika ia yang diperlakukan demikian oleh suaminya bisa-bisa pingsan di tempat.
Dan, kedua kakaknya Salsa yang lain lebih parah. Fanya seketika berdiri kehilangan arah mau ke mana semua tertutup.
Ke kanan ada ipar, ke kiri jalan buntu tidak tampak ada jalan kecil yang masih bisa dilewati. Apalagi depan, mentok kaki bersentuhan meja.
Aris yang malu membalikkan badan pura-pura tidak melihat meraba-raba dinding tidak jelas.
Sedangkan, si Salsa sendiri bukannya kaget atau pun terharu justru bingung mau diapakan bunga ini.
“Kenapa? Kurang besar bunganya?.”
“Gak bisa dimakan.”
“Oh, tunggu! Ini coklat buat Kamu. Bunganya dikasihkan bapak saja,” kata Faiz berdiri seraya mengeluarkan coklat batang yang diselipkan di saku kemejanya.
“Eh, Bambang! Bapak kamu kasih bunga buat apa? Dimakan?.”
“Buat ibu.”
Direbut bunga yang sudah berpindah tempat di tangan adiknya untuk memberi contoh lagi ke ipar cara memberikan bunga ke ibu mereka dengan benar.
“Kalau Kamu mau mengasih ibu bunga kenapa harus lewat Salsa, bapak? Nih, tinggal Kamu kasih ke ibu! Ini bunga buat i,” belum juga selesai mengajari ipar dengan cara dan gerakan yang benar adiknya tidak sopan memotong penjelasan yang sedang ia paparkan.
“Sudah, ayo masuk jangan dengarkan mas Aris!.”
“Bunganya buat mas Aris saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pengganti END ✅
Ficção AdolescenteSalsabila, gadis berwajah ayu harus menggantikan kakak tirinya dijodohkan dengan pria pilihan orang tua. Dan tanpa diduga lelaki yang akan dijodohkan dengannya tak lain tidak bukan adalah sahabat karibnya sendiri. Akankah keduanya menerima perjodoha...