Pikiran Kalut Faiz

164 3 0
                                    

Farel mendapat kabar langsung terbang dari Singapura menuju rumah sakit padahal ia sedang menemui klien terpaksa berpamitan terlebih dulu, pikirannya buntu bayangan putra dan wanitanya terus mengelilingi isi kepala.

Berbeda dengan yang lain ia dibolehkan masuk kebetulan dokter yang menangani sahabat karibnya waktu SD.

Dilihat sekilas kondisi Salsa sebelum melanjutkan langkah di mana Fanya sedang diberi pertolongan.

Hatinya perih berjalan mundur mencari pegangan tiba-tiba kaki tidak kuat menyangga tubuh melihat wanita yang ia kasihi sepeti ini, amarah lantas memuncak tidak terima.

“Duduk dulu!.”

“Bagaimana keadaannya?,” tanya Farel menatap pilu Fanya.

“Untuk saat ini masih kritis, beruntung mereka cepat memberikan pertolongan pertama dan segera dilarikan ke sini.”

Saat Bima turun dari TAXI mendapati Farel keluar dari UGD lantas ia berlari mendekat menanyakan kabar kekasihnya.

“Bagaimana keadaan Fanya?,” tanyanya dengan muka penuh kekhawatiran.

“Ada di dalam.”

“Azka, Azka mana?,” tanyanya lagi celingukan mencari kanan kiri.

“Azka baik-baik saja, di rumah bersama Dara.”

Bima mengangguk lega, meski hati belum tenang di sana wanitanya sedang berjuang untuk bisa tetap bersamanya.

Tatapan mata itu mengartikan mantan istri dalam keadaan tidak baik-baik saja, terlihat jelas amarah sedang menguasai.

“Kamu jaga Fanya, Aku urus mereka!,” perintahnya tanpa ekspresi.

Pria itu berjalan cepat sembari tangan melonggarkan dasi yang sudah longgar, benar-benar hati terasa sesak panas.

Tidak bisa didiamkan berani menyentuh wanita yang dicintai berarti dia berani menantangnya. Tidak akan dibiarkan orang itu hidup tenang.

Farel ditemani Fakhri dan juga Ilham kembali ke kantor polisi untuk mengurus semua.

Setelah mereka bertiga bertemu mantan pegawai Faiz langsung dicengke*ram kerah narapidana tersebut.

“Beraninya Kamu menyakiti Fanya!,” cengkeram Farel mengangkat tinggi-tinggi orang yang telah membuat wanitanya kritis.

Matanya memerah menyorotkan kebencian yang amat membuat musuhnya ketakutan kelabakan berusaha melepaskan diri.

Mereka tidak ada yang berani mencegah amarah Farel terhadap lelaki malang tersebut.

“Berhenti! Tidak payah melakukan itu semua, hidup Mereka sudah hancur!.”

Semua menoleh ke belakang mendengar pemuda berpakaian rapi berjalan mendekat.

“Kak... Rama?,” gumam Fakhri tidak percaya.

“Nak Rama bicara apa? Kamu tenang saja, Nak. Rama sebentar lagi membebaskan Kamu.”

Keterkejutan Fakhri tidak sampai di situ istri yang tadi ditinggalkan di rumah sakit ikut muncul di belakang mereka.

“Halo Tante, bagaimana kabarnya?,” sapa ramah tersenyum palsu.

Wanita paruh baya satu-satunya menautkan alis saat Mahya menci*um telapak tangan.

“Masak lupa sama keponakan sendiri? Oh, ini putra Tante yang dulu mene*ndang punggungku? Aduh maaf ya, Aku balasnya terlalu berlebihan,” ucap Mahya memelas seakan menyesali perbuatannya.

“Tapi, kayaknya Aku gak bisa janji deh... Cukup itu pemba*lasan Kita, harus lebih dong...” Lanjutnya seraya mengait lengan si kakak kandung.

Mereka semua belum paham apa yang sebenarnya terjadi, apa calon menantu mereka mendua?.

“Ngapain Kamu menyentuh tunanganku? Lepas!.”

“Dasar perem...!,” makinya terpotong.

“Kamu... Anaknya mas Haris?.”

Mahya mengangguk tersenyum kecut membenarkan “Kita,” jawabnya miris.

Dibu*ang dan diten*dang dari rumah peninggalan almarhum orang tua mereka.

“Tidak, tidak mungkin. Yank, ini semua tidak benarkan? Ini wanita cuma asal ngomong kan?.”

“Kalian ini sampai segitunya tidak menganggap Kami keluarga, Saya memakai nama asli saja tidak Kalian kenali? Parah.”

“Atau mungkin, memang Kalian tidak mau tahu siapa nama keponakan Kalian?.”

Kakak kandung Mahya sudah tidak bisa lagi berpura-pura di hadapan mereka semua.

Emosi yang lama dipendam sejak kecil akhirnya ia keluarkan semua di depan keluarga ayahnya.

“Tidak, tidak mungkin.”

Satu-satunya wanita paruh baya yang diperkirakan adik dari ayahnya baru menyadari niat keponakan mendekati keluarganya.

“Yank, Kamu ngomong apa sih?.”

“Oh, ya. Kamu sudah tahukan siapa Saya? Jadi, tidak mungkin Kita meneruskan pernikahan ini.”

“Tidak, tidak mungkin. Aku mencintaimu, Yank! Kamu pasti cuma bercanda.”

Dido*rong tubuh Mahya agar menjauh dari lelakinya.

“Kembalikan sertifikat rumahku!.”

Rama menggeleng santai emosinya kembali turun puas melihat tantenya emosi keset*anan.

“Saya cuma mau mengambil milik orang tua Saya. Mulai hari ini Tante tidak payah lagi datang ke rumah! Pergilah, seperti Kalian datang tanpa membawa barang apa pun!.”

“Untuk perusahaan Papa yang bangkrut tenang saja, Saya maafkan. Susah ya Tante, menjual perusahaan milik Papa itu? Kasihan.”

“Kembalikan semua milikku!.”

Putrinya menggeleng lemah, tidak mungkin ia kembali miskin kehilangan semua hartanya kehilangan orang yang dicintai.

“Lebih baik, Kamu terima saja niat baik ayah dari janin yang Kamu kandung.”

“A Aku, Aku. Kamu ngomong apa? Tanggung jawab apa?.”
Panik? Iya, perempuan itu panik kehamilannya diketahui kekasihnya. Tidak, ia tidak mau kehilangan lelaki idamannya tersebut.

Dia ingin memiliki suami pengacara, ia sadar dia salah. Selama ini sudah mendua dengan beberapa pria.

Senyum, hanya senyum. Dia tidak butuh senyum itu ia hanya membutuhkan kepercayaan kekasihnya lagi. Tidak mau berpisah kehilangan lelaki berparas tampan tersebut.

Kapan lagi ada pria tampan, keren, pekerjaan menjanjikan mau dengannya. Dia tidak rela kehilangan kakak dari Mahya apa pun yang terjadi.

Tidak dihiraukan keluarga dari ayahnya terus mengumpat ingin meraih tubuhnya dan adiknya ingin melukai meminta kembali harta yang selama ini sudah diram*pas tapi aksinya ditahan oleh beberapa polisi.

Digandeng adiknya keluar dari kantor polisi, misinya untuk menyelamatkan harta almarhum orang tua mereka sudah selesai kini ia bisa bebas kembali bersama keluarganya yang tersisa.

“Yank, tunggu! Aku gak mau Kita..,” ucapnya tergantung lengan keburu ditahan ibunya saat hendak mengejar, dia masih tidak rela kehilangan tunangannya.

“Mau apa lagi Kamu? Masih berharap sama lelaki itu? Tidak dengar dengan apa yang mereka katakan barusan?.”

Kepergiannya diikuti ipar dan Farel dan beberapa orang suruhan Adi, semua sudah selesai sudah bisa membubarkan diri.

“Terima kasih Bang, bantuannya,” pamit Fakhri dan semua ke Ilham yang masih mengurus berkas sebelum kembali ke rumah sakit.

Sesampai di rumah sakit keduanya sudah tidak ada lagi di ruang UGD begitu pula dengan keluarga yang lain, entah dipindahkan di lantai berapa mereka.

Mahya menelepon mertua untuk mengetahui posisi iparnya sekarang setelah mendapatkan kamar rawat keduanya lantas diajak para lelaki untuk mengikuti menuju lift.

Farel berjalan cepat sendiri ke tempat Fanya dirawat, semoga ibu dari putranya sudah sadarkan diri.

“Bagaimana keadaan Fanya? Sudah sadar?.”

Bima menoleh tidak langsung menjawab mematikan sambungan video call di tangan yang terpampang wajah putra mereka.

“Belum.”

Di lain tempat, untuk pertama kali di waktu yang lama terakhir saat lebaran Rama bertemu kembali dengan keluarga suami dari adiknya.

Pak Wisnu dan keluarga menyambut baik kakak lelaki menantu mereka. Sama seperti halnya Fanya, Salsa belum juga sadarkan diri.

Putri Faiz dirawat di ruang yang sama bersama istrinya, kondisi sudah mulai membaik hanya kadang masih menangis kesakitan menahan perih di luka yang menganga. Tidak mau lepas dari ayahnya, bahkan kakeknya sendiri ditolak.

Kadang minta didekatkan Salsa yang masih terbaring lemah tidak kunjung membuka mata cuma ingin menyentuh dan bermain di sampingnya saja.

Dengan telaten Faiz mengurus si buah hati yang tidak seperti biasanya lebih banyak rewelnya, mungkin entah karena rasa sakit yang dirasai di tubuh kecilnya atau tahu ibu yang mengandung sedang tidak baik-baik saja.

“Iya, Ca... Mama masih sakit. Nanti ya, gendong Mama? Ini sudah digendong Papa.”

“Mama ma, Mama.”

Faiz kualahan putrinya menangis ingin tidur tapi tidak bisa meminta ibunya bangun minta gendong dengan muka muram bingung pikiran kalut.

Semua kakek neneknya ikut membujuk tapi tidak ada yang berhasil justru semakin histeris memeluk Faiz dan terus menunjuk Salsa yang tetap enggan membuka mata tidak peduli.

Meski putrinya terus memberontak tidak mau diajak keluar ruangan tetap saja Faiz dengan kesusahan membawa keluar siapa tahu di luar anaknya bisa tenang melupakan sesaat Salsa.

Bima yang melihat lantas mendekat begitu pula ibu-ibu yang menatap pilu.

“Ya Allah, Nak... Ikut Ibu, yuk! Lihat kupu-kupu!.”

“Mama, mama, mama!.”

Bu Fani tidak kuat melihat tangisan cucu menerima tawaran bapak-bapak untuk memegangi infus.

“Tatit tatit, Mama!.”

“Jangan dilepas, Sayang! Ikut Oma, yuk... Di sana ada baby shark,” bujuk bu Rumi ke cucunya.

“Caca ikut Om, Ayuk!.”

Tidak ada yang berhasil mengambil alih perhatian balita tersebut tetap saja mencari mamanya.

“Mama!.”

Entah lelah menangis atau bagaimana setelah dibujuk Bima akhirnya tangisannya reda meski masih mencari Salsa, mamanya.

Sesekali mengucek mata yang memerah menyandarkan kepala di pundak sang mantan om.

Faiz mengalah mengambil alih lagi gendongan mengajak kembali masuk ke dalam ruangan untuk mempertemukan keduanya lagi.

“Bubuk sama Mama?.”

Balita mengangguk dengan tangan menggosok-gosok mata yang mulai terasa berat.

Dibaringkan Caca di samping tubuh sahabatnya yang masih tertidur pulas, tangan mungil tersebut mulai memelintir baju ibunya hingga benar-benar terlelap.

Faiz menatap sedih kedua wanita yang ia kasihi mengusap kasar air mata yang tidak terasa menetes teringat kejadian tahun silam saat Salsa terbaring koma karena ulahnya. Kenapa ini terulang kembali?.

“Sa, bangun! Kasihan Caca, kangen Kamu.”

Pak Wisnu mengelus pundak putranya memahami apa yang dirasakan Faiz.

“Iz, sebaiknya Kamu istirahat! Caca sudah tidur, biar Papa jaga mereka.”

Putranya mengangguk menyerahkan sementara istri dan buah hati ke orang tuanya selagi ia istirahat sebentar sebelum putrinya kembali bangun.

Bu Fani mengelus rambut menantu yang berbaring di sofa mulai menutup mata dengan tangan bersedekap sebelum pamit pergi melihat putrinya yang lain.

“Mbak, Saya tinggal sebentar melihat Fanya.”

Di dalam sana sudah ada pak Darmawan sendirian memijat kaki Fanya dengan tangan rentannya, Bima dan Farel lebih memilih menunggu di luar ruangan memberi ruang ayah dan anak tersebut.

Sedangkan, putri kecilnya dijemput diajak Abah ke rumah beliau. Kasihan Dara yang belum berpengalaman mengurus sendiri bayi menangis belum terbiasa minum susu formula.

“Mas, Sampean istirahat saja! Fanya biar Saya tunggu.”

“Caca di mana? Masih menangis?.”

Beliau tadi sempat mendengar tangis cucu kesayangan tapi hendak melihat tidak tega meninggalkan putrinya meski hanya sebentar.

“Caca sudah tidur sama Faiz tadi.”

Beliau menghembuskan nafas kasarnya, sama sekali tidak ada raut lain selain kesedihan dan prihatin melihat kondisi putri dan cucunya yang lain ditinggal sendirian masih sangat membutuhkan asi.

“Salsa belum sadar?,” Tanya beliau pelan tanpa ekspresi.

Bu Fani menggeleng menggantikan posisi beliau duduk samping putrinya sedangkan pak Darmawan seperti halnya Faiz membaringkan tubuh lelahnya di kursi panjang.

Dibenarkan posisi lengan anak perempuan beliau dan juga selimut, penutup kepala yang dulu selalu menutupi kini sudah tidak tampak.

Oleh karena itu, para pria lebih memilih menunggu di luar. Tidak enak rasanya jika mereka belum memiliki sudah melihat aurat wanita yang dicintai.

Orang tua Farel yang mendengar kabar baru tiba karena masih ada urusan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan maupun ditunda.

Kedatangan beliau berbarengan dengan datangnya ibunya Bima, mantan ayah mertua Fanya tidak bisa menemani istri karena tugas mengajar sama sekali tidak bisa ditinggal.

“Lo, Ma? Mama sama siapa? Papa mana?,” tanya Bima terkejut mendapati ibunya datang bersama orang tua Farel dan tidak didapati keberadaan ayahnya.

Beliau tersenyum menanggapi kecemasan putranya yang berlebih menggandeng putranya untuk duduk kembali sesudah mengangguk tersenyum mempersilahkan orang tua Farel masuk lebih dulu.

“Papa ada jam tidak bisa ditinggal, tadi Mama minta antar pak Tohir.”

“Terus, pak Tohirnya mana?.”

“Langsung pulang, kan harus cari pelanggan lagi.”

Sesudah mengintip calon menantu yang masih terbaring dan mengobrol sebentar menanyai semua yang berkaitan dengan yang dialami ibu dari cucu mereka beliau berniat ingin menjenguk pula saudara perempuan calon menantu yang sama dirawat di rumah sakit ini.

Pak Hamdi baru datang dari ruang perawat mempersilahkan masuk ibunya Farel untuk melihat kondisi putri beliau.

Sedangkan, suami lebih memilih mengobrol di luar bersama para bapak-bapak yang menjaga.

Orang tua Farel meminta izin merawat sementara cucu mereka selama calon menantu masih dirawat di rumah sakit.

Bu Fani pun mengizinkan, beliau juga nenek dan kakek cucunya tidak ada salahnya jika mereka membantu menjaga.

Farel mengantar kedua orang tuanya ke kediaman abah untuk menjemput si buah hati setelah mendapat alamat dari Bima, lawan saing dalam misi saling merebutkan hati Fanya.

“Tolong, jaga Fanya! Biar Azka Aku yang rawat nanti malam Aku ke sini lagi.”

Menyampingkan sementara rasa ego ingin memiliki Fanya dan juga putra mereka.

Bekerja sama untuk sementara menjaga melindungi kedua belahan hati mereka di tempat yang berbeda.

Jodoh Pengganti END ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang