“Darah?.”
“Darah apa ini, Pa?.”
Kedua orang tua Farel panik mendapati sofa ruang tamu terdapat adanya bercak darah yang mengering seketika pikiran mereka melalang buana.
Tidak cuma di sofa masih ada tetesan darah menuju kamar anak tunggal mereka, berlarilah beliau-beliau mencari keberadaan putranya khawatir.
Saat pintu kamar terbuka keterkejutan beliau semakin menjadi, bagaimana bisa menantu mereka yang telah tiada kembali?.
“Farah?.”
“Papa, Mama?.”
Terloncat kaget Farel saat menyadari ia tidur bersama seorang wanita dan wanita itu “Farah?.”
Dipu*kul-pu*kul kepalanya untuk mengingat kejadian semalam “tidak, tidak, ini tidak mungkin.”
Fanya terbangun setelah mendengar kebisingan di sekelilingnya, kepala yang masih terasa berdenyut diajaknya untuk duduk.
“Apa sih, berisik banget!.”
“A...!.”
“Tolong izinkan Saya, menemui putra Saya! Saya tahu Saya salah tapi Saya tetap ayah biologisnya, benar-benar kejadian itu di bawah alam sadar Saya.”
“Saya masih menyimpan semua buktinya, lain waktu insya Allah jika Mas berkenan akan Saya tunjukan. Tidak ada niat Saya sedikit pun ingin melakukan itu.”
“Seandainya, Saya melihat Fanya dengan cerita yang berbeda akan Saya dekati ia dengan jalan semestinya bukan seperti ini. Saya sangat menyesal, Maaf.”
Cengkeraman di kursi melemah, emosi Aris sudah mulai bisa ia jinakkan. Haruskan ia mengizinkan atau tidak?.
“Mas, tolong izinkan Kami melihat cucu Kami!,” bujuk wanita paruh baya.
“Tidak bisa! Kesehatan Fanya lebih penting.”
Mereka semua tampak kecewa dengan keputusan Aris, bayi tersebut satu-satunya penerus perusahaan yang digeluti orang tua Farel, beliau tidak yakin jika putra mereka bisa merajut kembali dengan wanita lain setelah melihat sendiri kesetiaan dan rasa cinta yang dimiliki Farel.
Apalagi, saat ini menantu yang sudah tiada telah kembali bersama cucu mereka meski dengan cerita yang berbeda dan tidak diinginkan.
Sepertinya, Farel tertarik dan mulai menyimpan rasa terhadap ibu dari cucu beliau.
“Baiklah, tapi Saya tidak bisa menjamin Fanya akan mengizinkan.”
“Terima kasih, Mas.”
Senyum bahagia akhirnya terpancar ada setitik harapan bertemu dengan si buah hati, jika boleh ia menginginkan lebih bukan cuma putranya tetapi wanita yang beberapa bulan ini sudah mengambil sebagian hatinya yang telah lama kosong. Segenggam rasa sayang tiba-tiba menyelusup di dalam kalbu.
Farel beserta ibunya mencoba menemui Fanya yang sedang tersenyum bahagia bercanda bersama ibu dan saudara perempuan yang tidak hentinya memandangi buah hati mereka yang sudah tertidur pulas.
Bibir tertarik sedikit tanpa disadari melihat wanitanya bersama putranya, ada rasa bahagia tidak terkira tidak sabar bertemu anak lelakinya tapi.
Langkah terhenti, apakah Fanya mau memaafkannya? Teringat kesalahannya dulu yang sangat fatal tapi hati tidak bisa berbohong ingin sekali bertemu dengan bayi tersebut.
“Buk,” panggil Aris memberi kode jika mereka kedatangan tamu.
Semua wanita menoleh mendengar panggilan Aris dan terkejutnya Fanya pria yang paling dia benci berdiri di depan sana.
Bayangan yang sudah terkubur kembali melesat keluar, rasa benci menyeruak membuat Fanya kembali histeris sembari memeluk bayi kecilnya ketakutan.
Perawat meminta mereka ke luar ruangan agar tidak mengganggu ibu muda tersebut.
Aris mengajak ibunya keluar menemui tamu biarlah adiknya ditenangkan Dara dan juga Salsa.
Keluarga tersebut menjelaskan kembali kejadian masa lalu dan memohon agar diberikan izin melihat cucu pertamanya dari putra satu-satu beliau.
Bu Fani mencoba berlapang dada memaklumi perasaan mereka, beliau tidak boleh egois memikirkan emosi sesaat.
Ikut membujuk putri beliau memberi pengertian agar Fanya memberinya kesempatan mereka bertemu bayinya.
Setelah lama dibujuk dan mulai tenang Fanya mengizinkan tapi tetap enggan bertemu mereka kembali.
Senyum keluarga tersebut terus mengembang menyambut hangat keluarga baru, wajah mungilnya mirip sekali dengan putra tunggal mereka.
Seandainya, ibu bayi yang digendongnya sudi bergabung tambah lengkaplah kebagian mereka, terutama untuk Farel. Menemukan kembali tambatan hatinya yang telah lama pergi.
“Mirip sekali denganmu Nak, Mama seperti melihat Kamu saat masih bayi. Iya kan, Pa?.”
Diserahkan bayi yang meregangkan badannya dengan mata masih tertutup membuat mereka semakin gemas ke suami beliau yang sejak tadi tidak berkomentar cuma memandangi.
Farel dengan cekatan mengambilkan kursi untuk ayahnya duduk supaya memudahkan beliau menimang cucu pertama.
“Uh, cucu Oma ganteng banget.”
Mereka bertiga terus mengerubungi bayi mungil tersebut, hati Fanya sedikit tersentuh melihat pemandangan di depan mata.
Beliau-beliau tidak bersalah yang bersalah putranya, lagian tidak bisa dipungkiri ada darah mereka di tubuh bayinya.
Ia berusaha legawa memaafkan tapi tidak dengan pria itu untuk saat ini.
Seandainya, malam itu ia tidak ah tidak tahu siapa yang harus disalahkan atas kejadian ini atau kah memang dirinyalah yang perlu disalahkan hingga mengakibatkan putranya terlahir tanpa adanya sosok ayah?.
Kalau saja dia tidak menuruti kemauan hati pasti ini tidak akan terjadi tapi kasih sayang ayahnya? Jika ini tidak terjadi akankah ia bisa di posisi ini?.
“Mbak Fanya, gawat!,” bisik Salsa setelah berlari kecil ke arahnya membuyarkan lamunan.
“Hem.”
“Gawat, Bima datang. Wah bakal terjadi perang dingin dua dunia.”
“Hah, serius? Duh, cemburu gak ya dia? Sepertinya sih iya, lawong anaknya Posesif gitu. Gimana ini, Sa? Ajak saja dia, Sa! Ke mana kek, terserah!.”
“Gak ah, enak saja! Bojoku yang cemburu. Tapi, ngomong-ngomong ganteng juga bapaknya Azka, kayaknya mereka tajir Mbak sama kayak Faiz.”
“Bibir!.”
“Lumayan lo Mbak buat koleksi, ganteng gitu.”
“Kalau ngomong!.”
“Mbak, Mbak dia ke sini!.”
“Siapa? Yang mana?.”
“Kebanyakan bojo ya kayak gitu, bingung kan jadinya!.”
Tawa Salsa tidak bisa ditahan tapi harus direm malu jika sampai kedengaran mereka, ibu tirinya pula ikut terpingkal menampar lengan.
Digigit bibir bawah yang ditakutkan datang setelah tadi izin salat Isak di masjid.
Bima menautkan alis, siapa gerangan mereka? Apa mereka saudara bu Fani atau pak Hamdi? Kok dia tidak pernah jumpa.
Tidak ambil pusing ia lantas mengambil kursi lain untuk bisa duduk lagi dekat calon istri yang menatapnya harap-harap cemas.
“Biyuh Mbak, berasa punya suami dua. Yang satu momong anak yang satu menemani. Jadi pengen, ganteng-ganteng semua lagi,” bisik dia lagi.
Mata Fanya membulat mengintimidasi tapi tidak berselang lama mendelik tidak percaya melihat ipar yang siap-siap menerkam adiknya dari belakang. Habis itu anak. Bisa-bisanya punya mulut gak dikasih rem.
“Siapa yang ganteng? Pengen apa? Apa Aku ini kurang ganteng, Salsa?,” Tekan Faiz setelah mendongakkan wajah sahabatnya agar mata mereka bersatu.
“Eh, anu.”
Bu Fani bukannya prihatin justru tertawa ngiklik melihat ekspresi putrinya tertangkap basah.
Kedua adik kakak dibuatnya panik menghadapi kekasihnya saling cemburu gara-gara laki-laki yang sama.
“Fan, tolong maafkan Saya! Menikahlah dengan Saya demi anak Kita, Kita rawat sama-sama buah hati Kita.”
Bima yang langsung mengerti seketika pria itu dikuasai rasa cemburu yang sangat ditinggalkannya Fanya begitu saja.
“Kan, kan, kan.”
“Mau apa Kamu ke sini? Pergi! Jangan mendekat!.”
“Bukankah Kamu di penja*ra, ngapain di sini? Pergi!.”
“Aku mempunyai banyak uang, Fan.”
“Masa lalu terulang,” cekikikan Salsa teringat kisahnya dulu bersama pria yang tidak hentinya menggugat tidak terima.
“Urusan Kita belum selesai Salsa Bila!,” tekan Faiz.
“Eh iya, anu.”
Faiz menatap tajam ke arahnya membuat susah sekali menelan lu*dah dan matanya berkedip berkali-kali mengurangi rasa gugup yang berlebih.
Ia terus didesak hingga mentok di pojokkan bad tempat kakak perempuannya berbaring, kedua tangan di belakang punggung meremas pinggiran dipan.
“Itu, anu e anu.”
Salsa menengok ke belakang, sudah mentok masih saja didesak “mau Aku pasangin kaca mata kuda?,” cercanya mengintimidasi mata terus menatap tajam ke bawah tepat di wajah sahabatnya dengan tangan mengunci ikut berpegangan di pinggiran ranjang.
Salsa menggeleng sebelum pandangan keduanya beralih ke pintu yang barusan ditutup Bima.
Faiz tanpa membuang waktu langsung pergi begitu saja lupa akan tawanannya, ada yang lebih penting. Bisa gawat jika anak itu nekat.
Salsa merosot lega, untuk sesaat. Tapi nanti piye?.
“Tolong Fan, turunkan sedikit egomu demi anak Kita! Iya, Aku akui Aku salah tapi itu semua di bawah kemauanku, Fanya. Tolong, mengerti!.”
“Pergi!.”
Ditampik tangan pria yang hendak menyentuhnya, bu Fani panik merengkuh pundak putrinya yang mulai mengamuk mengu*sir tamu.
“Tidak Fan, Aku tidak akan pergi. Tugasku menjaga buah hati Kita dan Kamu. Kalian hidupku!.”
Dilirik sekilas bualan tersebut, dada Fanya masih naik turun menahan rasa benci. Tidak tahan berlama-lama berdekatan dengan dia, lelaki tidak peka masih saja kekeh tidak mau pergi.
“Fan, sepertinya cucu Mama haus,” lerai ibunya Farel.
“Mau apa Kamu masih di sini? Gak lihat, Aku mau susuin?.”
“Kan Kamu pakai kerudung, Aku gak akan lihat.”
Dengan rasa gondok Fanya membelakangi tidak peduli kakek nenek putranya berpikir seperti apa dengan sikap liarnya ke putra mereka. Yang ada hanya benci, benci dan benci.
Beliau sangat memaklumi perlakuan ibu dari cucu beliau terhadap putranya. Mau bagaimana lagi, kesalahan putranya sangat fatal. Beruntung ibu satu anak tersebut masih memperbolehkan bertemu cucu satu-satunya.
Tidak dipedulikan wanitanya marah-marah tidak jelas yang penting bisa sedekat ini.
Faiz terus mengikuti seperti halnya yang dilakukan mertua memastikan pria itu baik-baik saja paling tidak menemani.
Hingga berakhir pula di warung depan rumah sakit tapi tidak di tempat yang sama.
“Sudahlah jangan dibawa perasaan, Fanya pasti pilih Kamu. Mas Aris saja ditolak.”
“Ini masalahnya ayah biologis Azka, Iz. Ada kemungkinan Fanya memilih dia.”
Faiz tertawa geli mendapati kedua mertua juga sedang menikmati secangkir kopi tanpa bersua di seberang sana.
“Kenapa? Puas, lihat Aku seperti ini?.”
“Bukan, lihat!.”
“Cerita macam apa ini suami menghibur mantan suami. Nah Kita, suami menghibur mantan pacar istri. Melawak!.”
Sesaat mereka tertawa geli nasib yang menyatukan “iya, kenapa keluarga Kita mutar kayak gini.”
“Sudah ah, panas di sini. Lebih baik Aku pulang. Kamu bawa saja tasku ke rumah ayah!.”
“Mau Aku antar?.”
“Gak usah!.”
Baru hendak melangkahi kursi panjang diurungkan kembali duduk di tempatnya semula membuat alis teman kuliahnya dulu menyatu bertanya-tanya.
“Iya deh, tolong antarin! Dompet sama handphone disita Fanya. Kamu sekalian bayarin tehku!.”
“Bisa-bisanya ke warung gak bawa uang! Kalau Aku gak ngikutin Kamu, Kamu bayar pakai apa? Daun? Bentar, lah?.”
“Apa? Jangan bikin Aku panik!.”
“Dompetku di tasnya Salsa.”
“Parah, sama saja! Gini amat punya istri, Semua di sita. Terus ini gimana? Utang gih sama bapak mertua!,” perintah Bima diselingi tawanya yang khas.
“Ok, Kamu ambil mobil! Aku cari utangan dulu,” jawab Faiz membagi tugas.
Ditelefon Salsa meminta turun ke bawah membawa dompet, mengajak pulang sekalian. Gak rela istrinya jela*latan melihat pria lain.
Lelah mengu*sir Fanya akhirnya tertidur ditemani orang yang paling dia benci, Farel dengan sigap menjaga putranya sampai pagi selayaknya ayah yang siaga.
Kedua orang tuanya memutuskan berpamitan pulang setelah jam hampir menunjukkan tengah malam.
Fanya ditemani Dara dan juga ibunya sedangkan Farel tidur-tidur ayam akan bangun paling awal jika mendengar pergerakan si buah hati.
Jika bukan menyusui ia berusaha tidak membangunkan biarlah wanitanya istirahat setelah berjuang panjang membawa buah hati ke dunia ini.
“Lepas! Jangan sentuh-sentuh!.”
Niat hati ingin membetulkan selimut agar Fanya nyaman menyu*sui tapi keburu disentak angkat tangan lah ia dari pada wanita tersebut lebih parah keluar taringnya.
Ditengah-tengah memberi putranya asi ia terus kepikiran calon suami merajuk ingin menghubungi tapi gawai ada di tangan.
Sudahlah, besok saja sepulang dari rumah sakit dibujuk lagi Bima. Gara-gara pria itu waktunya melepas rindu setelah sekian lama tak bersua justru dibuatnya gaduh.
Bayinya tertidur kembali Fanya mengotak-atik gawai Bima lagi ke sekian kalinya.
Mulai dilihat foto-foto pria yang sudah membuat hati kecilnya terbang sampai membaca ulang pesannya sendiri di gawai Bima. Senyum terus mengembang melihat foto-foto mantan suami saat dulu masih bujang.
Bersih, tidak ada yang mencurigakan bahkan foto adiknya hilang tak berbekas.
“Fotonya cowok siapa itu? Ingatnya Kamu sudah ada Aku!.”
“Berisik!.”
Ditutup seluruh tubuh dengan selimut melanjutkan kembali membaca pesan keduanya.
Farel mulai terbakar api cemburu lagi tapi tidak bisa berbuat lebih, kenapa cinta keduanya seperti ini?.
Berusaha bersabar menghadapi sikap dingin wanitanya, lebih baik dia tidur biar tidak menyaksikan Fanya memandangi lelaki lain.
Namun sayang, ia tidak kunjung bisa menutup mata sampai Fanya yang terlelap lebih dulu.
Diambil gawai di tangan untuk melihat foto siapa gerangan yang berhasil merebut hati Fanya kalu bisa dihapus semua yang berkaitan dengan lelaki itu, sayang sekali ternyata ada kata sandinya.
Ketika ditekan hanya muncul foto putranya yang sepertinya baru diambil tadi saat baru dilahirkan.
Tidak apalah setidaknya Fanya untuk sementara tidak memandangi foto pria tersebut lantas diletakkan gawai di nakas sebelum melanjutkan tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pengganti END ✅
Fiksi RemajaSalsabila, gadis berwajah ayu harus menggantikan kakak tirinya dijodohkan dengan pria pilihan orang tua. Dan tanpa diduga lelaki yang akan dijodohkan dengannya tak lain tidak bukan adalah sahabat karibnya sendiri. Akankah keduanya menerima perjodoha...