🦭1. Si Selalu Juara Satu

131 18 29
                                    

Cerita ini jadi sebuah tantangan untuk aku karena pengen coba hal baru

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cerita ini jadi sebuah tantangan untuk aku karena pengen coba hal baru. Hal baru apa, tuh?

Kisah Nio adalah cerita pertama yang aku tulis menggunakan sudut pandang laki-laki dan ditulis menggunakan POV 1.

So, semoga suka! Kurang lebihnya, mohon maaf karena masih tahap belajar.

Happy reading!

🦭🦭🦭

"Wih ... selamat kepada Antoni Azriel, juara satu olimpiade matematika se-Jakarta!" ucap seorang anak laki-laki seusia saya yang tengah membaca sebuah kertas pengumuman di mading sekolah. "Congrats, ye. Bro! Keren emang sohib gue!" Ia lalu menepuk pundak saya sebagai tanda bangganya. Mario Diandra namanya.

Saya kemudian tersenyum senang karena prestasi yang baru saja saya torehkan itu. Ya, dua hari lalu saya dipilih oleh kepala sekolah sebagai perwakilan olimpiade matematika tingkat SMA se-Jakarta. Sebuah keberuntungan, hari ini saya menyandang pemenang juara satu. "Ngga heran lagi kalau Nio, mah. Hobinya menang mulu, heran gue. Lo kayaknya nggak pernah kalah, deh. Sampe-sampe yang liat mading pasti ngeluh karena isinya muka sama nama lo mulu," sambung anak laki-laki satunya yang juga merupakan teman saya. Rizal Kurniawan namanya, anak pengusaha tambang terkenal. Dia mengatakan itu sambil meminum sekotak susu.

"Traktir ngga, sih, Nio? Gue belum makan seminggu, nih!" Mario si bocah yang suka bercanda itu memegangi perutnya seolah sedang mendalami peran. Mana mungkin dia tidak makan selama satu minggu, papanya saja punya restoran terkenal yang sudah memiliki puluhan cabang.

"Ya, udah kalian duluan aja. Saya ambil buku ke kelas bentar," ucap saya pada mereka. Entah kenapa, mereka malah saling lihat-lihatan.

"Kita, tuh, ke kantin mau makan bakso, Nio! Bukan makan buku," protes Rizal. Mau bagaimana lagi, salah satu cara agar kita mengenal dunia adalah dengan membaca. Maka sering disebutkan jika membaca adalah jendela dunia. Membaca jadi hobi saya sejak kecil, entah kenapa saya tak bisa lepas dari yang namanya buku.

"Ya, udah sana, lo ambil buku dulu abis itu nyusul kita ke kantin. Kita duluan, Nio, bye!" pamit Mario yang merangkul pindah Rizal. Saya hanya menggelengkan kepala melihat tingkah mereka berdua.

Saya kemudian berpisah dengan mereka di lorong ini, lalu berjalan menuju kelas. Sekolah tempat saya belajar ini memang cukup luas. Sekolah yang merupakan salah satu kategori sekolah elit di Jakarta. Acardia High School, atau biasa orang menyebutnya AHS, adalah sekolah yang kebanyakan muridnya berasal dari keluarga berada, karena SPP perbulannya yang sangat mahal. Sekolah ini paling diidam-idamkan teman seangkatan saya dulu di SMP.

Berjalan melewati ruang guru, membuat perhatian saya teralihkan saat ada seorang siswi duduk di depan meja salah satu guru. Dilihat dari seragam yang ia kenakan, sepertinya ia bukan berasal dari sekolah ini. Ia memakai baju SMA pada umumnya berwarna putih dan rok abu-abu selutut, sedangkan di Acardia High School ini seragam kami dilengkapi dengan almamater berwarna biru tua yang menjadi warna dasar logo sekolah.

Tak ingin terlalu tahu lebih dalam, saya pun langsung menuju kelas yang lumayan jauh. Tiba-tiba saja seseorang yang sepertinya dengan sengaja menumpahkan minumannya ke baju saya. "Ups, sorry," ucap seseorang itu. Dia Kevin, teman sekelas saya yang selalu dapat peringkat nomor dua. Dia terang-terangan menyatakan iri karena saya selalu berada di nomor satu. Tak apa, saya tak merasa jika ini adalah persaingan. Saya hanya diam, memperhatikan seragam saya yang basah terkena jus jeruk miliknya. Dia kemudian berjalan ke samping hingga kami sejajar. "Hadiah buat lo karena udah menang olimpiade itu. Congrats!" bisiknya kemudian berjalan lebih dulu.

Saya hanya bisa menarik napas agar selalu punya kesabaran ekstra menghadapi manusia-manusia seperti Kevin itu. Syukurnya saya tak menganggapnya sebagai saingan ataupun musuh, karena bukan itu yang orang tua saya ajarkan pada saya. Saya lanjut menuju kelas dan mengambil sebuah buku novel, juga beberapa helai tisu untuk mengelap baju yang basah terkena jus jeruk tadi.

Seorang anak perempuan yang saya tahu ia dari kelas sebelas tiba-tiba datang dan berdiri di depan saya. Keadaan kelas masih sepi karena ini adalah jam istirahat. "Nio, selamat, ya," kata perempuan berkacamata dengan rambut dikepang dan tingginya setelinga saya.  "Ini ... buat kamu." Saya menyipitkan mata untuk melihat benda apa yang ia pegang itu. Ia menyodorkan kotak kecil berwarna cream pada saya. Kotak yang di atasnya dihiasi dengan pita berwarna merah.

"Ini apa?" tanya saya padanya. Namun, saya enggan mengambil pemberiannya karena memang kami tak terlalu dekat, tetapi gadis bernama Jihan ini merupakan teman les saya.

Jihan terlihat membenarkan kacamatanya. "I-ini ... hadiah buat kamu, Nio. T-tolong diterima, ya ...." Gadis itu tetap menyodorkan kotak yang ia bawa, lalu menunduk.

Tak ingin mengecewakannya, saya mengambil kotak yang ia berikan. "Terima kasih, Jihan. Jangan terlalu sering menunduk, kamu punya kelebihan yang harus ditunjukkan pada dunia," ucap saya. Jihan langsung mendongak seketika lalu tersenyum. "Saya duluan, ya," pamit saya pada Jihan. Ia hanya mengangguk sambil tersenyum.

*****

Saya berada di kantin, mencari di mana Rizal dan Mario duduk. Ternyata di bangku yang paling depan. "Widih, apaan, nih?" Tanpa basa-basi kotak yang tadinya baru saja saya letakkan di meja langsung diambil oleh Mario. "Dari ... Jihan?" Mario membaca tulisan kecil yang ada di salah satu sisi kotak tersebut. Dia lalu menatap saya seakan penuh curiga. "Lo pacaran sama Jihan, Nio?" tanya Mario dengan suara lantangnya yang tentu saja mengagetkan seluruh orang di kantin.

"Serius? Jihan yang cupu itu?" tanya Rizal tak kalah kaget.

Tak mau membuat mereka berdua bertanya-tanya, saya segera meluruskan perihal hubungan saya dan Jihan. "Siapa yang pacaran sama Jihan? Itu dia kasih katanya buat ucapan selamat. Itu doang, sisanya saya cuma temenan sama dia."

"Dia suka sama lo, Nio. Udah keliatan, kali," ucap Rizal seakan-akan ia tahu perasaan seseorang. Padahal, kan, siapa tahu memang Jihan memberikan itu tulus hanya sebagai ucapan selamat. "Lo kenapa nggak peka, sih. Udah jelas-jelas, tuh, cewe suka sama lo. Ngga ada niatan bales perasaannya ... gitu?" tanya Rizal. Saya hanya diam mendengarkan ocehannya itu.

"Bener kata Rizal, dia juga kayaknya udah suka sama lo dari sejak MOS, deh," imbuh Mario. Saya teringat pertama kali mengenal Jihan saat MOS. Kala itu ia tak membawa bekal makan siang, dan kebetulan karena saya masih kenyang, ya, saya berikan saja padanya. Memang itu bisa membuatnya jatuh cinta pada saya? Dengan cara se-simple itu?

"Lagian coba, deh, sesekali pacaran. Perasaan lo banyak yang suka, tapi lo-nya yang malah lebih doyan buku. Orang mah, ya, kalau malem minggu ke taman bawa pacar. Lah, kalo Nio malah baca buku," ucap Rizal yang memang ada benarnya. Saya baca buku di taman itu untuk mencari suasana baru. Lagian, di usia yang masih enam belas tahun ini, buat apa menghabiskan waktu untuk hal yang sia-sia?

🦭🦭🦭

🦭🦭🦭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Never Mine, Antonio [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang