🦭29. Siapa Tirta?

5 1 0
                                    

🦭🦭🦭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🦭🦭🦭

"Ra?" panggil saya sembari menepuk bahu Nara. Ia terlihat terkejut. Setelah menatap laki-laki itu, pandangannya beralih pada saya.

"Hm?" gumamnya. Saya tidak tahu kenapa Nara jadi gugup begini.

"Gue permisi." Laki-laki tersebut kemudian berjalan pergi, meninggalkan saya dan Nara. Nara pun terlihat serius memperhatikan laki-laki itu yang mulai menjauh.

Sebenarnya siapa dia? Kenapa Nara memandanginya begitu dalam seperti itu? "Ra? Yuk!" Saya langsung menarik tangannya agar Nara tidak bengong memperhatikan laki-laki itu yang mulai tak terlihat.

Saya mengambilkan Nara segelas minuman berwarna oranye itu. "Ini buat kamu," ucap saya sembari memberikan gelas berisi minuman pada Nara. Namun, gadis itu terlihat bengong saja. "Ra!" teriak saya. Nara terlihat terkejut dan berhenti memandang ke satu titik.

"Y-ya?" tanyanya seakan gelagapan.

"Ini ... minuman kamu." Saya menyodorkan gelas minuman itu, lalu Nara menerimanya. Dia masih terlihat aneh dengan wajah datar dan hanya diam sampai kami kembali ke meja dan bergabung dengan teman-teman.

Aneh, sikapnya jadi berubah saat bertemu laki-laki tadi. Nara yang biasanya mengomeli saya dengan suara melengking dan tidak mau mengalah itu jadi diam seribu bahasa sekarang. Saya jadi bingung sendiri.

Ah, ya, sudahlah. Toh, itu urusan Nara, bukan urusan saya. Saya ini siapa, bisa-bisanya mau ikut campur dengan urusan pribadinya. Hanya pacar pura-pura yang tidak punya hak apa pun. Namun, Nara kalau diam begini, saya jadi rindu cerewetnya dia.

Setelah acara bebas tadi, papanya Rizal yang bernama Om Arian itu mengumpulkan para tamu di aula restoran. Kami berkumpul dan membentuk formasi melingkar.

Saya berdiri di samping Nara, matanya tertuju ke arah seberang sana. Ada laki-laki yang bernama Tirta itu. Mereka lagi-lagi saling pandang. Membuat saya makin bertanya-tanya apakah sebenarnya hubungan mereka.

Om Arian memotong pita merah sebagai langkah pembukaan vila baru serta restoran yang resmi ia buka hari ini. Acara pun selesai setelah pemotongan pita itu.

"Kita kayaknya nginep di vila, deh. Gapapa, ya? Besok pulangnya pagi-pagi banget," ucap Rizal. Ya, karena sudah malam, jadi tidak bisa dipaksakan juga untuk pulang. "Yuk, ke vila." Rizal berjalan terlebih dulu kemudian kami mengikutinya dari belakang.

Saya berjalan paling belakang. Berjalan di samping Nara. Jarak kami berdua lumayan tertinggal jauh dari mereka, karena saya menyamakan langkah saya dengan Nara. "Ra? Kamu tumben diem aja. Biasanya ngomel," ucap saya. Nara menoleh lalu tersenyum.

"Nggak papa, gue lagi capek aja," ucapnya singkat. Tidak apa-apa, tetapi ia saja jadi diam.

"Diamnya kamu apa ada hubungannya sama laki-laki tadi?" tanya saya. Mendengar itu membuat Nara yang tadinya berjalan, jadi berhenti. Beberapa detik kemudian, saya menyadari jika pertanyaan saya ini adalah pertanyaan yang tidak seharusnya terucap. Siapa tahu Nara punya luka yang dalam dengan laki-laki itu, hingga membuatnya diam. "Maaf, saya nggak bermaksud tanya begitu. Lupakan saja, kita lanjut jalan." Saya lalu lanjut jalan, lalu disusul oleh Nara. Jika tak ada kejadian yang membuatnya terluka, mungkin ia tidak akan diam seperti ini.

Di vila, kami berkumpul di ruang tamu untuk membagi kamar. "Jadi, di vila ini ada tiga kamar. Nara sama Gladis. Nah, kita bertiga mau tidur satu kamar atau salah satu ada yang mau tidur sendiri?" tanya Rizal.

"Gue duluan ke kamar, ya. Agak pusing gara-gara perjalan tadi," ucap Nara yang tiba-tiba berdiri.

"Mau saya antar?" tawar saya. Ia sesegera mungkin menggeleng. Ya, sudah. Tak apa. Mungkin nanti akan buatkan saja dia teh hangat agar perutnya agak enakan.

"Gue anterin, ya, Ra?" tawar Gladis. Nara masih tetap menggeleng.

"Nggak usah. Gue bisa sendiri. Makasih, ya." Setelah itu ia ke salah satu kamar yang ada di lantai dua.

Saya jadi merasa bersalah, ternyata Nara diam, karena ia sedang merasa pusing. "Saya aja tidur sendiri." Saya segera menjawab sebelum salah satu dari mereka berdua mengajukan diri untuk tidur sendirian.

"Oke, kamar lo di sebelah kamar Nara sama Gladis, ya. Yuk, kita mandi sama bersih-bersih dulu, habis itu ke tepi pantai." Rizal dan Mario segera berjalan ke kamar mereka. Diikuti Gladis yang berjalan naik ke tangga.

Saat Gladis akan beranjak pergi, saya menahannya untuk sekadar bertanya sesuatu. "Em ... Gladis!" panggil saya. Gladis yang sudah berjalan agak jauh itu kembali mendekat pada saya.

"Iya, kenapa, Nio?" tanya Gladis. Saya bingung harus mulai bertanya dari mana.

"Saya mau tanya sedikit, boleh?" izin saya terlebih dulu.

Gladis terlihat mengerutkan keningnya, sebelum akhirnya ia mengangguk. "Iya, boleh. Mau tanya apa?"

Saya tak mau membuang waktu, mumpung di sini hanya ada saya dan Gladis. Kalau Mario lihat, mungkin ia akan curiga atau bahkan marah. "Tadi di restoran saya dan Nara ketemu seorang laki-laki. Nah, Nara terlihat memandangi laki-laki itu terus. Laki-laki itu pun juga, menatap Nara dengan tidak biasa. Kira-kira kamu kenal nggak sama laki-laki itu? Kalau enggak salah, namanya Tirta. Nara juga sejak ketemu laki-laki itu jadi diam sejak tadi. Saya ajak bicara pun tetap saja diam, padahal biasanya dia tidak bisa diam," ucap saya yang bertanya pada Gladis.

Gladis juga sepertinya terkejut setelah saya memberi tahu nama laki-laki tersebut. "Tirta?" tanya Gladis yang juga keheranan.

"Iya, namanya Tirta. Kamu kenal?"

"Tirta itu ... mantannya Nara," jawab Gladis yang membuat saya terkejut. Mantan? "Tirta pergi ninggalin Nara ke luar negeri dua tahun lalu saat kelulusan SMP. Padahal itu kali pertama Nara jatuh cinta sama cowok. Tapi lo nggak perlu sedih atau over thinking, kok, Nio. Nara udah jadi pacar lo, nggak mungkin Nara masih ada rasa sama Tirta. Mungkin, tadi dia cuma kaget aja ada Tirta tiba-tiba di sini," lanjutnya.

Ah, jadi laki-laki itu adalah masa lalunya Nara. Kenapa Nara tiba-tiba jadi diam begitu kalau memang sudah tidak ada rasa dengan Tirta? "Ya, sudah. Makasih, ya. Kamu boleh ke kamar." Saya tersenyum dan mempersilakan Gladis kembali ke kamarnya. Ia lalu meninggalkan saya sendiri di ruang tamu.

Saya hanya duduk termenung di sini. Memikirkan betapa spesialnya laki-laki itu bagi Nara. Cinta pertama, pasti sangat berkesan untuknya. Ah, sial, kenapa saya malah jadi seperti orang bingung begini, sih? Ayolah, Nio, jangan terlalu memikirkan ini. Ingat, kamu dan Nara hanya menjalani kontrak pacaran pura-pura!

Atau malah ... saya sudah mulai menaruh hati pada gadis itu?

🦭🦭🦭

 🦭🦭🦭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Never Mine, Antonio [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang