🦭🦭🦭
Saya lalu melepaskan pelukan itu dari Nara. Di balik sikap galaknya, ternyata ia menyimpan luka paling dalam. Sungguh, saya tak bisa membayangkan ada di posisi Nara saat itu. Di saat kakaknya tersandung kasus tersebut, ia juga masih butuh biaya sekolah. Bu Yati juga pasti kelimpungan saat itu. Sekarang saya tahu kenapa Nara sangat marah saat kehilangan kesempatan siswa pertukaran pelajar itu, karena dia tak bisa menghentikan perjodohan dengan cara itu. Bodohnya, saya malah merendahkannya dengan berdalih uang papa saya bisa membiayai kuliahnya sampai lulus. Saya sangat emosi saat itu, hingga mulut rasanya lepas kendali.
"Sudah, jangan menangis, ya." Saya membantu mengusap air mata Nara yang membasahi pipinya. "Nanti saya bantu agar perjodohan itu tidak terjadi. Nanti coba saya ngomong sama ibu kamu," lanjut saya.
"Makasih udah mau bantuin gue." Nara lalu membenarkan rambutnya yang sempat menutupi wajah saat ia menangis tadi.
"Sama-sama. Saya bantu sebisanya."
"Ra ...! Ajak Mas Nio masuk, udah malem ini!" teriak Bu Yati dadi pintu belakang yang letaknya memang agak jauh itu.
"Iya, Bu!" balas Nara yang sedikit berteriak juga. "Lo masuk, gih. Gue mau di sini dulu," ucap Nara.
"Jadi ... malam ini saya tidur di sini?" tanya saya. Mau pulang pun sepertinya sudah malam.
"Menurut lo aja, deh. Pake nanya! Emangnya lo mau balik ke asrama malem-malem begini dengan kondisi jalanan becek begitu?" tanya Nara pada saya. Iya juga, sih. Tidak ada pilihan lain selain menginap di sini. "Di sini enggak ada AC kayak di rumah lo."
"Tak apa, saya bisa, kok, tidur tanpa AC," jawab saya enteng. Padahal, mana bisa saya tidur tanpa AC. Namun, kelihatannya di sini udaranya bagus dan sejuk. Tidak ada bunyi bising kendaraan. "Ya, sudah saya masuk dulu."
Saya lalu berjalan meninggalkan Nara yang duduk bersandar di kursi itu. Ia memandang jauh ke langit sana. Tak apa, mungkin ia butuh waktu.
"Mas Nio tidur di kamar ini, ya," tunjuk Bu Yati ke salah satu kamar yang ada di rumah ini.
"Terima kasih, Bu. Nio tidur dulu." Saya lalu memasuki kamar yang beliau maksud tadi. Kamar yang di dalamnya terdapat poster kartun serba merah muda. Ini pasti kamarnya Nara.
Saya malah salah fokus ke foto-foto yang terpajang di dinding kamar. Foto-foto saat Nara masih kecil, memakai seragam merah putih itu sangat lucu. Lalu ada foto di mana Bang Vano memakai baju batik, selempang, dan mendali, lengkap dengan Nara yang terlihat masih bocah dan juga Bu Yati di sampingnya. Itu pasti saat kelulusan SMA.
Masih banyak lagi foto-foto Nara dari kecil hingga sebesar ini. Lalu ... di mana ayah mereka? Tak ada satu pun foto yang terdapat ayahnya di sana.
Handphone saya tiba-tiba berdering, membuat saya yang sedari tadi melihat-lihat foto di dinding usang itu kaget. Saya menyipitkan mata untuk melihat dari siapa panggilan itu berasal. Ternyata nama Mario yang sangat jelas tertera di layar. Astaga, saya lupa mengabari mereka berdua. "Halo?" ucap saya. Terdengar bunyi suara yang kurang jelas. Mungkin, karena di sini termasuk desa, maka sinyal sangat susah.
"Lo ke mana, dah? Udah jam sembilan belum pulang? Lo nyasar apa gimane?" tanya Mario yang tidak ada jedanya itu, seperti rel kereta saja.
"Saya nginep di rumah Nara yang di kampung. Kata Nara disuruh kenalan sama ibu dan kakaknya. Kalian jangan lupa kunci pintu kamar," jawab saya sambil berjalan keliling kamar mencari sinyal.
"Widih ... nginep di rumah camer, nih!" sorak mereka berdua yang terdengar heboh itu. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar ejekan mereka.
"Sudah dulu, ya. Ibunya Nara sepertinya sudah tidur. Saya takut ganggu jam istirahat mereka." Saya lalu mematikan panggilan itu, karena malas mendengarkan ejekan mereka berdua.
Saya lalu berjalan ke arah jendela untuk menutup jendela kayu yang terbuka itu. Jika dilihat dari sini, view-nya sangat indah. Mata disuguhkan pemandangan sawah yang sejuk dan disinari dengan cahaya rembulan. Benar-benar situasi yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Hanya ada suara jangkrik dan katak yang terdengar. Sayup-sayup mata saya terpejam.
***
"Woi, bangun!"
Suara cempreng itu terdengar tidak nyaman di telinga, membuat saya terbangun. Nara dengan pose dua tangan yang berada di pinggang itu berdiri di depan saya, membuat saya langsung duduk. "Kenapa?" tanya saya sambil mengucek mata dan menguap.
"Kenapa bapak lo! Liat, tuh, udah jam berapa?! Untung hari minggu. Bangun lu, ah!" Ia menunjuk ke jam dinding yang menunjukkan pukul delapan pagi. Lagian hari ini minggu, saya biasa bermalas-malasan jika hari libur. "Nih, bajunya Bang Vano. Ibu udah berangkat dari pagi, Bang Vano juga udah berangkat kuliah. Cepetan mandi, gue mau bikin sarapan, terus kita balik ke asrama." Dia memberikan kaos berwarna hijau tua itu dan pergi keluar dari kamar.
Saya kira saya bisa tidur seharian di sini, mumpung libur. Nyatanya, Nara mematahkan rencana itu.
Saya segera mengambil kaos yang Nara berikan dan bergegas mandi, meski tidak tahu kamar mandi di sebelah mana. Saya lalu berjalan ke dapur. Di sana ada Nara yang sedang menumis bumbu halus, dengan satu tangan yang berada di pinggang, dan satunya lagi memegang spatula. "Ra, kamar mandinya di mana, ya?" tanya saya celingukan.
"Tuh, di sana," tunjuk Nara ke sudut ruangan. Ada satu ruangan kecil di sana. Saya mengangguk lalu segera mandi.
***
Selesai mandi, saya tak melihat Nara di dapur. Rupanya ia duduk di meja makan. Saya pun segera menyusulnya. "Tuh, cepet makan," ucapnya lalu makan terlebih dulu. Dia membuat nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya. "Kenapa malah bengong? Kalo nggak mau buat gue-"
"Eh ... iya-iya! Mau!" Saya segera menarik piring itu darinya sebelum Nara benar-benar menghabiskan semuanya. Dia, kan, tidak seperti wanita pada umumnya. Jika wanita lain makan dengan anggun dan pelan-pelan, Nara justru bisa nambah sampai lima kali. Seperti sekarang, dirinya sedang menikmati nasi goreng hangat dengan satu kaki yang diangkat ke kursinya. Benar-benar gadis ajaib.
"Kalau makan kakinya turunin. Enggak sopan," tegur saya. Bagaimana bisa dia jadi ibu yang baik untuk anak-anaknya nanti jika begitu.
"Suka-suka gue-lah! Rumah juga rumah gue. Tinggal makan aja berisik!" sanggahnya sembari terus melahap nasi goreng. Daripada berdebat dengannya, lebih baik saya makan. Berdebat tidak akan membuat saya kenyang.
🦭🦭🦭
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Mine, Antonio [END]
Ficção Adolescente[STORY 6] GENRE: TEENFICTION - SUPRANATURAL ~ PREKUEL BEFORE SUNSET ~ °°°°°°° Siapa sangka jika malam ulang tahun temannya adalah awal bencana bagi anak pengusaha terkenal yang selalu mendapat prestasi gemilang di sekolah? Iya, hanya karena satu vi...