🦭23. Tersesat

6 1 0
                                    

🦭🦭🦭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🦭🦭🦭

Sudah hampir setengah jam kami berjalan menyusuri jalanan yang ada. Namun, sampai sekarang pun kami belum menemukan kota atau perumahan sama sekali. Entah ini di mana, yang terlihat sejauh mata memandang hanyalah pohon yang sangat tinggi.

"Ini kita mau sampe kapan, sih, jalan? Nggak nyampe nyampe!" Nara sudah berteriak-teriak, mungkin ia lelah karena berjalan sejak tadi.

"Salah lo-lah! Kenapa asal berhentiin angkot? Kan, kalo udah begini lo mau nyalahin siapa? Mana sinyal susah banget lagi di hutan kayak gini!" sahut Rizal yang juga meladeni Nara dengan emosi.

"Ya, mana gue tahu kalo itu sopir taksi bakalan ninggalin kita seenak jidatnya begitu? Lo pikir gue dukun yang bisa baca isi hati orang, hah?!" balas Nara yang tak mau kalah itu.

"Duh ... udah, dong! Jangan malah pada berantem. Ini nggak bisa istirahat dulu apa? Kaki gue pegel tahu." Gladis tiba-tiba berhenti, dibarengi dengan Mario yang juga berhenti.

"Ya, udah. Kita istirahat dulu. Jangan saling menyalahkan," imbuh saya. Di situasi begini, saling menyalahkan memang bukan jalan keluar terbaik. Yang ada malah akan semakin menambah masalah. "Itu ada gubuk. Kita istirahat di sana!" tunjuk saya saat melihat sebuah gubuk yang berada di bawah sebuah pohon. Sinar dari rembulan membuatnya tampak jelas dari sini.

Kami lalu menuju ke gubuk tersebut. Dengan dibantu oleh flash handphone sebagai penerang jalan. Sesampainya di gubuk, ternyata ada sebuah lentera tergantung di sebuah tiang yang masih menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya. "Zal, kamu punya korek, kan? Pinjam, dong," tanya saya pada Rizal. Tak mungkin dia tidak membawa korek. Dia saja merokok di mana-mana.

"Buat apa?" tanya Rizal sembari merogoh sakunya. "Nih." Ia kemudian memberikan korek itu pada saya. Saya menyalakan api dan menaruhnya pada sumbu yang ada di lentera itu, menutupnya, lalu meletakkannya ke tempat semula. "Nah, kalau gini, kan, jadi terang."

"Pinter emang lo, Nio. Nggak salah kita punya temen kayak lo," ucap Mario yang duduk di bangku bersama Gladis.

"Terus kita gimana pulangnya ini? Mana besok sekolah lagi," gerutu Nara yang sepertinya kedinginan, ia memeluk lututnya dan bersandar di dinding gubuk yang terbuat dari anyaman bambu itu.

Melihatnya kedinginan, membuat saya melepaskan jas yang saya kenakan dan menutupi punggung Nara dengan jas itu. Kasihan, dia hanya pakai kaos yang kebesaran itu. Sedangkan angin malam makin lama makin kencang. Mata kami bertemu untuk beberapa saat. Itu membuat saya sadar, ternyata gadis ini cantik juga.

"Cie ....!" seru mereka secara bersamaan. Itu membuat saya dan Nara berhenti saling menatap. Saya kemudian diam dan duduk di samping Nara yang tetap saja memeluk tubuhnya meski sudah saya pakaikan jas.

"Gue punya ide!" teriak Nara tiba-tiba, membuat kami semua yang saling diam jadi terkejut.

"Berisik! Ide lo nggak membantu tau nggak! Mending lo semua cari sinyal. Kan, lumayan. Nanti kita bisa telpon sopir gue buat jemput kita di sini," jawab Rizal yang sedari tadi sibuk mengayunkan handphone-nya karena mencari sinyal. Tak heran di sini sudah sinyal. Ini hutan, yang berarti sekarang kami tersesat.

"Udahlah, turunin handphone lo itu. Kita nggak ada pilihan lain selain tidur di sini buat malem ini," usul Nara. Benar juga kata Nara, mencari sinyal pun dari tadi sampai sekarang tidak ada juga.

"Benar kata Nara. Kita lebih baik bermalam di sini. Mau cari jalan pulang pun, yang ada kita malah makin tersesat. Cari sinyal pun susah," imbuh saya.

"Mending kita bikin api unggun. Udara makin malem makin dingin, tau. Bisa masuk angin kita ntar," usul Nara lagi.

"Setuju!" seru Mario dan Gladis secara bersamaan. Mentang-mentang mereka sehati.

"Ya, udah, yuk cari kayu bakar. Pasti banyak, kan, di hutan begini," ajak saya.

"Yuk," sahut Nara. Mendengarnya begitu semangat dan hendak berjalan dari duduknya, membuat saya langsung menahan tangannya. "Kenapa, dah?" tanyanya seakan bingung.

"Kamu sama Gladis di sini aja. Biar cowok-cowok yang cari," jawab saya. Saya takut mereka kenapa-kenapa kalau ikut masuk ke hutan.

"Santai aja, kali. Lo aja yang di sini jagain Gladis, Mar. Biar kita bertiga yang nyari kayu bakar," ucap Nara yang malah menyuruh Mario tetap di sini. Ada-ada saja gadis satu ini. Dikasih enak, tinggal duduk dan menunggu saja tidak mau.

"Kita bertiga? Lo aja sama Nio. Kan, bisa sambil pacaran, tuh, kalian. Nggak mau jadi obat nyamuk gue. Gue mau lanjut cari sinyal!" jawab Rizal yang sinis sembari berdiri dan masih mencari sinyal.

"Terserah lo!" Nara kemudian berjalan ke arah hutan sendirian.

"Ra, tunggu!" Saya lalu mengejarnya yang sudah mulai tak terlihat dan tenggelam di kegelapan. Mampus, bagaimana kalau dia sampai hilang di hutan?

Saya terus mengejarnya ke hutan, "Ra!" panggil saya. Di sini sangat sepi, hanya suara katak yang terdengar. Jangan-jangan Nara benar-benar hilang?!

"Woi!" teriaknya yang membuat saya kaget sampai-sampai menutup telinga. Rupanya Nara sengaja mengagetkan saya dengan menepuk bahu saya dari belakang.

"Ish, kamu, tuh, jangan ilang-ilangan. Ini hutan, bahaya tahu!" ucap saya mengomelinya.

"Gue dari kecil udah keluyuran ke hutan. Santai aja kali," ucapnya enteng tanpa mendengarkan ucapan saya. "Ya, udah buruan jalan, keburu malem." Nara kemudian berjalan terlebih dulu, seolah-olah dia hapal tentang hutan di sini.

Kami kemudian mengambil beberapa kayu yang ada. Ranting-ranting kecil dan juga yang berukuran sedang. Saya juga sedari tadi sibuk menepuk nyamuk yang hinggap mengerubungi saya. Setelah kami rasa rantingnya sudah cukup, kami kembali ke gubuk. Untungnya kami hapal jalan mana yang kami lewati tadi.

Nara menaruh kayu yang ia bawa di depan gubuk. Begitu juga saya, mengikuti yang ia lakukan barusan. "Zal, pinjem korek Lo sini!" teriak Nara pada Rizal. Rizal kemudian melempar korek tersebut, lalu ditangkap oleh Nara dengan tepat.

Nara kemudian menyusun kayu yang kami cari tadi. "Perlu bantuan?" tanya saya yang ikut berjongkok di samping Nara.

"Nggak usah, anak manja yang udah terbiasa hidup enak kayak lo emang bisa apa?" tanya sambil masih menyusun kayu-kayu itu.

Saya lalu tersenyum mendengar ucapannya barusan. Ya, memang saya terbiasa hidup enak. Namun, kalau cuma menghidupkan api begini, saya pun bisa. "Saya? Bisa cinta sama kamu," ucap saya singkat. Nara langsung menatap ke saya.

🦭🦭🦭

🦭🦭🦭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Never Mine, Antonio [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang