🦭8. Tempat Baru

18 3 0
                                    

🦭🦭🦭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🦭🦭🦭

"Mama serius ngusir Nio?" tanya saya. Saya itu orangnya tidak pernah jauh dari Papa Mama. Dapat kabar begini berasa saya diusir dari rumah.

"Nggak ngusir, dong. Itu biar kamu mandiri. Di asrama juga pasti banyak
temennya, kok. Lagian, Nio cuma tinggal di sana sampai lulus SMA. Setelah lulus nanti kamu pulang ke sini lagi. Paham?" jelas Mama barusan. Mendengar itu, membuat saya tetap saja menganggap jika Mama mengusir saya. Tak pernah tinggal berjauhan dari mereka, tiba-tiba disuruh tinggal di asrama begini. Saya, sih, lebih baik dihukum mencari kecebong di got seharian daripada diusir begini. Tak adil!

"Nio, terima aja, ya? Biar kamu juga lebih mandiri," ucap Papa yang seolah mendukung ide Mama itu. Padahal saya pun sudah mandiri, loh, selama ini. Ya, walaupun bikin telur dadar saja masih gosong, tetapi, kan, itu namanya teledor, bukannya tidak mandiri.

"Tapi, Ma, Nio makannya nanti gimana? Siapa yang masakin? Mama tahu sendiri, Nio masak air aja gosong." Saya terus mencari-cari alasan agar Mama berubah pikiran. Saya betul-betul tak mau jika disuruh jauh dari mereka. "Terus, kalau Nio malah jadi males-malesan karena nggak ada Mama sama Papa di sana gimana? Terus-"

"Nio itu anak rajin, Papa tahu itu. Nggak mungkin kamu malas-malasan. Cinta pertama kamu itu buku, padahal Mama pas hamil kamu nggak ngidam buku, loh," canda dari Papa itu membuat Mama tertawa. Iya, juga, sih. Saya jadi bingung harus bikin alasan apa lagi agar mereka membatalkan rencana itu.

"Ya, udah, Nio mau," ucap saya pasrah. Lagian sudah tidak ada alasan lagi. Semoga saja saya bisa bertahan hidup di asrama itu. Saya tak membayangkan bagaimana jika mendapat teman satu asrama yang jahil, apalagi yang suka mengambil barang milik temannya. Membayangkannya saja sudah membuat saya malas.

Kami lalu lanjut makan malam hingga selesai. Para pembantu di rumah ini pun mulai membereskan piring-piring kotor yang baru kami pakai. Jujur saya tidak hafal nama-nama mereka. Kenapa demikian? Jumlah pembantu di sini sangat banyak, hampir dua puluh orang. Saya hanya mengenal satu pembantu senior yang bekerja di sini sejak saya masih duduk di sekolah dasar. Namanya Bu Yati. Umurnya sudah hampir kepala tujuh saat ini. Mama sengaja mempekerjakan pembantu lain agar Bu Yati tidak kewalahan mengurus rumah sebesar ini, mengingat usianya sudah hampir senja.

"Nanti kamu beres-beres barang dibantuin Bu Yati, ya. Mama masih ada sedikit deadline kerjaan," ucap Mama, lalu pergi. Papa juga begitu, pergi menyusul Mama yang menaiki anak tangga. Ruang kerja mereka memang di lantai atas.

Saya berjalan ke dapur untuk menemui Bu Yati agar ia mau membantu membereskan barang-barang saya malam ini. "Bu Yati ...." panggil saya. Ia ternyata sedang mencuci piring.

Dengan santai ia mengelap tangannya yang basah ke daster berwarna merah yang ia pakai. "Ada apa, Mas?" tanya Bu Yati. Dia berjalan ke arah saya.

"Nanti Bu Yati bantuin Nio beres-beres baju di kamar, ya. Disuruh Mama," ucap saya.

Never Mine, Antonio [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang