🦭🦭🦭
"Makasih, Bang." Saya menerima satu bungkus bubur yang saya beli dari depan asrama. Saya dan teman-teman sudah pulang sekitar sepuluh menit yang lalu. Gadis itu pasti belum makan siang. Saya lalu beranjak dari depan gerobak tadi ke asrama.
Saya menyipitkan mata saat melihat Gladis masuk ke gerbang asrama dengan menenteng tasnya. "Dis!" Saya langsung berlari ke arah Gladis. Dia yang sedang berjalan pun seketika berhenti.
"Iya? Kenapa, Nio?" tanyanya sambil menyimpan buku kecil yang ia baca ke dalam saku.
"Saya titip ini untuk Nara, ya." Saya menyodorkan bubur itu pada Gladis. Ia hanya menatap dan tak kunjung menerimanya.
"Buat Nara doang, nih? Buat gue mana?" tanyanya. Astaga, saya lupa. Harusnya saya juga membelikan untuk Gladis, karena saya meminta bantuannya. Saya segera mengambil uang di saku celana, lalu membelikan bubur untuk Gladis. "Eh ... becanda Nio. Lo serius amat jadi orang," cegahnya yang membuat saya berhenti menjelajahi kantong. "Lagian, gue udah makan tadi sama Mar-" Ucapannya tiba-tiba berhenti. Mar siapa yang dia maksud? Apakah Mario? Saya menatapnya penuh curiga.
"Sama Mario maksudnya?" tanya saya.
Gladis hanya memasang wajah bingungnya yang sangat terlihat jelas. "B-bukan. Y-ya, udah sini buburnya gue kasih ke Nara dulu." Gladis tiba-tiba menyambar bubur yang ada di tangan saya.
"Terima kasih, Gladis," ucap saya. Gladis lalu masuk ke asrama lewat lift. Saya pun bergegas mencari taksi untuk pulang ke rumah. Di tepian jalan depan asrama, saya menunggu taksi atau sekadar angkot yang saya harap lewat di sini.
"Loh, Kak Nio?" Suara seorang gadis membuat saya menoleh. Siapa lagi kalau bukan Rana dan Satur. Mereka berdua dengan menggendong tas sekolahnya dan masih berseragam olahraga itu berlari menuju saya. "Kak Nio jadi pindah ke sini?" tanya Rana. Mereka pasti ingin menagih janji untuk pulang bareng. Sayangnya, saya, kan, sekarang tinggal di asrama.
"Iya, udah dari kemarin. Tapi ... Kakak nggak bisa nebengin kalian pulang, Kakak sekarang tinggal di asrama ini." Saya menunjuk gedung asrama yang memiliki tiga lantai tersebut. Mereka berdua lalu menoleh ke sana.
"Enak, dong, Kak. Aku boleh ikut?" Ini malah Satur mau ikut. Masa iya, saya bawa anak SMP ke asrama. Asrama, kan, hanya untuk siswa SMA Pelita Nusa.
"Mana boleh, Satur! Kan ini buat kakak-kakak SMA aja, kita masih SMP!" Rana segera memberitahunya.
"Ya, siapa tau boleh." Satur mengalah. Ia diam jika sudah disanggah oleh Rana.
"Udah, jangan berantem. Mau ke rumah Kakak nggak? Kakak kebetulan mau pulang. Ini lagi nunggu taksi," ajak saya pada mereka. Sudah lama juga saya tidak main dengan mereka. Mereka, kan, paling suka jika bermain di taman belakang rumah saya.
"Nggak, deh, Kak. Kita mau lanjut latihan drumband. Kak Nio hati-hati pulangnya. Bye, Kak!" Mereka pergi lalu melambaikan tangannya pada saya. Mereka bukan seperti sahabat, malah seperti kakak adik. Saya lalu kembali fokus mencari taksi agar tidak terlalu sore sampai di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Mine, Antonio [END]
Ficção Adolescente[STORY 6] GENRE: TEENFICTION - SUPRANATURAL ~ PREKUEL BEFORE SUNSET ~ °°°°°°° Siapa sangka jika malam ulang tahun temannya adalah awal bencana bagi anak pengusaha terkenal yang selalu mendapat prestasi gemilang di sekolah? Iya, hanya karena satu vi...