🦭🦭🦭
"Nio?! Kenapa, dah? Kok lo malah bengong?!" tanya Nara yang membuat saya tersadar dari lamunan. Apa-apaan ini, kenapa saya selalu berpikir kalau Nara itu cantik dan lucu? Dia adalah gadis bar-bar di mata saya. Selamanya akan begitu, titik!
"Begitu, ya, maknanya? Lumayan dalam," kata saya sembari cengengesan.
"Nggak juga, sih. Orang gue ngarang."
Mendengar itu membuat saya gemas ingin meremas wajahnya. Saya sudah betul-betul memperhatikan, saya kira dia betulan menangkap makna sedalam itu. Ternyata hanya iseng. Ish, dasar gadis ini! "Udah, nih, catet. Katanya mau observasi." Nara memberikan buku dan pena yang ia bawa pada saya. Padahal, kan, biasanya tulisa perempuan lebih bagus.
"Yang kita observasi itu bentuk daun, bentuk akar, cara melindungi diri, cara berkembang biak. Udah, itu aja, kan?" tanya saya. Ini, sih, anak SMP juga bisa.
"Iya. Ya, udah cepetan keburu pegel kaki gue jongkok mulu!" Nara sepertinya sudah bosan. Memang dia itu anaknya cepat bosan, ya.
Selesai mencatat semuanya, saya menamai kertas itu dengan nama saya dan Nara, lalu mengumpulkannya ke Aldo. Ternyata semuanya belum selesai mengerjakan. Mereka masih mengamati tanaman masing-masing. "Ke kantin, yuk?" ajak saya pada Nara. Karena memang hanya saya dan dia yang sudah selesai mengerjakan.
"Kalo ditraktir, sih, ayo aja. Di dunia ini nggak ada yang gratis," ucapnya, padahal dari kemarin-kemarin saya sudah sering traktir dia.
"Gampang kalau itu. Ayo, mumpung jam kosong ini."
Kami lalu berjalan ke kantin. Sampai di sana, kantin sangat sepi. Ya, karena sebagian siswa-siswi masih belajar di kelasnya. Saya dan Nara kompak memesan soto dengan tambahan lima butir bakso. Hitung-hitung sarapan, karena tadi pagi saya memang belum sarapan. "Eh ... jangan pakai sambel. Nanti asam lambung kamu kumat!" Saya menurunkan tangan Nara yang hampir menuang sambal ke mangkuk sotonya itu. Gadis ini nggak ada kapok kapoknya masuk rumah sakit.
"Ya, elah, dikit doang. Lagian nggak enak kalau makan nggak ada rasa pedesnya."
"Tetep nggak boleh. Pakai kecap aja, tuh," tunjuk saja ke botol kecap yang ada di meja.
"Lo baru jadi pacar pura-pura aja udah over protektif gini, apalagi jadi pacar beneran." Meski sambil ngedumel, Nara tetap memasukkan kecap itu dalam mangkoknya.
"Oh, jadi kamu maunya beneran aja, gitu?" tanya saya yang membuat berhenti menambahkan kecap dan melihat ke saya.
"Bacot lo! Gue laper, nih, pake ngajakin debat dulu. Keburu konser, nih, cacing-cacing di perut gue." Nara lalu memakan sotonya yang hanya ditambah kecap itu. Kami saling diam dan menikmati soto hangat untuk beberapa saat.
"Nanti habis pulang sekolah ikut ke rumah saya, yuk. Mama saya mau ketemu sama kamu, katanya."
"Ukhuk-ukhuk!" Nara tiba-tiba terbatuk-batuk ketika saya mengajaknya ke rumah.
"Minum, minum." Saya mengambilkan es teh miliknya yang berada di atas meja. Untungnya tadi kami sudah sekalian memesan minum. Ya, untuk menghindari hal-hal semacam ini. "Kalau makan pelan-pelan aja makanya."
"Gue nggak tersedak karena makanan, tapi karena omongan lo barusan," ucapnya yang masih mengatur napas karena minum terlalu cepat itu. "Jadi, lo kasih tau nyokap kalau kita jadian? Kenapa sampe sejauh itu, sih? Ini, kan, cuma pura-pura," omelnya lagi. Apa dia lupa kalau dia sendiri yang sering menyuruh saya me-repost postingan pegangan tangan saat itu.
"Mama saya tahu karena lihat instastory kamu yang waktu itu saya repost. Yang kita pegangan tangan itu," jawab saya.
"Masalahnya, ibu gue itu pembantu di rumah lo, nyokap lo pasti belum tahu. Bisa marah orang tua lo kalo tahu anaknya pacaran sama anak pembantu sendiri," jawab Nara. Padahal, di mata keluarga saya, ibunya Nara adalah orang yang sangat berjasa.
"Nggak ada yang namanya pembantu. Ibu kamu itu udah dianggap keluarga oleh mama papa saya, jadi nggak perlu kayak gitu, Nara."
"Y-ya ... tetep aja, Nio! Kenapa, sih, lo nggak bohong aja sama mama lo. Lo bisa bilang kalau itu foto nyolong di internet dan lo bilang kalo lo abis kalah challenge, jadi nggak kayak gini jadinya. Ntar kalo mama lo anggep kita beneran pacaran gimana? Lu, ah! Nyebelin banget!" Nara tetap mengomel sambil memakan baksonya. Itu membuat gadis berambut seperti tokoh kartun Dora ini tampak lucu.
"Bohong sama orang tua itu bikin sial buat setiap langkah kita. Percaya, deh. Makanya saya nggak pernah mau bohong sama mama saya. Persetan mau dikatain anak mama sejak dulu, kan, nyatanya saya memang anak mama, bukan anak tetangga."
"Bwahahah! Ternyata kulkas berjalan kayak lo bisa ngelawak juga!" Nara tertawa terbahak-bahak setelahnya. Dasar perempuan, tadinya marah-marah dan ngedumel, satu detik kemudian bisa tertawa girang.
"Jadi, kamu mau, kan, ikut saya ketemu Mama?" tanya saya sekali lagi.
"Hm, gimana, ya ... gimana kalo nyokap lo nggak suka sama gue?" tanyanya.
"Mama saya baik, nggak mungkin dia nggak suka."
Nara malah diam, seperti memikirkan sesuatu. Mungkin, dia sedang meyakinkan dirinya. "Ya, udah gue ngikut."
"Oke, nanti pulang sekolah kita langsung ke sana."
"Oke, sepakat!"
Kami lalu berjabat tangan layaknya pejabat yang baru saja menyelesaikan sebuah perjanjian.
🦭🦭🦭
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Mine, Antonio [END]
Teen Fiction[STORY 6] GENRE: TEENFICTION - SUPRANATURAL ~ PREKUEL BEFORE SUNSET ~ °°°°°°° Siapa sangka jika malam ulang tahun temannya adalah awal bencana bagi anak pengusaha terkenal yang selalu mendapat prestasi gemilang di sekolah? Iya, hanya karena satu vi...