🦭26. Nostalgia

3 1 0
                                    

🦭🦭🦭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🦭🦭🦭

"Lama banget sopir lo, keburu abis lima gelas gue ntar," gerutu Nara yang sudah saya hafal itu. Padahal, kami menunggu Pak Yono di sebuah warung es campur. Bahkan, Nara sudah habis dua mangkok es campur saking panasnya cuaca. Sudah dibelikan es saja dia masih mengeluh seperti itu. Dia salah jika mengatai saya anak manja, padahal sebetulnya dia-lah yang lebih manja. "Kita naik angkot ajalah. Biar nggak lama," ucap Nara yang langsung berdiri.

Itu membuat saya menahan tangannya agar kembali duduk. "Nggak! Saya nggak mau kita kesasar lagi seperti kemarin gara-gara naik angkot. Tunggu sebentar, pasti bentar lagi Pak Yono dateng, kok," ucap saya. Nara kembali duduk meski agak malas. Dia ini memang tidak senang kalau diajak menunggu. "Kamu nambah lagi aja es campurnya. Atau mau beli siomay? Bebas, pilih aja yang kamu suka, asal itu bikin kamu nggak bosan."

"Nggak, deh. Udah kenyang gue," tolak Nara. Ya, sudah, memang gadis ini aneh. Kadang mau, kadang tidak.

Tak lama kemudian, sebuah mobil berwarna hitam berhenti di hadapan kami. Itu mobil saya, sudah lama saya tidak mengendarainya. Keluar Pak Yono dari mobil tersebut. "Mas, ayo, Ibu sudah nungguin di rumah," kata Pak Yono.

Saya dan Nara segera berdiri dan masuk ke mobil. Gadis ajaib itu tak lupa membungkus satu plastik es campur, untuk dimakan di mobil agar tidak bosan katanya. Memang ada-ada saja gadis itu. "Mas, ini pacarnya Mas Nio, ya?" tanya Pak Yono saat kami berdua mulai diam. Nara yang tadinya sangat nikmat meminum es campur itu, fokusnya sekarang pada Pak Yono.

"Iya, Pak. Namanya Nara. Temen sekelas Nio," jawab saya.

"Nama saya Nara, Pak," ucap Nara sembari tersenyum. Pak Yono hanya memperhatikan kami lewat kaca yang ada di depan.

"Kok, kayaknya Pak Yono pernah denger nama itu, ya," ucap Pak Yono seperti ragu. Jelas Pak Yono pernah dengar. Pasti dia tahu jika Nara anak dari Bu Yati.

"Saya anaknya Bu Yati, Pak. Hehe," jawab Nara dengan sedikit cengengesan itu.

"Oh ... iya! Bapak baru ingat, ternyata anaknya Bu Yati, toh. Sudah sebentar ini ternyata, ya. Kalian inget nggak kalau kalian dulu pernah satu TK? Tapi Mbak Nara akhirnya dipindahkan sekolah sama Bu Yati, karena terus diisengin sama Mas Nio," ucap Pak Yono yang membuat saya berpikir. Memangnya saya pernah satu sekolah dengan Nara dulu?

Saya menyipitkan mata sembari memandang Nara. Kalau iya, kenapa saya tidak ingat. "Oh, jadi lo yang naruh kecebong itu di tas gue dulu?" ucap Nara yang masih saya cerna dalam pikiran. Kecebong? Dalam tasnya?

Ohho! Saya baru ingat. "Kamu berarti yang dulu rambutnya sering dikucir dua dan sering pakai pita warna merah?" tanya saya pada Nara. Dulu waktu masih TK, saya memang pernah iseng memasukkan kecebong yang penuh lumpur ke tas salah satu murid perempuan yang sering memakai pita berwarna merah. Anak kecil berusia lima tahun itu lucu, meski saat itu kami seumuran, entah kenapa saya gemes dengan anak itu.

Kalian ingat, kan, kalau saya pernah cerita dihukum Papa mengumpulkan banyak kecebong? Nah, kecebong itu saya bawa ke sekolah, lalu saya masukkan ke tas anak perempuan itu. Saya yang waktu itu masih kecil, mana pernah memikirkan akibat dari keisengan saya. Anak perempuan dengan pita merah itu berteriak histeris saat tahu di dalam tasnya ada banyak kecebong yang saya taruh di sana.

Saat itu juga, saya belum tahu namanya. Saya belum hafal betul nama-nama teman sekelas. Itu pun baru dua hari masuk, jadi belum terlalu akrab, tetapi yang saya tahu, anak itu sangat lucu. Anak perempuan itu lalu mengadu dengan mamanya jika dia dijahili oleh saya. Keesokan harinya, dia tidak masuk karena pindah sekolah. Ish! Saya tidak ada kesempatan lagi untuk menjahilinya.

"Ish, jail banget! Motivasi lo masukin kecebong-kecebong itu ke tas gue apa, hah?!" tanya Nara sedikit ngegas. Dia hampir saja mencubit saja, kalau saya tidak menepis tangannya barusan.

"Y-ya, biar lucu aja. Maaf, ya. Saya nggak tahu kalau itu kamu." Saya hanya bisa minta maaf sambil nyengir. Ya, mau bagaimana lagi, namanya juga anak kecil. Pasti ada saja kelakuan isengnya. Saya juga masih nggak menyangka, ternyata itu adalah kali pertama saya bertemu dengan Nara.

"Loh? Bapak pikir kalian udah sadar, ternyata baru sadar sekarang, toh," ucap Pak Yono pada kami. Sedangkan Nara, dia hanya terlihat masih kesal dengan menyudutkan bibirnya.

🦭🦭🦭

🦭🦭🦭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Never Mine, Antonio [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang